Konsep Sikap dalam Aspek Pendidikan Barat

KONSEP SIKAP DALAM ASPEK PENDIDIKAN BARAT

 

Oleh: Rudini[1]
Mata Kuliah: Filsafat Ilmu dan Metode Berpikir
Dosen: Prof. Dr. H. Wahidin, M.Pd.

 

A.      Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu usaha manusia dalam mengembangkan potensi dirinya. Melalui pendidikan, manusia mengalami berbagai perubahan, baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi cara hidup manusia di suatu tempat. Oleh karenanya, agar manusia terarah dalam mengeksplor perubahan dirinya, perlu adanya suatu sistem yang tertata dengan baik. Sistem tersebut kemudian disebut pendidikan.

Usaha tersebut sejalan dengan definisi pendidikan yang dijelaskan dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mengikuti kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]

Melihat pendefinisian tersebut dapat dipahami bahwa tujuan utama dari proses pendidikan adalah adanya perubahan sebagaimana yang sudah dituliskan sebelumnya. Perubahan yang utama dalam pendidikan adalah perubahan sikap. Mengingat sikap merupakan unsur paling penting untuk membawa manusia menuju kesuksesan dan kehidupan yang terarah.

Setelah memahami ini, penulis bermaksud memaparkan dalam tulisan ini tentang bagaimana konsep sikap dalam pendidikan Barat. Mengingat bahwa yang terjadi sekarang adalah adanya istilah pendidikan Barat dan Timur. Perbedaan keduanya sebagaimana umum diketahui terletak pada keduanya menyikapi tentang pengetahuan. Dalam budaya Barat menekankan analisis pengetahuan yang kritis dengan mencari unsur sebab-akibat dan membangun argumentasi-argumentasi. Sedangkan budaya Timur menekankan pengetahuan intuitif yang menyeluruh dan melibatkan unsur-unsur emosi. Oleh karena sikap yang muncul antara Barat dan Timur berbeda, penulis bermaksud memfokuskan tulisan ini kepada bagaimana sikap dalam pendidikan Barat.

B.           Pendidikan Barat

Dalam pendidikan Barat, ilmu tidak lahir dari pandangan hidup agama tertentu dan diklaim sebagai sesuatu yang bebas nilai. Namun sebenarnya tidak benar-benar bebas nilai tapi hanya bebas dari nilai-nilai-nilai keagamaan dan ke-Tuhanan. Menurut Naquib al-Attas[3], ilmu dalam peradaban Barat tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan serta nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Sehingga dari cara pandang yang seperti inilah pada akhirnya akan melahirkan ilmu-ilmu sekuler.[4]

Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat, yaitu: [5]

1.            Menggunakan akal untuk membimbing kehidupan manusia;

2.            Bersikap dualitas terhadap realitas dan kebenaran;

3.            Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler;

4.            Menggunakan doktrin humanisme; dan

5.            Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.

Kelima faktor yang dijelaskan oleh al-Attas tersebut sangat mempengaruhi pola pemikiran Barat. Cara berpikir yang tidak bersandar pada wahyu Tuhan dan agama inilah yang membentuk mindset Barat dalam mengelola dan mengembangkan pendidikan, juga dalam menata kehidupan. Sehingga akan sangat berbeda bila dipertemukan dengan pola berpikir umat Islam, yang segala sesuatunya harus disandarkan kepada Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam.

Ilmu yang dikembangkan dalam pendidikan Barat, dibentuk dari acuan pemikiran falsafah mereka yang dituangkan dalam pemikiran berciri materialisme, idealisme, sekularisme, dan rasionalisme. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri.

Rene Descartes[6], John Locke[7], Immanuel Kant[8], Martin Heidegger[9] dan lainnya juga menekankan rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu mereka, sehingga melahirkan berbagai macam faham dan pemikiran seperti empirisme, humanisme, kapitalisme, eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan lainnya, yang ikut mempengaruhi berbagai disiplin keilmuan, seperti dalam filsafat, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lainnya.

Terdapat 4 konsep yang digunakan dalam pendidikan Barat. Keempat konsep tersebut diyakini mewakili ciri Barat dalam kiprahnya di dunia pendidikan. Konsep-konsep tersebut yaitu Liberal, Sekuler, Pragmatis dan Materialis.

1.            Liberal

Kata liberal secara harfiah artinya "bebas" (free), artinya "bebas dari berbagai batasan" (free from restraint). Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, digambarkan dengan kebebasan berpikir bagi para individu.

 Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, begitu juga dengan ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.

Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah yang sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan.[10]

Perbedaan antara berbagai ideologi liberal adalah terutama pada bagaimana menghadapi keterkaitan antara sekolah dengan masyarakat. Tafsiran tentang konsep relatifisme budaya dan demokrasi sosial, ketika persoalannya sampai pada hubungan antara sekolah dengan masyarakat, kaum liberal mengambil pendekatan psikologis (personalistis), di mana individu didahulukan daripada tuntutan-tuntutan masyarakat. Ada dua alasan mengapa liberalis pendidikan mengambil sikap seperti itu.

Pertama, kaum liberal yakin bahwa yang psikologis itu tetap menjadi landasan puncak bagi pembuktian kebenaran atau kekeliruan/kesalahan klaim manapun terhadap pengetahuan. Belajar adalah sesuatu yang bersifat personal dalam arti yang lebih mendasar jika dibandingkan dengan belajar sebagai kegiatan yang berpusat pada kelompok.

Kedua, tidak ada budaya yang benar-benar terbuka dan kritis, dan akan menjadi model yang sahih bagi pencarian kecerdasan praktis yang terlatih, yang dipandang sebagai sebuah sasaran secara kolektif. Sekolah dipandang sebagai lembaga yang lebih terbuka, lebih kritis, dan lebih bertanggungjawab dibandingkan dengan sistem politis.

Bagi kaum liberal, pendidikan yang terbaik adalah yang ada untuk melatih anak agar berfikir secara kritis dan objektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah, dan melatih anak meyakini hal-hal tersebut sebagai hal-hal yang paling baik berdasarkan pengetahuan ilmiah.

Ada tiga corak utama dalam liberalisme pendidikan, yaitu:[11]

a.             Liberalisme Metodis

Mereka yang mengambil sikap bahwa selagi metode-metode pengajaran harus disesuaikan dengan zaman supaya mencakup renungan-renungan psikologis baru dalam hakikat belajar oleh manusia, namun sasaran-sasaran atau tujuan pendidikan, termasuk isi tradisionalnya secara fundamental sudah baik dan tidak memerlukan penyesuaian yang penting.

b.            Liberalisme Direktif

Pada dasarnya liberalisme direktif menginginkan pembaharuan mendasar dalam hal tujuan sekaligus dalam hal cara kerja sekolah. Mereka menganggap bahwa wajib belajar adalah perlu dan memilih untuk mempertahankan beberapa keperluan mendasar tertentu serta mengajukan penetapan lebih dulu tentang isi pelajaran-pelajaran yang akan diberikan pada siswa. John Dewey[12] dapat dikatakan berada pada aliran ini.

c.             Liberalisme non-Direktif

Kaum liberalisme non-direktif sepakat dengan pandangan bahwa tujuan dan cara-cara pelaksanaan pendidikan perlu diarahkan kembali secara radikal dari orientasi otoritariannya yang tradisional ke rah sasaran pendidikan yang mengajar siswa untuk memecahkan masalahnya sendiri secara efektif.

2.            Sekuler

Sekuler berintikan pemisahan antara agama dengan kehidupan, dan pemisahan agama dari negara. Juga bahwasanya agama hanya sekedar hubungan antara individu dengan Penciptanya saja.

Kelahiran sekulerisme ini bermula pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat. Para pemuka agama, waktu itu, dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka. Maka timbulah pergolakan sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak.

Sedangkan yang lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakui atau ditolak. Sebab, yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.

3.            Pragmatis

Istilah Pragmatisme  berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.

Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”. Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).

Kata pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.

Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu, kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.

Pragmatisme dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatisme yaitu:

a.             Menolak segala intelektualisme;

b.            Absolutisme; dan

c.             Meremehkan logika formal.

4.            Materialis

Istilah materialisme dapat diberi definisi dengan beberapa cara, di antaranya:

a.             Materialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran (conciousness) termasuk didalamnya segala proses pisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik.

b.            Bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains condong untuk menyajikan bentuk materialism yang lebih tradisional.

Pada akhir-akhir ini,doktrin tersebut dijelaskan sebagai energisme yang mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk energi atau sebagai suatu bentuk dari positivisme yang memberi tekanan untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi, baca: Allah SWT).

Dalam arti sempit, materialism adalah teori yang mengatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi dan gerak. Materialisme berpendapat bahwa semua kejadian dan kondisi adalah akibat yang lazim dari atau bentuk-bentuk yang lebih tinggi dalam hanya merupakan bentuk yang lebih kompleks daripada bentuk inorganik atau bentuk yang lebih rendah, bentuk yang lebih tinggi tidak mengandung materi atau energi baru dan prinsip sains fisik adalah cukup untuk menerangkan segala yang terjadi atau yang ada. Semua proses alam, baik anorganik atau organik telah dipastikan dan dapat diramalkan jika segala fakta tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui.

Disini masih dapat dibedakan materilisme dalam arti kata luas yang mengakui kekhususan alam rohani dan jiwa, tetapi memandangnya sebagai semacam alam kebendaan yang halus sekali sifatnya, lain daripada alam kebendaan biasa atau kasar. Pandangan ini juga disebut materialism dualitas (atau bahkan pluralitas) seperti dianut oleh Demokritos yang membedakan atom-atom jiwa daripada atom-atom biasa, atau mazhab Stoa, yang berpendapat bahwa segala sesuatu mempunyai struktur badani,namun juga menerima adanya semacam “angin” ilahi yang menjiwai segal sesuatu (pneuma).[13]

C.          Konsep Sikap dalam Aspek Pendidikan Barat

Dari sekian banyak definisi sikap, salah satunya bahwa sikap adalah reaksi atau proses seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.[14]

Lebih lanjut Notoatmodjo menjelaskan bahwa sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu:

1.            Menerima  (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).  Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap informasi-informasi tentang gizi.

2.            Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari tugas tersebut benar atau salah adalah berarti bahwa orang tersebut menerima ide tersebut.

3.            Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain  pergi ke Puskesmas untuk menggunakan alat kontrasepsi, ini adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap alat kontrasepsi. 

4.            Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi , meskipun mendapat tantangan dari suami atau orang tuanya sendiri.

Berdasarkan analisa penulis, sikap yang dimunculkan oleh seseorang akan sangat dipengaruhi oleh falsafah yang digunakan, juga pola pikir yang terbentuk selama hidupnya. Demikian halnya dengan konsep sikap dalam pendidikan Barat. Pendidikan Barat yang berpijak kepada 4 konsep utamanya yaitu sekuler, liberal, pragmatis dan materialis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola pikir individu.

Hal tersebut disebabkan pendidikan merupakan proses mengubah seseorang, maka tentu saja mindset yang terbentuk dari pendidikan Barat adalah sikap-sikap yang sesuai dengan 4 konsep tersebut. Sikap-sikap yang mungkin muncul yang sesuai dengan konsep-konsep pendidikan Barat, di antaranya:

1.            Bebas;

2.            Praktis; dan

3.            Individualis.

Menurut penulis, dalam kasus-kasus tertentu sikap-sikap tersebut benar dan signifikan. Misalnya, karena kondisi yang disebabkan oleh kemajuan Informasi dan Teknologi Komunikasi, sikap praktis, konsumtif dan individualis dengan mudahnya tumbuh dan berkembang. Namun, hal ini tidak boleh dibebaskan begitu saja, melainkan harus ada control yang sesuai. Tetapi, dalam pendidikan Barat hal ini tidak diperhatikan, mengingat sikap bebas juga merupakan bagian dari pendidikan Barat itu sendiri.

D.          Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas, sebagai suatu kekayaan berpikir manusia dan budaya berpikir yang kreatif dan inovatif tentu saja pendidikan Barat sangat produktif dalam memberikan sumbangan pemikiran bagi kehidupan dunia ini. Mengingat bahwa Barat sangat terfokus kepada pemaksimalan kerja otak dan fungsi rasionalitas. Sehingga sikap yang muncul dari proses panjang tersebut terkadang kurang memperhatikan bagi kehidupan bersama, yang kemudian tumbuh dan berkembang pesatnya sikap individualitas dalam kehidupan sehari-hari, di mana hal ini bertentangan dengan gaya atau pola pendidikan Timur.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1991. Islam dan Sekulerisme. Bandung: Pustaka Pelajar.

Anonim. 2014. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003). Cetakan ke-6. Jakart: Sinar Grafika.

Dewey, John. 1955. Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan. Diterjemahkan oleh E.M. Aritonang. Jakarta: Saksana.

Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Bagi Kaum Tertindas.

Hadiwijono, Harun. 2004. Sari Sejarah Filsafat Barat II. Yogyakarta : Kanisius.

https://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.58 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.56 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Martin_Heidegger Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 08.02 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.53 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.22 WIB.

Idris, Ahmad. 1991. Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh al-Injil wa al-Kanisah). Diterjemahkan oleh H. Salim Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press.

S. Notoatmodjo. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

S. Praja, Juhaya.  2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.



[1] Mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan Islam Semester 1 di Kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon Tahun 2017.

[2] Anonim, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun 2003), Cetakan ke-6, (Jakart: Sinar Grafika, 2014).

[3] Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad al-Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al-Attas, seorang cendikiawan dan filsuf muslim kelahiran Bogor, Indonesia. Namun, beliau banyak menghabiskan masa pendidikannya di Johor, Malaysia. Sampai sekarang nama Naquib al-Attas masih harum di kalangan para akademisi. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.22 WIB.

[4] Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1991), hlm. 23. Selanjutnya ditulis al-Attas

[5] al-Attas, hlm. 24.

[6] Seorang filsuf asal Perancis yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat Modern. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.53 WIB.

[7] Seorang filsuf asal Inggris yang melakukan pendekatan empirisme dalam filsafatnya. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.56 WIB.

[8] Seorang guru besar ilmu logika dan matematika di Universitas Konisberg. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.58 WIB.

[9] Seorang filsuf asala Jerman yang mempunyai pengaruh besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika, dan pasca-modernisme. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Martin_Heidegger Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 08.02 WIB.

[10] Lihat Ahmad Idris, Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh al-Injil wa al-Kanisah), Diterjemahkan oleh H. Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), hlm. 74.

[11] Lihat Paulo Freire, Pendidikan Bagi Kaum Tertindas, 2008, hlm. 87.

[12] John Dewey adalah seorang tokoh pendidikan, lahir di Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas. (Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 133. Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan lebih dari 700-an artikel (Lihat John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, alih bahasa E.M. Aritonang, (Jakarta: Saksana, 1955), hlm. 5.

[13] Lihat Juhaya S. Praja,  Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 144.

[14] Lihat Notoatmodjo S., Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003).

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger