Sumber-Sumber Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk yang diberikan satu keunggulan untuk mengenal dan memahami penciptanya. Dengan keunggulan yang dimiliki tersebut, diharapkan mampu menjadikan manusia benar-benar mendapat derajat yang mulia di sisi-Nya. Dalam Tasawuf, jalan untuk menjadi hamba Allah yang baik dan sempurna diungkapkan dengan jelasnya, hal ini bukan berarti manusia mampu segala-galanya sehingga dengan mudah mendapatkan predikat mulia.
Namun, dalam tasawuf diajarkan untuk selalu ittiba` kepada Rasulullah Muhammad SAW dan tentunya sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al-Qur`an. Dengan jalan inilah manusia akan mampu mencapai derajat yang tertinggi, yang dalam tasawuf disebut sebagai tingakatan ma`rifat. Tingkatan ini, dalam ajaran tasawuf bukanlah tujuan yang mudah dicapai dan tidak pula tujuan yang tidak dapat dicapai. Melainkan, dalam Tasawuf Allah akan memilih siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, untuk dekat bersama-Nya. Namun, bukan berarti manusia tidak dapat berusaha mendapatkan atau sampai kepada tingkatan tersebut, tetapi malah justru ketika usahanya sampai kepada Allah itulah nilai yang tertinggi.
Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani yang merupakan fitroh manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya, dengan melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan hanya pada kehidupan kebendaan, disamping juga melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela.[1]
Akan tetapi, tasawuf adakalanya membawa orang jadi sesat dan musyrik,  bila seseorang bertasawuf tanpa bertauhid dan bersyari`at. Tauhid menimbulkan iman, syari`at menimbulkan taat. Seseorang dapat mengatakan bahwa Tuhan itu ada adalah dengan tauhid dan dapat mentaati dan menuruti pada peraturan-peraturan dalam ibadah adalah dengan syari`at, serta seseorang dapat merasakan dan mengenal Tuhan, untuk siapa dipersembahkan semua amalannya itu yang disebut dengan tasawuf.[2]
Atas dasar tersebut, maka perlu dan penting sekiranya memahami darimana sumber tasawuf itu agar dalam pengamalannya tidak dikategorikan sesat dan menyesatkan. Mengingat sebagaimana yang diuraikan diatas bahwa adakalanya tasawuf membuat seseorang menjadi sesat dan keluar dari syari`at.
2.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, diambil rumusan masalahnya sebagai berikut.
a.       Apa yang dimaksud dengan sumber-sumber tasawuf?
b.      Apa saja sumber-sumber tasawuf itu?
3.      Tujuan
Adapun tujuannya, yaitu:
a.       Untuk mengetahui maksud dari sumber-sumber tasawuf, dan
b.      Untuk mengetahui tentang sumber-sumber tasawuf.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Maksud Sumber-Sumber Tasawuf
Setiap disiplin ilmu yang ada, masing-masing dari mereka memiliki sumber-sumber yang menjadi dasar keberadaan mereka. Hal ini dimaksudkan agar kebenaran disiplin ilmu yang dimaksud mempunyai payung hukumnya atau dasar berdirinya. Dengan sumber-sumber yang menjadi keberadaannya, suatu disiplin ilmu dapat membuktikan dan menunjukkan eksistensinya. Demikian juga dengan tasawuf, yang sudah jelas merupakan inti ajaran Islam dalam mendekatkan diri kepada Allah, meskipun nama dan disiplin ilmunya baru muncul di zaman yang belakangan ini. Tetapi, sejatinya ajaran tasawuf adalah wajib setiap muslim tahu dan paham jika diperhatikan dari sudut pandang bahwa ini merupakan jalan yang dapat menghantarkan jiwa kepada Sang Khaliq, artinya dalam proses pendekatan kepada Sang Ilahi itulah yang membuat seorang muslim harus paham dengan tasawuf, karena bukan tasawufnya yang menjadi persoalan tapi amalannya.
Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama Islam itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa tasawuf Islam itu timbul sebab adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau diterangkan dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Namun, apabila kita mencari dan menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka banyak sekali didapati dari ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf.[3]
Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang. Sebagai bukti misalnya, banyaknya buku yang membahas tasawuf yang banyak ditemui telah mengisi berbagai perpustakaan terutama di negara-negara yang berpenduduk muslim, juga negara-negara barat sekalipun yang mayoritas masyarakatnya adalah non-muslim. Ini menjadi salah satu alasan tingginya ketertarikan mereka terhadap tasawuf. Akan tetapi, tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf. Jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan mereka terhadap tasawuf dapat dilihat pada dua kecenderungan, yaitu: pertama, karena kecenderungan terhadap kebutuhan fitroh atau naluriah dan kedua, karena kecenderungan pada persoalan akademis.[4]
Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa berbicara disiplin ilmu berarti juga berbicara atas dasar apa ilmu itu berdiri, atau berbicara dari sumber mana disiplin ilmu tersebut lahir. Maka dalam pembahasan selanjutnya, akan diuraikan mengenai sumber-sumber tasawuf yang menjadi dasar bagi keyakinan kaum muslim, mengingat ada pandangan bertasawuf juga dapat membuat seseorang sesat.
B.     Sumber-Sumber Tasawuf
Al-Qur`an dan Al-Hadits merupakan kerangka acuan pokok yang selalu dipegang umat Islam. Kita sering mendengar pertanyaan dalam kerangka landasan dalil naqli ini, “apa dasar Al-Qur`an dan Al-Hadits nya?” pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran kaum muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau persoalan-persoalan unik yang mereka temui, termasuk dalam pembahasan tasawuf.[5] Berikut ini merupakan sumber-sumber tasawuf.
1.      Al-Qur`an
Al-Qur`an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril, dimulai dengan surat Al-Fatiha dan di akhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[6] Dalam Islam Al-Qur`an adalah hukum tertinggi yang harus ditaati, mengingat bahwa Al-Qur`an merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan untuk umat manusia yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya. Berikut-berikut dalil-dalil Al-Qur`an tentang tasawuf, diantaranya:[7]
a.       Taubat
Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang yang mendaki dan maqam pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah kembali. Kata taba memiliki arti kembali, maka taubat maknanya juga kembali. Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syari`at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari`at.
Orang-orang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip ahlus sunnah mengatakan, agar taubat diterima diharuskan memenuhi tiga syarat utama, yaitu menyesali atas pelanggaran-pelanggaran yang pernah diperbuatnya, meninggalkan jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan tobat dan berketepatan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran serupa.[8] Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [٦٦:٨]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu kedalam surga-surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengannya, sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan      mereka, sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami, sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”                             (Q.S At-Tahrim: 8).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [٢٤:٣١]
Artinya: Dan bertobatlah kamu kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. (Q.S An-Nuur: 31).
Bagi Dzu Al-Nun bin Ibrahim Al-Mishri (w. 264H./861M.) taubat itu dilakukan karena seorang salik mengingat sesuatu dan terlupakan mengingat Allah. Dia kemudian membagi taubat menjadi taubat kelompok awam dan taubat kelompok khash (awliya`). Kelompok orang khash melakukan pertaubatan karena dia lupa mengingat Allah sedangkan kelompok awam bertaubat karena mengerjakan perbuatan dosa. Baginya, hakikat taubat adalah keadaan jiwa yang merasa sempit hidup diatas bumi karena kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.[9]
b.      Ikhlas
Ustaz Syaikh berkata, ikhlas adalah penunggalan Al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata-mata tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukkan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau makna-makna lain selain pendekatan diri kepada Allah. Bisa juga diartikan ikhlas merupakan penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi.[10] Allah SWT berfirman:
قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ ۖ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ ۚ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ [٧:٢٩]
Artinya: Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah) pada setiap shalat dan sembahlah dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kamu diciptakan semula.” (Q.S Al-A`raf: 29).
Dalam keterangan lain Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ [٩٨:٥]
Artinya: Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaatinya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (Q.S Al-Bayyinah: 5).
c.       Sabar
Junaid mengatakan, “perjalanan dari dunia menuju akhirat adalah mudah dan menyenangkan bagi orang yang beriman, putusnya hubungan makhluk disisi Allah SWT adalah berat perjalanan dari diri sendiri (jiwa) menuju Allah adalah sangat berat, dan sabar kepada Allah tentu akan lebih berat.” Ia ditanya tentang sabar, lalu dijawab “menelan kepahitan tanpa bermasam muka.”[11] Allah SWT berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ [٢:٤٥]
Artinya: Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh           berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`.                                   (Q.S Al-Baqarah: 45).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ [٢:١٥٣]
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S Al-Baqarah: 153).
d.      Syukur
Menurut satu pendapat, bersyukurnya Allah berarti memberikan pahala atas perbuatan pelakunya sebagaimana ungkapan bahwa hewan yang bersyukur adalah hewan yang gemuk karena selalu diberi makanan. Hal ini dapat dikatakan bahwasannya hakikat syukur adalah memuji (orang) yang memberikan kebaikan dengan mengingat kebaikannya. Syukurnya hamba kepada Allah adalah memuji kepada-Nya dengan mengingat kebaikan-Nya, sedangkan syukurnya Allah kepada hamba berarti Allah memuji kepadanya dengan mengingat kebaikannya. Perbuatan baik hamba adalah taat kepada Allah, sedangkan perbuatan baik Allah adalah memberikan kenikmatan dengan memberikan pertolongan sebagai tanda syukur. Hakikat syukur bagi hamba ialah ucapan lisan dan pengakuan hati terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan.[12] Allah SWT berfirman:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ [٢:١٥٢]
Artinya: Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku. (Q.S Al-Baqarah: 152).
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ [٢:١٧٢]
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik dan Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. (Q.S Al-Baqarah: 172).
e.       Faqr
Firman Allah SWT.
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ [٢:٢٧٣]
Artinya: (Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang faqir yang terhalang (usahanya karena jihad) dijalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di Bumi (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apapun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui. (Q.S Al-Baqarah: 273).
f.       Zuhud
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tujuan Al-Qur`an menyerukan sikap zuhud terhadap keduniaan bukanlah berpaling dari segala perhiasan dunia secara total sebagaimana yang disalah pahami sebagian kalangan sebab harta kekayaan merupakan sarana untuk berinfaq dijalan kebaikan, menikahi wanita merupakan sarana menjaga kehormatan diri, mengembang biakkan keturunan, dan meramaikan semesta, kemudian anak-anak adalah modal umat dalam kondisi damai maupun perang, sedangkan kuda merupakan sarana untuk jihad dijalan Allah.[13] Allah SWT berfirman:
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ [١٣:٢٦]
Artinya: Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat. (Q.S Ar-Ra`d: 26)
Dalam keterangan yang lain, Allah SWT berfirman:
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ [٢٠:١٣١]
Artinya: Dan janganlah engkau tujukkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal. (Q.S Taa-Haa: 131).
g.      Waro`
As-Sariy berkata, “ada empat ahli wara` dimasa mereka, yaitu Hudzaifah Al-Mar`asyi, Yusuf bin Asbath, Ibrahim bin Adham, Sulaiman Al-Khawwash. Mereka mempunyai pandangan yang sama tentang wara` ketika mereka mendapatkan berbagai persoalan yang sulit, mereka mampu meminimalkan.” Saya pernah mendengar Syibli berkata, “wara` merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.”[14] Allah SWT berfirman:
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ [٢٤:١٥]
Artinya: (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakana dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. (Q.S An-Nuur: 15)
Allah juga berfirman:
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ [٨٩:١٤]
Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi. (Q.S Al-Fajr: 14).
h.      Khowf
Menurut Ibnu Al-Jalla`, yang dimaksud orang yang takut adalah orang yang aman dari berbagai hal yang menakutkan. Menurut satu pendapat, yang dimaksud orang yang takut adalah bukan orang yang menangis dan mengusap kedua matanya, tetapi yang meninggalkan sesuatu karena takut disiksa. Ibnu Iyadh telah ditanya oleh seseorang, “mengapa saya tidak pernah melihat orang yang takut kepada Allah SWT?” dia menjawab, “jika engkau takut kepada Allah, maka engkau akan melihat orang yang takut kepada-Nya, karena tidak ada orang yang dapat melihat orang yang takut kepada Allah, kecuali orang yang takut kepada-Nya. Sama halnya perempuan yang kehilangan anaknya, akan melihat perempuan yang juga kehilangan anaknya.[15] Allah SWT berfirman:
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ وَإِيَّايَ فَارْهَبُونِ [٢:٤٠]
Artinya: wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah aku berikan kepadamu. Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan takutlah kepada-Ku saja. (Q.S Al-Baqarah:40).
Dalam ayat lainnya, Allah SWT berfirman:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ [٢:١٥٠]
Artinya: Dan dari manapun engkau (Muhammad) keluar, maka hadapkanlah wajahmu kearah masjidil haram. Dan dimana saja kamu berada maka hadapkanlah wajahmu kearah itu, agar tidak ada alasan bagi manusia (untuk menentangmu), kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, agar Aku sempurnakan nikmat-Ku kepadamu, dan agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S Al-Baqarah: 150).
i.        Roja`
Raja` (harapan, berharap) adalah ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi di masa yang akan dating. Sebagaimana khauf (rasa takut) yang berhubungan dengan sesuatu yang akan terjadi dimasa yang akan dating, maka demikian juga raja` (harapan) akan membawa implikasi terhadap hal yang di cita-citakan di masa yang akan datang. Dengan raja`, maka hati akan menjadi hidup dan merdeka.[16] Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ [٢:٢١٨]
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad dijalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Q.S Al-Baqarah: 218).
j.        Tawakal
Menurut Abu Nashr As-Siraj Ath-Thusi, yang dimaksud tawakal sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Bakar Ad-Daqaq adalah menolak kehidupan pada masa sekarang dan menghilangkan cita-cita pada masa yang akan dating. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sahl bin Abdullah bahwa yang dimaksud tawakal adalah melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah SWT. Menurut Abu Ya`qub Ishaq An-Nahl Jauzi, yang dimaksud tawakal adalah menyerahkan diri kepada Allah SWT dengan sebenarnya sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim disaat Allah SWT berfirman kepada Malaikat Jibril a.s: Ibrahim telah berpisah (bercerai denganmu) dirinya telah hilang bersama Allah SWT. Oleh karena itu, tidak ada yang mengetahui orang yang bersama Allah kecuali Allah SWT.[17] Allah SWT berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ [٣:١٥٩]
Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (Q.S Al-Imran: 159).
k.      Ridho
Rabi`ah Al-Adawiyah pernah ditanya, “kapan hamba disebut orang yang ridho?” dia menjawab, “apabila dia senang ketika mendapatkan musibah, sebagaimana dia senang ketika mendapatkan kenikmatan.” Menurut Abu Umar Ad-Dimsyaqi, yang dimaksud ridho adalah menghilangkan (meninggalkan) keluh kesah dimana saja hukum berlaku. Sedangkan menurut Harits Al-Muhasibi, yang dimaksud ridho adalah tenangnya hati dibawah tempat-tempat berlakunya hukum.[18]
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِن فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ [٩:٥٩]
Artinya: Dan sekiranya mereka benar-benar ridho dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah dan Rasul-Nya akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya orang-orang yang berharap kepada Allah.” (Q.S At-Tauba: 59).
l.        Yaqin
Menurut Abu Utsman Al-Hiri, yang dimaksud yakin adalah sedikitnya cita-cita dimasa yang akan datang. Menurut Sahl bin Abdullah, yakin merupakan tambahan iman dan realitas kebenaran. Menurut Dzun Nun Al-Mishri, yakin akan mendorong pendeknya cita-cita, cita-cita yang pendek akan mendorong zuhud, zuhud akan memberikan hikmah, dan hikmah akan menimbulkan pandangan kritis yang membawa akibat baik.[19]
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ [١٥:٩٩]
 Artinya: Dan sembahlah Tuhanmu sampai yaqin (ajal) datang kepadamu. (Q.S Al-Hijr: 99).
m.    Mahabbah
Menurut Ustadz Al-Qusyairi, mahabbah adalah suatu hal yang mulia. Allah yang maha suci menyaksikan mahabbah hambanya dan Allah pun memberitahukan cinta-Nya kepada hamba itu. Allah menerangkan bahwa dia mencintainya. Demikian juga hamba itu menerangkan cintanya kepada Allah yang maha suci. Mahabbah menurut istilah Ulama adalah keinginan, karena keinginan tidak berhubungan dengan sifat Qadim. [20]  
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ [٣:٣١]
Artinya: Katakanlah (Muhammad) “jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Q.S Al-Imran: 31).
n.      Ma`rifatullah
Abu Thayib Al-Maraghi mengatakan, setiap unsur dalam diri seorang hamba memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema`rifatannya kepada Allah. Akal, menurutnya, memiliki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah memberi isyarat, dan ma`rifat memberi kesaksian secara utuh. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan dan ma`rifat mempersaksikan. Oleh karena itu, kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid. Sementara itu, Abu Bakar Adz-Dzahir Ubadi mengungkapkan, ma`rifat adalah nama, artinya adalah keberadaan pengagungan dalam hati yang mencegahnya dari sikap atheis dan kufur (ketiadaan pengakuan pada Tuhan dan keberadaan pengakuan yang disertai penyerupaan).[21] Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ [٥٠:١٦]
Artinya: Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepada urat lehernya.. (Q.S Qaaf: 16).
Ma`rifat dimulai dengan mengeal dan menyadari jati diri. Ma`rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari melihat Tuhan. Ma`rifat bukan hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma`rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Alat untuk memperoleh ma`rifat oleh kaum sufi disebut sirr.[22]
o.      Istiqamah
Istiqamah adalah suatu derajat yang dengannya kesempurnaan dan kelengkapan perkara kebagusan terwujud. Dengan istiqamah, berbagai kebaikan dan koordinasi sistematika kebaikan mengada. Orang yang tidak bisa menjalankan istiqamah dalam ibadah maka usahanya menjadi sirna dan perjuangannya dihitung gagal.[23]
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ [١١:١١٢]
Artinya: Maka tetaplah engkau (Muhammad) (dijalan yang benar) sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertaubat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S Hud: 112).
p.      Tawadhu`
Dalam menjalani perilaku tawadhu, kaum sufi menerapkan adab-adab Al-Qur`an dan meng-implementasi-kan tafsir mereka atas tawadhu yang terkandung dalam ayat:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ [٢٦:٢١٥]
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu kepada orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (Q.S Asy-Syu`aro: 215).
Syahdan, ketika ditanya mengenai tawadhu, Al-Junaid menjawab, “merendahkan diri dan bersikap santun (lembut).”[24]
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ [٧:١٩٩]
Artinya: Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma`ruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (Q.S Al-A`rof: 199).
q.      Khusyu`
Yang dimaksud khusyu` adalah mencari keselamatan diri untuk kebenaran (Allah). Seorang ulama pernah ditanya tentang khusyu`, dia menjawab, “yang dimaksud khusyu` adalah hati yang tenang dihadapan Allah.” Para ulama sepakat bahwa khusyu` terletak dihati.[25] Mengenai ayat khusyu`, Allah berfirman:
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ [٢١:٩٠]
Artinya: Maka Kami kabulkan (doa) nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (Q.S Al-Anbiya’: 90)
2.      Al-Hadits
Hadits yang jamaknya ahadits memiliki padanan kata yang cukup beragam. Dari sisi bahasa, hadits dapat diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang berarti lama, abadi dan kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan, taqrier dan hal ihwal tentang Nabi Muhammad dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan Al-Qur`an yang diyakini oleh ahlus sunnah wal jama`ah sebagai firman Allah yang qadim.[26]
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua. Sehingga dalam kajian ilmu keagamaan pun Al-Hadits tetap menjadi rujukan setelah Al-Qur`an. Berikut akan diuraikan hadits-hadits mengenai tasawuf, mengingat dalam tasawuf hadits juga tergolong sumber kedua.
a.       Taubat
Sahabat Anas bin Malik r.a berkata, saya pernah dengar Rasulullah SAW bersabda:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَاذَنْبَ لَهُ, وَاِذَا اَحَبَّ اللهُ عَبْدًا لَمْ يَضُرَّهُ ذنْبٌ.
Artinya: Seorang yang tobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba, pasti dosa tidak akan membahayakannya. (Hadits diriwayatkan Ibnu Mas`ud dan dikeluarkan Ibnu Majah sebagaimana tersebut dalam Al-Jami`ush-Shaghir, Al-Hakim, At-Turmudzi dari Abu Sa`id, As-Suyuthi di Al-Jami`ush-Shaghir Juz 1, halaman 3385).[27]
b.      Ikhlash
Rasulullah SAW pernah ditanya tentang makna ikhlash, lalu dijawab:
سَألت جبريل عليه السلام عن الاخلاص, ما هو؟ قال: سألت رب العزة عن الاخلاص, ماهو؟ قال سرمن سري استودعته قلب من أحببته من عبادي
Artinya: Saya bertanya kepada Jibril a.s tentang ikhlash, apa itu? Kemudian dia berkata, saya bertanya kepada Tuhan tentang ikhlash, apa itu? Dan Tuhan-pun menjawab, “yaitu rahasia dari rahasia-Ku yang aku titipkan pada hati orang yang Aku cintai diantara hamba-hamba-Ku. (Hadits dikeluarkan oleh Al-Qazwaini dalam Musalsalat-nya dari Khudzaifah)[28]
Atau dalam hadits lain menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ان الله لا ينظر الى أجسامكم ولا الى صوركم ولكن ينظر الى قلوبكم (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, Rasulallah SAW bersabda, sesungguhnya Allah SWT tidak melihat bentuk badan dan rupamu, tetapi melihat (memperhatikan) niat dan keikhlasan) hatimu.” (H.R Muslim).[29]
c.       Sabar
Dari Aisyah r.a diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ان الصبر عند الصدمة الاولى
Artinya: Sabar yang sempurna adalah pada pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama. (Hadits riwayat Anas bin Malik dan dikeluarkan Imam Bukhari didalam “Al-Jana`iz” Bab Sabar 3/138, sedangkan Imam Muslim juga mengelompokkannya dalam “Al-Jana`iz” Bab Sabar Nomor 626, Abu Dawud di nomor 3124, At-Turmudzi di nomor 987, dan An-Nasa`I mencantumkan di 4/22).[30]
d.      Zuhud
Nabi SAW bersabda:
اذا رايتم الرجل قداوتي زهدا في الدنيا ومن تقا فاقتربوا منه فانه يلقن الحكمة
Artinya: Jika diantara kamu sekalian melihat orang laki-laki yang selalu zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan kebijaksanaan. (Hadits disebutkan dalam Al-Kanz Jilid 3 halaman 183 nomor 6069, diriwayatkan oleh Abu Khalad dan Abu Na`im bersama Al-Baihaqi meriwayatkannya juga darinya, sementara As-Suyuthi menganggapnya lemah didalam Al-Jami`ush-Shaghir Jilid 1 halaman 84 nomor 635).[31]
e.       Wara`
Abu Dzar Al-Ghifari berkata, bersabda Rasulullah SAW.
من حسن اسلام المرء تركه مالا يعنه
Artinya: Sebagian dari kesempurnaan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berarti. (Hadits dikeluarkan oleh Imam Malik bin Anas didalam Muwatha`-nya jilid 2 halaman 903 dalam bahasan “Kebaikan Akhlaq” di bab “Apa-apa yang datang didalam kebaikan akhlaq.” At-Turmudzi mencantumkannya di nomor 2318-2319 tentang zuhud di bab nomor 11 dari hadits Anas bin Malik. Ibnu Majah mencantumkannya di nomor 3976 tentang Fitnah-Fitnah di bab “menjaga lidah supaya tidak jatuh pada perbuatan fitnah”. At-Turmudzi mengatakan, “Hadits ini adalah Gharib”).[32]
f.       Khowf
Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لو تعلمون مااعلم لضحكتم قليلا, ولبكيتم كثيرا
Artinya: Seandainya engkau mengetahui apa yang saya ketahui, pasti engkau akan tertawa sedikit dan menangis banyak. (Hadits diriwayatkan Abu Hurairah dan dikeluarkan Imam Bukhari 11/273 dalam bahasan Perbudakan di bab sabda Nabi SAW yang berbunyi: “seandainya kalian mengetahui apa yang saya ketahui tentang iman dan nazar”, juga di bab “bagaimana sumpah Nabi SAW.” At-Turmudzi meriwayatkannya di nomor 2314 tentang zuhud).[33]
g.      Ridho`
Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ذاق طعم الايمان من رضي بالله ربّا
Artinya: Orang yang ridho Allah sebagai Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman. (Hadits Riwayat Muslim dalam bab “iman” nomor 34, Turmudzi nomor 2758, dan Ahmad dalam musnadnya 1/208).[34]
h.      Mahabbah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
من أحب لقاء الله أحب الله لقائه, ومن لم يحب لقاء الله لم يحب الله تعالى لقائه
Artinya: Barangsiapa yang senang bertemu kepada Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak senang bertemu Allah maka Allah-pun juga tidak senang bertemu dengannya. (Hadits riwayat Ubadah bin Shamit, dikeluarkan oleh Bukhari 11/308 dalam “Ar-Raqaqq” bab “orang-orang yang senang bertemu Allah.”).[35]
i.        Istiqamah
Dari Tsauban dari Nabi SAW diceritakan bahwa beliau bersabda:
استقيموا ولن تحصوا, واعلموا انّ خير دينكم الصلاة, ولن يحا فظ على الوضوء الاّ مؤمن.
Artinya: Istiqamahlah kamu dan jangan sekali-kali menghitung-hitung (amal) mu. Ketahuilah bahwa sebaik-baik (amalan) agamamu adalah shalat. Tidak ada yang mampu menjaga wudhu selain orang mu`min. (Hadits riwayat Tsauban dan dikeluarkan darinya oleh Imam Ahmad didalam Musnad-nya 5/227 dan 282. As-Suyuthi menyebutkannya didalam Al-Jami`ush Shaghir. Ibnu Majah, Al-Hakim dan Al-Baihaqi mengeluarkannya dalam As-Sunan dari Tsauban, sedangkan Ibnu Majah dan At-Thabrani dalam Al-Kabir meriwayatkannya dari Ibnu Umar, juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Salamah bin Al-Akwa`, lihat Al-Jami`ush Shaghir 1/129 nomor 994).[36]
j.        Khusyu`
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW melihat seorang laki-laki yang mempermainkan janggutnya ketika shalat. Kemudian, beliau bersabda:
لو خشع قلب هذا لخشعت جوارحه
Artinya: Seandainya hati orang ini khusyu`, niscaya akan khusyu` pula anggota tubuhnya. (Hadits dikeluarkan oleh At-Turmudzi dalam “An-Nawadir”. Hadits diambil dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah).[37]
3.      Ijtihad Para Sufi
Ijtihad para sufi dimaksudkan untuk menguraikan pemikiran-pemikiran para sufi mengenai tasawuf. Dan ini dapat digunakan sebagai sumber hukum ketiga dalam tasawuf. Berikut tokoh-tokoh sufi beserta pemikiran dan pandangannya dalam kajian tasawuf, diantaranya:
a.       Dzun Nun Al-Mishri
Namanya Abul Faidh Dzun Nun Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri, wafat pada tahun 245H./859M. ayahnya berasal dari Naubi. Dia seorang yang sangat terhormat, paling alim, wara`, kharismatik dan sastrawan dimasanya. Dzun Nun adalah seorang yang kurus berkulit putih kemerahan dan tidak berjenggot putih. Salah satu mutiara nasihatnya yaitu diantara tanda-tanda orang yang cinta Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, dalam perilaku, perbuatan, perintah-perintah dan sunnah-sunnahnya.[38]
Beliau dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma`rifat. Ma`rifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah `ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma`rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual.
Menurutnya, ma`rifat adalah fadl (anugerah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Allah-nya, maka akan semakin dekat, khusyu dan mencintai-Nya. Hakikat ma`rifat bagi Dzun Nun Al-Mishri adalah Al-Haq itu sendiri. Yakni, cahaya mata hati seorang `arif dengan anugerah dari-Nya sanggup melihat realitas sebagaimana Al-Haq melihatnya.
Pada tingkatan ma`rifat, seorang `arif akan mendapati penyingkapan hijab (Kasyf Al-Hijab). Dengan pengetahuan inilah, segala gerak sang `arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah. Beliau menegaskan bahwa, Aku ma`rifat pada Allah-ku sebab Allah-ku, andaikata bukan karena Allah-ku, niscaya aku tidak akan ma`rifat kepada-Nya.[39]
b.      Abu Yazid Al-Busthami
Namanya Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Busthami (188H.-261H./804M.-875M.). Dia tiga bersaudara, dua lainnya Adam Thaifur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadah, namun Abu Yazid (Thaifur) adalah yang paling agung diantara ketiganya. Salah satu mutiara hikmahnya yaitu dia pernah ditanya, “dengan apakah kamu mencapai ma`rifat ini?” jawabnya, “dengan perut yang lapar dan tubuh yang jelek.[40]
Al-Busthami adalah orang pertama yang memakai istilah fana` sebagai kosakata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme dari gnostisisme hindu-budha. Konsep muraqabah (pendekatan spiritual) yang dipahaminya disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada puncaknya mencapai ekstase (fana`) dimana terjadi penyatuan antara “yang mendekat” (muraqib, yakni sufi) dan “yang didekati” (muraqab, yakni Allah).
Konsep ittihad merupakan pengembangan dari konsep fana` dan baqa` yang dicetuskannya. Menurutnya, setelah mencapai ma`rifat, seseorang dapat melanjutkan kepada kekelan (baqa`) dan akhirnya ittihad. Fana` adalah penyirnaan diri dari sifat keduniawian yang dilukiskan laksana kematian jasad dan lepasnya roh menuju kepada kekalan (baqa`) dan dari sini dapat melangkah kepada penyatuan dengan Allah (ittihad). Pada titik ini kerap terjadi yang diistilahkan dalam dunia sufi sebagai syathahat atau keadaan tidak sadar karena telah menjadi penyatuan dimana dia seolah menjadi Allah itu sendiri.[41]
c.       Al-Junaid Al-Baghdadi
Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad Al-Nehawandi Al-Baghdadi[42], wafat pada tahun 297H./910M[43]. Ia dikenal sebagai tokoh yang mensistematisasikan beberapa kecenderungan tasawuf dan mencoba mengislamisasi  istilah-istilah tasawuf dengan istilah-istilah dari Al-Qur`an. Ia digelari sayyid al-taifah dan juga tawus al-ulama` (burung merak para ulama). Dia menjadi figure teladan dalam dunia ketasawufan.
Kajian menarik dari beliau adalah tentang fana` (dengan pengembangan yang berbeda dari fana` yang dikembangkan oleh Al-Busthami), yakni proses peleburan diri sehingga menghilang batas-batas individual yang ada dalam diri manusia. Doktrin ini ditopang oleh dua konsep utama, perjanjian atau kontrak azali dan fana`. Manusia telah tercipta sebelumnya dari ke-fana`an-nya. Dan agar bisa kembali maka manusia perlu meniadakan dirinya kembali agar suci sebagaimana ketika berada di alam roh.
Tetapi Junaid menandaskan disini bahwa fana` bukanlah akhir dari perjalanan spiritual manusia. Fana` hanyalah sarana menuju baqa`. Jika fana` menimbulkan perasaan bersatu dengan Allah karena peleburan sifat diri manusia, maka baqa` adalah perpisahan dari perasaan untuk kembali menjadi hamba Allah, sebab tidak ada yang lebih baik dan menyenangkan daripada menjadi hamba ditengah-tengah kehidupan sehari-hari.[44]
d.      Al-Ghazali
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H. (1058M) di daerah Thus, salah satu kota di Khurasan yang di warnai oleh perbedaan paham keagamaan.[45] Masa hidup Al-Ghazali berada pada akhir periode Iklasik (650-1250M.) yang memasuki masa disintegrasi (1000-1250M.). Dimana masyarakat pada saat itu sedang mengalami masa kemunduran.[46]
Pemikiran tasawuf Al-Ghazali adalah termasuk dalam model aliran transendenlisme, yaitu aliran yang masih mempertahankan sendi-sendi dasar ajaran tauhid dan membedakan adanya dua pola wujud, yakni wajib al-wujud (Tuhan) dan mumkin al-wujud (Makhluk). Bagi aliran ini, tingkat yang tertinggi yang dapat di capai oleh seorang hamba dalam dunia tasawuf adalah ma’rifat kepada Allah SWT dan penghayatan kepada alam ghaib serta mendapatkan ilmu laduniyah.
Walaupun aliran ini tidak menggunakan istilah Al-insan Al-kamil,namun gambaran atau ide dasar tentang Al-insan Al-kamil tetap manjadi dasar ajarannya,yakni dengan adanya sebutan “wali” atau golongan khawwash. Oleh karena itu, konsep al-insan al-kamil menurut aliran ini adalah wali Allah, yaitu orang-orang khawwash yang secara langsung telah mendapat limpahan ilmi ghaib dari Lawh Mahfuzh sehingga ia dapat berkenalan dengan para malaikat, roh nabi-nabi dan dapat memetik pelajaran dari mereka, mengetahui suratan nasib yang ada di Lawh Mahfuzh sehingga dapat mengetahui apa yang akan terjadi dan bahkan ma’rifat kepada Allah.[47]
e.       Ibnu `Arabi
Abu Bakar Muhammad ibn Ali Al-Khotami Al-Tho’i Al-Andalusi (1165 -1240M.). Di Timur ia di kenal dengan sebutan Ibnu’ Arabi, di Barat ia di kenal dengan sebutan Ibnu Suraqah, Al-Syekh Al-Akbar (Doctor Maximus), Muhyidin bahkan Neoplotinus. Ia dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai tradisi kehidupan sufistik yang kuat. Tetapi, Ibn `Arabi sendiri dalam pertumbuhannya justru, menempuh pendidikan dengan tradisi intelektual rasional-filosofis yang kala itu berkembang pesat di wilayah Andalusia dengan Ibnu Rusyd sebagai tokoh besarnya kala itu.[48]
Dalam pemikiran Ibn `Arabi, Allah adalah Al-Khaliq bagi seluruh alam. Seluruh yang ada termasuk manusia adalah pancaran iradat Allah (ide Allah). Inilah yang membawanya kepada sebuah simpulan yang menyatakan bahwa alam ini adalah esensi dari Allah itu sendiri.[49]
Jalan yang ditempuh seorang salik menurut Ibn `Arabi adalah taubat, zuhud dan khalwat (keterputusan diri dari seluruh dunia luar baik fisik maupun pikiran dengan hanya memikirkan Allah dengan zikir dan merasakan kebersamaan dengan-Nya. Pada konteks ini Ibn `Arabi melihat keniscayaan seorang pembimbing spiritual (murshid) agar jalan yang ditempuh benar. Ia pernah mengatakan bahwa barangsiapa menempuh jalan kesufian (suluk) tanpa seorang guru, maka ketauhilah bahwa gurunya adalah setan. Sebaliknya, bagi salik yang mampu (alim), kehadiran guru justru akan mengurangi konsentrasi riyadhanya dan membatasi daya fantasi dan imajinasinya tentang Allah.[50]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama Islam itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa tasawuf Islam itu timbul sebab adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau diterangkan dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Namun, apabila kita mencari dan menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka banyak sekali didapati dari ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf.
Adapun apa saja sumber-sumber kajian ilmu tasawuf sebagaimana yang diuraikan diatas bahwa Al-Qur`an dan Al-Hadits selalu mempunyai kedudukan dalam setiap disiplin ilmu keagamaan. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sumber-sumber tasawuf yaitu:
1.      Al-Qur`an
2.      Al-Hadits
3.      Ijtihad Para Sufi, seperti:
a.       Dzun Nun Al-Mishri
b.      Abu Yazid Al-Busthami
c.       Al-Junaid Al-Baghdadi
d.      Al-Ghazali
e.       Ibn `Arabi
f.       Dan masih banyak lagi yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an dan Terjemah. Departemen Agama RI. Edisi Tahun 2002. Jakarta: CV Daarus Sunnah.
Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad. 1991. Studi Ilmu Al-Qur`an. Terjemahan oleh Drs. H. Aminuddin. 1998. Bandung: Pustaka Setia.
Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi. Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Terjemahan oleh Umar Faruq. 2007. Cetakan II. Jakarta: Pustaka Amani.
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Fauqi Hajjaj, Muhammad. Tasawuf Islam dan Akhlak. Terjemahan oleh Kamran As`At Irsyadi Fakhri Ghazali. 2011. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibnu Pakar, Suteja. 2013. Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta: Deepublish.
Labib Mz. 2000. Memahami Ajaran Tashowuf. Surabaya: CV Cahaya Agency.
Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Cetakan V. Bandung: Pustaka Setia.
Suteja. 2008. Pengantar Tasawuf Islam Teori dan Praktek. Cirebon: Pangger Press.
Sumarna, Cecep dan Saefullah, Yusuf. 2004. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Syafe`i, Rachmat. 2000. Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum). Bandung: CV Pustaka Setia.





[1] Drs. H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, 2010, Cetakan V, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 207
[2] Ust. Labib Mz., Memahami Ajaran Tashowuf, 2000, Surabaya: CV Cahaya Agency, hlm. 33
[3] Ibid., hlm. 28
[4] Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Akhlak Tasawuf, 2010, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 150
[5] Ibid. hlm. 151.
[6] Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, 1991, Studi Ilmu Al-Qur`an, Terjemahan oleh Drs. H. Aminuddin, 1998, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 15
[7] Drs. H. Suteja, M.Ag., 2008, Pengantar Tasawuf Islam Teori dan Praktek, Cirebon: Pangger Press, hlm. 310-336
[8] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Terjemahan oleh Umar Faruq, 2007, Cetakan II, Jakarta: Pustaka Amani, hlm. 116-117
[9] Suteja Ibnu Pakar, 2013, Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Ajarannya, Yogyakarta: Deepublish, hlm. 166
[10] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 297
[11] Ibid. hlm. 258
[12] Ibid. hlm. 244
[13] Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, 2011, Tasawuf Islam dan Akhlak, Terjemahan oleh Hamran As`At Irsyadi dan Fakhri Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 31
[14] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 147
[15] Ibid, hlm. 169
[16] Ibid. hlm. 178
[17] Ibid, hlm. 229
[18] Ibid, hlm. 276-277
[19] Ibid, hlm. 252-253
[20] Ibid, hlm. 475
[21] Ibid, hlm. 41
[22] Drs. H. Suteja, M.Ag., 2008, Op. Cit. hlm. 81
[23] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 293
[24] Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, 2011, Op. Cit., hlm. 331
[25] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 198-199
[26] Drs. Cecep Sumarna, M.Ag. dan Drs. Yusuf Saefullah, M.Ag., Pengantar Ilmu Hadits, 2004, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, hlm. 1
[27] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 115
[28] Ibid, hlm. 297-298
[29] Dr. H. Rachmat Syafe`I, MA., Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum), 2000, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 59
[30] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 258
[31] Ibid, hlm. 153
[32] Ibid, hlm. 146
[33] Ibid, hlm. 167
[34] Ibid, hlm. 277
[35] Ibid, hlm. 473
[36] Ibid, hlm. 293
[37] Ibid, hlm. 199-200
[38] Ibid, hlm. 635-636
[39] Suteja Ibnu Pakar, 2013, Op. Cit., hlm. 48-49
[40] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 283-284
[41] Suteja Ibnu Pakar, 2013, Op. Cit., hlm. 49-50
[42] Ibid, hlm. 51
[43] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 631
[44] Suteja Ibnu Pakar, 2013, Op. Cit., hlm. 51-52
[45] Ibid, hlm. 64
[46] Ibid, hlm. 55
[47] Ibid, hlm. 84-85
[48] Ibid, hlm. 95-96
[49] Ibid, hlm. 97
[50] Ibid, hlm. 98-99
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger