BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata “Kurikulum” mulai dikenal
sebagai istilah dalam dunia pendidikan lebih kurang sejak satu abad yang lalu.
Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun
1856. Pada tahun itu kata kurikulum digunakan dalam bidang olahraga, yakni
suatu alat yang membawa orang dari star sampai ke finish. Barulah
pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti
sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan.[1]
Pengertian kurikulum berkembang
sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan. Dalam pandangan lama,
kurikulum merupakan kumpulan sejumlah mata pelajaran yang harus disampaikan
oleh guru dan dipelajari oleh siswa. Pandangan ini menekankan pengertian
kurikulum pada segi isi. Dalam pandangan yang muncul kemudian, penekanan
terletak pada pengalaman belajar. Dengan titik tekan tersebut, kurikulum
diartikan sebagai segala pengalaman yang disajikan kepada para siswa dibawah
pengawasan atau pengarahan sekolah.[2]
Ada sejumlah ahli teori kurikulum
yang berpendapat bahwa kurikulum bukan hanya meliputi semua kegiatan yang
direncanakan melainkan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dibawah pengawasan
sekolah, jadi selain kegiatan kurikuler yang formal juga kegiatan kurikuler
yang tidak formal. Kegiatan kurikuler yang tidak formal ini sering disebut
ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler.[3]
Untuk sekolah yang bersangkutan,
kurikulum sekurang-kurangnya memiliki dua fungsi:
1.
Sebagai
alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan; dan
2.
Sebagai
pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan sehari-hari.[4]
Keutamaan mempelajari kurikulum bagi seseorang yang menekuni dunia
pendidikan adalah suatu kegiatan yang tidak boleh terlewatkan, karena berbicara
pendidikan berarti berbicara kurikulum yang ada didalamnya. Demikian halnya
dengan pendidikan Islam, tentunya terdapat kurikulum didalamnya. Maka, karena
keperluan yang utama tersebutlah dalam Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam di
Perguruan Tinggi Agama Islam, salah satu materi yang harus dikuasai dan
dipahami adalah tentang Kurikulum dalam Pendidikan Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan diatas, diambil rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan
makalah ini, yaitu:
1.
Apa
yang dimaksud dengan kurikulum pendidikan Islam?
2.
Apa
saja ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam?
3.
Apa
saja prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam?
4.
Apa
isi kurikulum pendidikan Islam?
5.
Bagaimana
langkah-langkah dalam mendesain kurikulum pendidikan Islam?
C.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah
adalah:
1.
Untuk
mengetahui pengertian kurikulum pendidikan Islam;
2.
Untuk
mengetahui ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam;
3.
Untuk
mengetahui prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam;
4.
Untuk
mengetahui isi kurikulum pendidikan Islam; dan
5.
Untuk
memahami langkah-langkah dalam mendesain kurikulum pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum secara etimologis adalah
tempat berlari dengan kata yang berasal dari bahasa latin curir yaitu
pelari dan curere yang artinya tempat berlari.[5] Selain
itu, juga berasal dari kata curriculae artinya jarak yang harus ditempuh
oleh seorang pelari. Maka, pada waktu itu pengertian kurikulum ialah jangka
waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh
ijazah.[6]
Dalam pandangan tradisional
disebutkan bahwa kurikulum memang hanya rencana pelajaran. Sedangkan dalam
pandangan modern kurikulum lebih dari sekedar rencana pelajaran atau bidang
studi. Kurikulum dalam pandangan modern adalah semua yang secara nyata terjadi
dalam proses pendidikan di sekolah. Dalam kalimat lain disebut sebagai semua
pengalaman belajar.[7]
Adanya pandangan bahwa kurikulum
hanya berisi rencana pelajaran di sekolah disebabkan adanya pandangan tradisional
yang mengatakan bahwa kurikulum memang hanya rencana pelajaran. Pandangan
tradisional ini sebenarnya tidak terlalu salah, mereka membedakan kegiatan
belajar kulikuler dan kegiatan belajar ekstrakulikuler dan kokulikuler.
Kegiatan kulikuler ialah kegiatan belajar untuk mempelajari pelajaran wajib,
sedangkan kegiatan kokulikuler dan ekstrakulikuler disebut mereka sebagai
kegiatan penyerta. Praktik kimia, fisika atau biologi, kunjungan ke museum
untuk pelajaran sejarah misalnya, dipandang mereka sebagai kakulikuler
(penyerta kegiatan belajar bidang studi). Apabila kegiatan itu tidak berfungsi
sebagai penyerta, seperti pramuka dan olahraga, maka yang ini disebut kegiatan
di luar kurikulum (kegiatan ekstrakulikuler).
Menurut pandangan modern, kurikulum
lebih dari sekedar rencana pelajaran atau bidang studi. Kurikulum dalam
pandangan modern ialah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan
di sekolah. Pandangan ini bertolak dari sesuatu yang actual dan nyata, yaitu
yang actual terjadi disekolah dalam proses belajar. Dalam pendidikan, kegiatan
yang dilakukan siswa dapat memberikan pengalaman belajar, seperti berkebun,
olahraga, pramuka dan pergaulan serta beberapa kegiatan lainnya di luar bidang
studi yang dipelajari. Semuanya merupakan pengalaman belajar yang bermanfaat.
Pandangan modern berpendapat bahwa semua pengalaman belar itulah kurikulum.
Atas dasar ini, maka inti kurikulum
adalah pengalaman belajar. Ternyata pengalamn belajar yang banyak berpengaruh
dalam pendewasaan anak, tidak hanya mempelajari mata pelajaran interaksi sosial
di lingkungan sekolah, kerja sama dalam kelompok, interaksi dalam lingkungan
fisik, dan lain-lain, juga merupakan pengalaman belajar.[8]
Berikut ini beberapa pengertian
kurikulum menurut para pakar, yaitu:
1. Saylor
dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai the total effort of the school
situations, artinya bahwa kurikulum merupakan keseluruhan usaha yang
dilakukan oleh lembaga pendidikan atau sekolah untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
2. Smith
memandang kurikulum sebagai seperangkat dan upaya pendidikan yang bertujuan
agar peerta didik memiliki kemampuan hidup bermasyrakat. Anak didik dibina agar
memiliki kemampuan menyesuaikan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat.
3. Harold
Rugg mengartikan kurikulum sebagai program sekolah yang didalamnya terdapat
semua peserta didik dan pekerjaan guru-guru mereka.
4. Menururt
Hilda Taba, kurikulum adalah suatu kegiatan dan pengalaman peerta didik di
sekolah yang sudah direncanakan. [9]
Adapun pengertian kurikulum sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.[10]
Dari pengertian kurikulum tersebut
dapat dipahami bahwa kurikulum bukan hanya bahan pelajaran yang akan diajarkan
kepada peserta didik, melainkan juga terdapat seperangkat aturan lain dan
kegiatan lain yang ikut membentuk dan membangun kedewasaan peserta didik di
sekolah. Adapun semua perangkat yang dimaksud bertujuan satu, yaitu mencapai
tujuan pendidikan. Dalam pendidikan Islam juga memiliki kurikulum yang menjadi
bahan untuk mencapai tujuan pendidikannya.
Berdasarkan pengertian yang sudah
diketahui bahwa kurikulum merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk
membimbing peserta didiknya kearah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui
akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Ini berarti
bahwa proses pendidikan Islam bukanlah proses yang dilakukan secara
serampangan, tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia, transformasi
sejumlah pengetahuan keterampilan dan sikap mental yang harus terususun.[11] Dari
penjelasan tersebut maksud kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum
pendidikan yang berasaskan ajaran Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an,
Al-Hadits, Ijma` dan lainnya.
Adapun fungsi kurikulum dalam
pendidikan Islam adalah sebagai:
1. Alat
untuk mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan manusia sesuai dengan tujuan
yang dicita-citakan;
2.
Pedoman
dan program yang harus dilakukan oleh subjek dan objek pendidikan;
3. Fungsi
kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan
tenaga kerja bagi yang tidak melanjutkan;
4. Standardisasi
dalam penilaian kriteria keberhasilan suatu proses pendidikan, atau sebagai
batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada caturwulan, semester,
maupun pada tingkat pendidikan tertentu.[12]
B.
Ciri-Ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum Pendidikan Islam tidak
akan terlepas dari asas Islam itu sendiri yakni Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka
ciri utama yang bisa diketahui adalah mencantumkan Al-Qur`an dan Al-Hadits
sebagai sumber utama. ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam menurut Al-Syaibani,
yaitu:
1. Kurikulum
pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan
akhlak itu harus diambil dari Al-Qur`an dan Al-Hadit serat contoh-contoh dari
tokoh terdahulu yang saleh.
2. Kurikulum
pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi
siswa, yaitu aspek jasmani, akal dan rohani. Untuk pengembangan menyeluruh ini kurikulum harus
berisi mata pelajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek
itu. Oleh karena itu, di perguruan tinggi diajarkan mata pelajaran seperti
ilmu-ilmu Al-Qur`an termasuk tafsir dan qiro`ah serta mata pelajaran lainnya.
3. Kurikulum
pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat,
dunia dan akhirat, jasmani, akal dan rohani manusia.
4.
Kurikulum
pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus seperti ukir, pahat,
tulis-indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu, memperhatikan juga pendidikan
jasmani, latihan militer, teknik, keterampilan dan bahasa asing sekalipun
semuanya ini diberikan kepada perseorangan secara efektif berdasar bakat, minat
dan kebutuhan.
5. Kurikulum
pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di
tengah manusia karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman. Kurikulum
dirancang sesuai dengan kebudayaan itu.
Adapun ciri-ciri khusus kurikulum
pendidikan Islam, yaitu:
1. Dalam
kurikulum pendidikan Islam, tujuan utamanya adalah pembinaan anak didik untuk
bertauhid. Oleh karena itu, semua sumber yang dirunut berasal dari ajaran Islam;
2. Kurikulum
harus disesuaikan dengan fitrah manusia, sebagai makhluk yang memiliki
keyakinan kepada Tuhan;
3.
Kurikulum
yang disajikan merupakan hasil pengujian materi dengan landasan Al-Qur`an dan
Al-Hadits;
4. Mengarahkan
minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan akliah peserta didik serta
keterampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan konkret;
5. Pembinaan
akhlak peserta didik, sehingga pergaulannya tidak keluar dari tuntunan Islam;
dan
6. Tidak
ada kadaluarsa kurikulum karena ciri khas kurikulum Islam senantiasa relevan
dengan perkembangan zaman bahkan menjadi filter kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam penerapannya didalam kehidupan masyarakat.[13]
Beberapa ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam yang telah disebutkan
diatas, dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan Islam menekankan aspek
spiritual tinggi dan akhlak yang mulia.
C.
Prinsip-Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan
Islam menurut Mujib, yaitu:
1.
Prinsip
yang berorientasi pada tujuan. “Al-umur bi maqashidiha” merupakan
adagium ushuliyah yang berimplikasi pada aktivitas kurikulum yang
terarah, sehingga tujuan pendidikan yang tersusun sebelumnya dapat tercapai.
Disamping itu, perlu adanya persiapan khusus bagi para penyelenggara pendidikan
untuk menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik seiring
dengan tugas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah swt.
2.
Prinsip
relevansi. Implikasinya adalah mengusulkan agar kurikulum yang ditetapkan harus
dibentuk sedemikian rupa, sehingga tuntutan pendidikan dengan kurikulum
tersebut dapat memenuhi jenis dan mutu tenaga kerja yang dibutuhkan masyarakat,
serta tuntutan vertical dalam mengeban nilai-nilai ilahi sebagai rahmatan li
al-alamin.
3.
Prinsip
efisiensi dan efektifitas. Implikasinya adalah mengusulkan agar kegiatan
kurikulum dapat mendayagunakan waktu, tenaga, biaya, dan sumber-sumber lain
secara cermat dan tetap sehingga hasilnya memadai dan memenuhi harapan sera
membuahkan hasil sebanyaknya. Islam mengajarkan agar seorang muslim menghargai
waktu sebaik-baiknya (QS. Al-‘Ashr: 1, Adh-Dhuha: 1, Al-lail: 1, Asy-Syams:
1-9), sehingga tidak ada hari libur untuk beraktivitas (QS. Al-Jumu’ah: 9-10),
serta menghargai tenaga dan aktivitas manusia. Baik tidaknya seseorang
ditentukan oleh nilai kerjanya (QS. An-Najm: 39-40). Di samping itu, Islam juga
mengajarkan agar seseorang sedapatnya menggunakan hartanya sesederhana mungkin,
tidak bolos, dan tidak menggunakannya untuk sesuatu yang kurang bermanfaat (mubadzir).
(QS. Al-Isra’: 26-27).
4.
Prinsip
fleksibilitas program. Implikasinya adalah kurikulum disusun begitu luwes,
sehingga mampu disesuaikan dengan situasi setempat, waktu dan kondisi yang
berkembang, tanpa mengembang tujuan pendidikan yang diinginkan. Prinsip ini
tidak hanya dilihat dari salah satu faktor, tetapi juga dilihat dari totalitas ekosistem
kurikulum, baik yang berkenaan dengan perkembangan peserta didik (kecerdasan,
kemampuan, dan pengetahuan yang diperolah), metode yang digunakan, fasilitas
yang tersedia, serta lingkungan yang mempengaruhinya.
5.
Prinsip
integritas. Implikasinya adalah mengupayakan kurikulum agar menghasilkan
manusia yang seutuhnya, manusia yang mampu mengintegrasikan antara fakultas dzikir
dan fakultas fikir, serta manusia yang mampu menyelaraskan kehidupan
dunia dan akhirat. Di samping itu, pengupayaan kurikulum tersebut menghasilkan
peserta didik yang mampu menguasai ilmu-ilmu qur’ani (din Allah)
dan ilu-ilmu kawni (sunnah Allah) yang bertujuan untuk mencari
ridha Allah swt. Prinsip ini dilakukan dengan cara memadukan semua komponen
kurikulum tanpa adanya penggalan satu dengan lainnya.
6.
Prinsip
kontinuitas (istiqamah). Implikasinya adalah bagaimana susuna kurikulum
yang terdiri dari bagian yang berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan
kurikulum lainnya, baik secara vertical (penjenjangan, tahapan), maupun secara
horizontal.
7.
Prinsip
sinkronisme. Implikasinya adalah bagaimana suatu kurikulum dapat seirama,
searah dan setujuan, serta jangansampai terjadi kegiatan kurikulum lain yang
menghambat, berlawanan, atau mematikan kegiatan lain.
8.
Prinsip
objektivitas. Implikasinya adalah adanya kurikulum tersebut dilakukan melalui
tuntutan kebenaran ilmiah yang objektif, dengan mengesampingkan
pengaruh-pengaruh emosi yang irasional. (QS. Al-Ma’idah: 8).
9.
Prinsip
demokrasi. Implikasinya adalah pelaksanaan kurikulum harus dilakukan secara
demokrasi. Artinya, saling mengerti, memahami keadaan dan situasi tiap-tiap
subjek dan objek kurikulum. Segala tindakan sebaiknya dilakukan melalui
musyawarah untuk mufakat, sehingga kegiatan itu didukung bersama dan apabila
terjadi kegagalan maka tidak meyalahkan satu dengan yang lain.
10.
Prinsip
analisis kegiatan. Prinsip ini mengandung tuntutan agar kurikulum
dikonstruksikan melalui proses analisis isi bahan mata pelajaran, serta
analisis tingkah laku yang sesuai dengan materi pelajaran.
11.
Prinsip
individualisasi. Prinsip kurikulum yang memperhatikan perbedaan pembawaan dan
lingkungan pada umumnya yang meliputi seluruh aspek pribadi peserta didik,
seperti perbedaan jasmani, watak, inteligensi, bakat, serta kelebihan dan
kekurangannya.
12.
Prinsip
pendidikan seumur hidup. Konsep ini diterapkan dalam kurikulum mengingat
keutuhan potensi subjek manusia sebagai subjek yang berkembang dan perlunya
keutuhan wawasan (orientasi) manusia sebagai sukbjek yang sadar akan nilai
(yang menghayati dan yakin akan cita-cita dan tujuan hidup). (Tim Depag RI,
1979; 18). Semua hal tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya belajar yang
berkesinambungan.[14]
Sedngkan menurut Asy-Syaibani (1979: 519-522), prinsip utama dalam
kurikulum pendidikan Islam adalah:
1.
Berorientasi
pada Islam, termasuk ajaran dan nilai-nilainya. Adapun kegiatan kurikulum yang
baik berupa falsafah, tujuan, metode, prosedur, cara melakukan, dan
hubungan-hubungan yang berlaku dilembaga harus berdasarkan Islam.
2.
Prinsip
menyeluruh (syumuliyyah) baik dalam tujuan maupun isi kandungannya.
3.
Prinsip
keseimbangan (tawazun) antara tujuan dan kandungan kurikulum.
4.
Prinsip
interaksi (ittishaliyyah) antara kebutuhan siswa dan kebutuhan
masyarakat.
5.
Prinsip
pemeliharaan (wiqayah) antara perbedaan-perbedaan individu.
6.
Prinsip
perkembangan (tanmiyyah) dan perubahan (taghayyur) seiring dengan
tuntutan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolut ilahiyyah.
7.
Prinsip
integritas (muwahhadah) antara mata pelajaran, pengalaan, dan aktivitas
kurikulum dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat dan tuntutan zaman serta
tempat peserta didik berada.[15]
D.
Isi Kurikulum Pendidikan Islam
Sebelum mengetahui apa saja isi kurikulum pendidikan Islam,
terlebih dahulu harus diketahui mengenai syarat-syarat yang diajukan dalam
perumusan kurikulum, yaitu sebagai berikut.
1.
Materi
yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia.
2.
Adanya
relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagai upaya mendekatan diri
dan beribadah kepada Allah swt dengan penuh ketakwaan dan keikhlasan.
3.
Disesuaikan
dengan tingkat perkembangan dan usia peserta didik.
4.
Perlunya
membawa perta didik kepada objek empiris, praktik langsung, dan memiliki fungsi
pragmatis, sehingga mereka mempunyai keterampilan-keterampilan yang nyata.
5.
Penyusunan
kurikulum bersifat integral, terorganisasi dan terlepas dari segala kontradiksi
antara materi satu serta materi lainnya.
6.
Materi
yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah yang mutakhir, yang
sedang dibicarakan dan relevan dengan tujuan Negara setempat.
7.
Adanya
metode yang mampu menghantar tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan
perbedaan masing-masing individu.
8.
Materi
yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan peserta didik.
9.
Memperhatikan
aspek-aspek sosial, misalnya Da`wah Islamiyah.
10.
Materi
yang disusun mempunyai pengaruh positif terhadap jiwa peserta didik, sehingga
menjadikan kesempurnaan jiwanya.
11.
Memperhatikan
kepuasan pembawaan fitrah, seperti memberikan waktu istirahat dan refreshing
untuk menikmati suatu kesenian.
12.
Adanya
ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.
Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, disusunlah isi kurikulum
pendidikan Islam. Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Abrasyi (1969:
285-287), membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan dua tingkatan, yaitu
sebagai berikut:
1.
Tingkat
Pemula (manhaj ibtida’i)
Materi kurikulum pemula difokuskan pada pembelajaran Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Ibnu Khaldun memandang bahwa Al-Qur’an merupakan asal agama, sumber
berbagai ilmu pengetahuan, dan asas pelaksanaan pendidikan Islam. Disamping
itu, mengingat isi Al-Qur’an mencakup materi penanaman akidah dan keimanan pada
jiwa peserta didik, serta memuat akhlak mulia, dan pembinaan pribadi menuju
prilaku yang positif.
2.
Tingkat
atas (manhaj ‘ali)
Kurikulum ini mempunyai dua kualifikasi; pertama, ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti ilmu syariah yang mencakup
fiqih, tafsir, hadis, ilmu kalam, ilmu bumi, dan ilmu filsafat. Kedua, ilmu-ilmu
yang ditunjukan untuk ilmu-ilmu lain, dan bukan ilmu yang berkaitan dengan
dzatnya sendiri. Misalnya ilmu bahasa (linguistik), ilmu matematika, dan ilmu mantiq
(logika).
Ibnu Khaldun kemudian membagi ilmu dengan tiga kategori, yaitu
sebagai berikut.
1.
Ilmu-ilmu
naqliyah, yaitu ilmu yang diambil dari Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama
lain. Seperti ilmu fiqih untuk mengetahui kewajiban-kewajiban beribadah; ilmu
tafsir untuk mengetahui maksud-maksud Al-Qur’an; ilmu usul fiqhi untuk
meng-istibath-kan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta
ilmu-ilmu lainnya.;
2.
Ilmu-ilmu
aqliyah, yaitu ilmu yang diambil dari daya pikiran manusia, seperti ilmu
filsafat, ilmu-ilmu mantiq (logika), ilu bumi, ilmu kalam, ilmu teknik,
ilmu matematika, ilmu kimia, dan ilmu fisika; dan
3.
Ilmu-ilmu
lisan (linguistik), seperti ilmu nahwu, ilmu bayan, ilmu adab (sastra).
Al-Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan empat
kelompok dengan mempertimbangkan jenis, dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu:
1.
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu fiqih, As-Sunnah, tafsir dan
sebagainya;
2.
Ilmu-ilmu
bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu Al-qur’an dan ilmu agama;
3.
Ilmu-ilmu
yang fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematika, industri,
pertanian, teknologi dan sebagainya;
4.
Ilmu-ilmu
beberapa cabang ilmu filsafat.
Klasifikasi isi kurikulum tersebut berpijak pada klasifikasi ilmu
pengetahuan dengan tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.
1.
Ilmu
pengetahuan menurut kuantitas yang mempelajari, terbagi:
a.
Ilmu
fardhu’ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang
bersumber dari Kitab Allah.
b.
Ilmu
fardhu kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagai orang
muslim, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi, misalnya ilmu
hitung, kedokteran, teknik pertanian, industry, dan sebagainya.
2.
Ilmu
pengetahuan menurut fungsinya, terbagi:
a.
Ilmu
tercela (madzmumah), yaitu ilmu yang tidak berguna untuk masalah dunia
dan masalah akherat serta mendatangkan kerusakan, misalnya ilmu sihir, nujum,
dan perdukunan.
b.
Ilmu
terpuji (mahmudah), yaitu ilmu-ilmu agama yang dapat menyucikan jiwa dan
menghindarkan hal-hal yang buruk, serta ilmu yang dapat mendekatkan diri
manusia kepada Allah swt.
c.
Ilmu
terpuji dalam batas-batas tertentu, dan tidak boleh dipelajari secara mendalam,
karena akan mendatangkan atheis (ilhad) seperti ilmu filsafat.
Selanjutnya, Al-Ghazali membagi ilmu model ini kepada ilmu macam,
yaitu:
1)
Olahraga
(riyadhiyah), seperti ilmu teknik, matematika, dan organisasi;
2)
Ilmu
logika (manthiq) yang digunakan untuk mendatangkan pemahaman dan bukti
dari dalil syar’i;
3)
Ilmu teologi (uluhiyah), yaitu ilmu
yang digunakan untuk memperbincangkan Tuhan, seperti ilmu kalam;
4)
Ilmu
kalam (thab’iyyah), yaitu ilmu yang digunakan mengetahui sifat-sifat
jasmani, seperti psikologi dan sebagainya;
5)
Ilmu
politik dan rekayasa untuk kepentingan kemaslahatan dunia.
3.
Ilmu
pengetahuan menurut sumbernya, terbagi:
a.
Ilmu
syar’iyyah, yaitu ilmu-ilmu yang didapat dari wahyu ilahi dan sabda Nabi
saw.
b.
Ilmu
‘aqliyah, yaitu ilmu yang berasal dari akal pikiran setelah mengadakan
eksperimen dan akulturasi.
Konferensi di Islam adab 11 menghasilkan keputusan bahwa isi
kurikulum terbagi atas dua macam, yaitu perennial (naqliyah) dan acquired
(aqliyah). Perennial diterima melalui wahyu yang terdapat
pada Al-qur’an dan As-Sunnah, sedangkan acquired diperoleh melalui
imajinasi dan pengalaman indra. Adapun rinciannya sebagai berikut.
1.
Grup
perennial, yaitu ilmu Al-qur’an, meliputi qira’ati, hifzh, tafsir,
sunnah, sirah, tauhid, fiqh, ushu fiqih, bahasa Al-Qur’an (baik fonologi,
sintaksis, maupun semantik).
2.
Grup
acquired, yaitu:
a.
Seni
(imajinatif), meliputi seni islam arrsitektur, bahasa, dan sebagainya;
b.
Seni
intelek, meliputi pengetahuan sosial, kesusastraan, filsafat, pendidikan,
ekonomi, politik, sejarah, peradaban islam, ilmu bumi, sosiologi, linguistic,
psikologi, antropologi, dan sebagainya;
c.
Ilmu
murni, meliputi engineering dan teknologi, ilmu kedokteran, pertanian,
kehutanan, dan sebagainya;
d.
Ilmu
praktik (practical science), meliputi ilmu perdagangan, ilmu
administrasi, ilmu perpustakaan, ilmu kerumahtanggaan, ilmu komunikasi, dan
sebagainya.
E.
Langkah-Langkah Mendesain Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam kurikulum terdapat komponen-komponen
yang tidak boleh diabaikan keberadaannya, komponen-komponen yang dimaksud
adalah:
1.
Tujuan;
2.
Isi
atau program;
3.
Metode
atau proses pembelajaran; dan
4.
Evaluasi.[16]
Adapun dalam mendesain kurikulum pendidikan Islam berdasarkan
komponen-komponen kurikulum diatas, yaitu harus dimulai dari penyusunan atau
perumusan tujuan menurut Islam. Dan tujuan pendidikan Islam tidak lain sebagai
berikut:
1.
Jasmaninya
sehat dan kuat;
2.
Akalnya
cerdas dan pandai;
3.
Hatinya
dipenuhi iman kepada Allah.
Untuk mewujudkan muslim seperti itu,
pendesainan kurikulum dapat dilakukan dengan kerangka sebagai berikut:
1.
Untuk
jasmani yang sehat dan kuat disediakan mata pelajaran dan kegiatan olahraga dan
kesehatan.
2.
Untuk
otak yang cerdas dan pandai disediakan mata pelajaran dan kegiatan yang dapat
mencerdaskan otak dan menambah pengetahuan seperti logika dan berbagai sains.
3.
Untuk
hati yang penuh iman disediakan mata pelajaran dan kegiatan agama.
Sementara itu, mata pelajaran dapat
didesain sesuai dengan:
1.
Perkembangan
kemampuan siswa yang bersangkutan;
2.
Kebutuhan
individu dan masyarakatnya menurut tempat dan waktu.
Dan pendesainan kurikulum itu dengan memberikan pertimbangan,
sebagai berikut:
1.
Prinsip
berkesinambungan;
2.
Prinsip
berurutan; dan
3.
Prinsip
integrasi pengalaman.
Karena tujuan pendidikan disegala tingkatan dan jenis pendidikan
berintikan iman, maka seluruh mata pelajaran dan kegiatan belajar haruslah
bertolak dari dan menuju kepada keimanan kepada Allah. Dengan cara begitu maka
kesatuan pengalaman siswa akan terbentuk dan kesatuan pengalaman itu
dikendalikan oleh otoritas Allah. Dalam keadaan seperti itu, manusia akan mampu
menempati posisinya sebagai kholifah Allah yang memiliki otoritas tak terbatas
dalam mengatur alam ini.
Jadi, inti (core) kurikulum pendidikan Islam adalah kehendak
Allah. Dengan ini maka kesatuan pengetahuan dan pengalaman akan berpusat pada
Allah, pengaturan kehidupan akan sesuai dengan kehendak Allah.
Kerangka kurikulum Islam sebagaimana dilukikan diatas adalah
kurikulum yang umum, dapat dan dijadikan acuan oleh orang islam dalam mendesain
kurikulumpendidikan disekolah, dimasyarakat, dan didalam rumah tangga. Kerangka
kurikulum tersebut ialah sebagai berikut:
1.
Tujuan;
2.
Isi
kurikulum (materi)
3.
Metode
4.
Evaluasi
Jika kita diterapkan teori itu dalam mendesain kurikulum, maka
langkah-langkahnya kira-kira sebagai berikut:
1.
Kita
hendak melaksanakan suatu pendidikan, sekolah, anak dirumah, atau kursus
computer. Langkah pertama: rumuskanlah tujuannya sejelas mungkin. Tujuan yang
biasanya masih umum itu perlu dijabarkan (di taksonomi) atau di-break-down menjadi tujuan yang kecil-kecil. Akhirnya kita
memperoleh rumusan tujuan yang banyak, mungkin ratusan item.
2.
Bila
tujuan sudah dirumuskan sampai kepada rumusan operasional (yang kecil-kecil
itu), maka langkah kedua ialah menentukan isi kurikulum isinya ialah materi
pengetahuan atau mata pelajaran dan berbagai kegiatan (kokurikuler dan ekstra
kulikuler). Dari sini kita dapat mebuat daftar mata pelajaran dan kegiatan
serta syllabus-nya masing-masing.
3.
Langkah
selanjutnya ialah menentukan cara mencapai tujuan itu. Disini banyak sekali
teori yang harus dipertimbangkan, sebab metode belajar-mengajar itu merupakan
racikan teori-teori dari disiplin psikologi, metodologi, pengajaran,
teknik evaluasi, didaktik pada umumnya, pengetahuan tentang alat-alat
pengajaran, pertimbangan, tentang waktu, tempat, suasana dan lain-lain. Dalam
bentuknya yang operasional, proses belajar-mengajar itu ditulis dalam persiapan
mengajar atau lesson plan. Agar dapat membuat lesson plan. Agar
dapat membuat lesson plan dengan
benar, hendaklah dikuasai lebih dahulu teori-teorinya dalam disiplin metodik
khusus.
4.
Langkah
terakhir ialah menentukkan teknik dan alat evaluasi. Langkah ini tidak
bersangkutan langsung dengan isi dan proses belajar mengajar.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pengertian yang sudah
diketahui bahwa kurikulum merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk
membimbing peserta didiknya kearah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui
akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Ini berarti
bahwa proses pendidikan Islam bukanlah proses yang dilakukan secara
serampangan, tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia,
transformasi sejumlah pengetahuan keterampilan dan sikap mental yang harus
terususun. Dari penjelasan tersebut maksud kurikulum pendidikan Islam adalah
kurikulum pendidikan yang berasaskan ajaran Islam, yang bersumber dari
Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma` dan lainnya.
Ciri-ciri kurikulum pendidikan
Islam, yaitu:
1.
Kurikulum
pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak.
2.
Kurikulum
pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi
siswa, yaitu aspek jasmani, akal dan rohani.
3.
Kurikulum
pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat,
dunia dan akhirat, jasmani, akal dan rohani manusia.
4.
Kurikulum
pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus dan pendidikan jasmani.
5.
Kurikulum
pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di
tengah manusia karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman.
Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan
Islam, yaitu:
1.
Prinsip
yang berorientasi pada tujuan.
2.
Prinsip
relevansi.
3.
Prinsip
efisiensi dan efektifitas.
4.
Prinsip
fleksibilitas program.
5.
Prinsip
integritas.
6.
Prinsip
kontinuitas (istiqamah).
7.
Prinsip
sinkronisme.
8.
Prinsip
objektivitas.
9.
Prinsip
demokrasi.
10.
Prinsip
analisis kegiatan.
11.
Prinsip
individualisasi.
12.
Prinsip
pendidikan seumur hidup.
Al-Ghazali membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan empat
kelompok dengan mempertimbangkan jenis, dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu:
1.
Ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu fiqih, As-Sunnah, tafsir dan
sebagainya;
2.
Ilmu-ilmu
bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu Al-qur’an dan ilmu agama;
3.
Ilmu-ilmu
yang fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematika, industri,
pertanian, teknologi dan sebagainya;
4.
Ilmu-ilmu
beberapa cabang ilmu filsafat.
Dalam pendidikan kurikulum dapat didesain sesuai dengan
keperluannya, maka langkah-langkah dalam mendesain kurikulum pendidikan Islam,
yaitu:
1.
Rumuskanlah
tujuannya sejelas mungkin.
2.
Menentukkan
isi kurikulum pendidikan Islam.
3.
Menentukkan
cara mencapai tujuan.
4.
Menentukkan
teknik dan alat evaluasi.
B.
Kritik dan Saran
Penulis menyadari banyaknya
kekurangan dalam penulisan karya ilmiah (makalah) ini, baik itu dari kesalahan
tanda baca, bahasa dan sebagainya. Maka, atas dasar kekurangan itu diharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun. Agar ada perubahan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasan dan Beni Ahmad Saebani. 2010. Ilmu Pendidikan Islam
Jilid II. Bandung: Pustaka Setia.
Daradjat, Zakiah dkk. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. III.
Jakarta: Bumi Aksara.
Hamalik, Oemar. 1994. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung:
Bumi Aksara.
Kurinasih, Imas dan Berlin Sani. 2014. Implementasi Kurikulum
2013 Konsep dan Penerapan. Cet. II. Surabaya: Kata Pena.
Nasution. 2006. Kurikulum dan Pengajaran. Cet. IV. Jakarta:
Bumi Aksara.
Nizar, Samsul. 2013. Sejarah Pendidikan Islam. Cet. V.
Jakarta: Kencana.
Noer Aly, Hery. 1999. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Umar, Bukhori. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah.
[1] Bukhari Umar, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 162.
[2] Hery Noer Aly,
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 162.
[3] Nasution, Kurikulum
dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet. IV, hlm. 5.
[4] Zakiah
Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996),
Cet. III, hlm. 122.
[5] Imas Kurinasih
dan Berlin Sani, Implementasi Kurikulum 2013 Konsep dan Penerapan,
(Surabaya: Kata Pena, 2014), Cet. II, hlm. 3.
[6] Oemar Hamalik,
Kurikulum dan Pembelajaran, (Bandung: Bumi Aksara, 1994), hlm. 16.
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm.
81.
[8] Bukhari Umar, Op.Cit.,
hlm. 163-164.
[9] Hasan Basri
dan Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam Jilid II, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), hlm. 176-177.
[10] Imas Kurinasih
dan Berlin Sani, Op.Cit., hlm.3.
[11] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet. V, hlm. 126-127.
[12] Bukhari Umar, Op.Cit.,
hlm. 172.
[13] Hasan Basri
dan Beni Ahmad Saebani, Op.Cit., hlm. 182.
[14] Bukhari Umar, Op.Cit.,
hlm. 167-170.
[15] Ibid.,
Bukhari Umar, hlm. 171.
[16] Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 83.