Jual Beli Murobahah

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Hubungan antar manusia membuat mereka saling melakukan interaksi dan transaksi satu dengan lainnya. Tentu saja hal ini disebabkan karena kebutuhan manusia harus dipenuhi guna melanjutkan hidup mereka, dan untuk memenuhinya manusia tidak bisa segala sesuatunya dilakukan sendiri, melainkan memerlukan orang lain.
Salah satu interaksi yang dimaksud adalah jual beli. Sebagaimana dijelaskan oleh Ali Hasan (2013: 113) bahwa jual beli terdiri dari dua kata yaitu jual dan beli, namun dalam makna lebih dalam keduanya adalah satu kesatuan, maksudnya adalah di dalam ada penjualan di sanalah ada pembelian.
Sebenarnya pembahasan jual beli dalam Islam sangat banyak dan kompleks, hal itu karena ajaran Islam sangat serius dalam membimbing  para penganutnya. Sehingga pantas apabila persoalan jual beli dalam Islam diuraikan sedetail mungkin dengan harapan mampu menjadi pedoman bagi khalayak umum.
Adapun salah satu jual beli yang menjadi pembahasan penting dalam Islam adalah jual beli murobahah (deffered payment sale). Jual beli murobahah menurut Sri Nurhayati (2008: 176) adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Demikian dapat dengan mudahnya dipahami tentang jual beli murobahah ini dari penjelasan pengertian di atas, namun banyak sekali kaum muslimin belum memahami betul mengenai jual beli tersebut. Maka, dengan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penulis, berusaha menyajikan materi tentang jual beli murobahah dalam bentuk karya tulis yakni makalah.
Selain sebagai tugas pemenuhan mata kuliah terkait, juga sebagai tambahan pengetahuan wajib yang mesti dikuasai oleh para penegak agama Allah SWT. Agar sekiranya dengan penyajian yang sederhana ini semoga memberikan gambaran pengetahuan tentang jual beli murobahah.

B.  Rumusan Masalah    
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan jual beli murobahah?
2.    Apa saja persoalan-persoalan fiqih dalam murobahah?
3.    Seperti apakah murobahah dalam Lembaga Keuangan Syari`ah?
4.    Persoalan-persoalan hukum apa saja yang ada dalam murobahah?
5.    Bagaimanakah skema pembiayaan murobahah ?

C.  Tujuan Penulisan Makalah
Dari rumusan masalah yang sudah dijelaskan di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.    Untuk memahami pengertian jual beli murobahah;
2.    Untuk memahami persoalan-persoalan fiqih dalam murobahah;
3.    Untuk mengetahui seperti apa murobahah dalam Lembaga Keuangan Syari`ah?
4.    Untuk memahami persoalan hukum dalam murobahah; dan
5.    Untuk memahami skema proses pembiayaan murobahah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Jual Beli Murobahah
Jual beli merupakan salah cara manusia untuk menunjukkan satu sama lainnya bahwa mereka membutuhkan sesamanya. Jual beli juga merupakan warisan nenek moyang yang senantiasa di zaman sekarang ini banyak sekali bentuk dan cara yang dilakukan dalam jual beli itu sendiri. Keadaan yang seperti bukanlah hal negative yang harus diratapi, melainkan suatu pelajaran penting bahwa kehidupan manusia itu senantiasa bergerak dan berputar (dinamis), tidak diam (stagnan).
Dalam jual beli tidak semuanya akan dianggap sah, melainkan banyak sekali macamnya jual beli yang terlarang dan sejenisnya. Oleh karenanya Ibnu Rusyd (2007: 796) menjelaskan bahwa jual beli akan dianggap sah apabila memenuhi tiga syarat utama yaitu akad yang jelas, barang yang jelas dan orang-orang yang melakukan akad.
Jual beli terlarang salah satunya disebabkan karena barang yang dijualnya itu, namun para imam madzhab dalam suatu perkara seringkali berbeda pendapat terkait hal ini. Sebagaimana tentang hukum hasil penjualan anjing, Syekh Al-`Allamah Muhammad (2013: 227) menjelaskan bahwa Imam Malik membolehkan hukumnya, tetapi makruh. Demikian juga pendapat Imam Hanafi. Sedangkan menurut Imam Syafi`i dan Imam Hambali hukumnya tidak boleh sama sekali.
Sehingga terkait hukum-hukum jual beli berdasarkan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan oleh Sulaiman Rasjid (2012: 289-290) bahwa hukum-hukum jual beli sebagai berikut:
1.    Mubah
2.    Wajib
3.    Haram
4.    Sunnah
Adapun jenis jual beli yang diperbolehkan salah satunya adalah murobahah. Sebagaimana disebutkan oleh Fathurrohman Djamil (2012: 108-109) bahwa kata murobahah berasal dari rabbaha, yurobbihu dan murobahatan, yang berarti untung atau menguntungkan, seperti ungkapan “Tijaratun rabihah, wa baa’u asy-syai murabahatan” artinya perdagangan yang menguntungkan, dan menjual sesuatu barang yang memberi keberuntungan. Kata murobahah juga berasal dari kata ribhun atau rubhun yang berarti tumbuh, berkembang dan bertambah.
Menurut para ahli hukum (fuqaha), pengertian murobahah adalah “Al-ba’i bira’sil maal waribhun ma’lum” artinya jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui. Ibnu Jazi menggambarkan jenis transaksi ini “Penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang dan keuntungan yang akan diambil dari barang tersebut”. Para fuqaha mensifati murobahah sebagai bentuk jual beli atas dasar kepercayaan (dhaman buyu’ alamanah).
Pengertian murobahah dalam praktik adalah apa yang diistilahkan dengan bai al’murobahah liamir bisy-syira, yaitu permintaan seseorang atau pembeli terhadap orang lain untuk membelikan barang dengan cirri-ciri yang ditentukan. Bentuk ini dinamakan Murobahah Permintaan/Pesanan Pembeli (MPP). Menurut Yusuf Qardhawi, dalam MPP ini ada dua unsur utama yang perlu dipahami yaitu adanya wa’ad (janji), artinya janji untuk membelikan barang yang diminta pembeli dan janji penjual untuk meminta keuntungan dari barang tersebut. Disepakati pula oleh pembeli dan penjual bahwa janji ini bersifat mengikat (iltizam) yang kemudian akan dilakukan pembayaran dengan cara ditangguhkan (muajjal).
Berdasarkan penjelasan tersebut, unsure-unsur MPP bila diterapkan dalam perbankan syari`ah adalah sebagai berikut:
1.    Pembeli menentukkan barang yang dikehendaki disertai karakteristiknya dan meminta pihak bank untuk membeli dan menentukkan harganya.
2.    Pihak bank mencari barang yang sesuai dengan permintaan pembeli kepada pemasok/penyedia barang baik atas inisiatifnya atau atau rekomendasi dari pembeli.
3.    Pihak bank membeli barang dari pemasok/penyedia barang secara tunai sehingga barang tersebut menjadi milik bank.
4.    Setelah bank mendapatkan informasi barang yang dibutuhkan berikut harganya, kemudia menentukkan harga jual kepada pembeli berikut syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pembeli.
5.    Pihak pembeli memenuhi ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukkan oleh bank berikut tata cara pembayarannya.
6.    Pembeli menandatangani akad murobahah dengan bank atas barang/objek yang telah disepakati dengan harga jual bank yang terdiri dari harga pokok dan margin keuntungan, kemudian bank menyerahkan barang tersebut kepada nasabah sebagai pembeli.  
Dari definisi yang ada, dapat dipahami bahwa murobahah mempunyai ciri adanya margin (keuntungan/kelebihan), tetapi bukan yang bersifat jelas ribanya. Melainkan memberikan kejelasan informasi tentang harga barang yang akan dijual sampai keuntungan dari harga barang yang dijual tersebut.
Kemudian lebih lanjut Fathurrohman Djamil menjelaskan tentang rukun murabahah adalah sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu:
1.    Adanya penjual (al-ba’i);
2.    Pembeli (al-musytari’);
3.    Barang yang dibeli (al-mabi’);
4.    Harga (al-tsaman); dan
5.    Shighat (ijab-qabul).
Selanjutnya tentang dasar hukum murobahah Fathurrohman lebih lanjut menjelaskan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum murabahah sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada umumnya. Diantara dasar hukum yang digunakan jumhur ulama adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai tertuang dalam:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا [٤:٢٩]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29).
Sedangkan hadits Rasulullah SAW “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka; ada tiga hal yang mengandung berkah jual beli tidak secara tunai, muraqadha, dan mencampur gandum dengan jawawut”.
Bagi jumhur ulama, murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang dihalalkan oleh syara. Secara umum ia tunduk kepada rukun dan syarat jual beli, terdapat beberapa syarat khusus untuk jual beli murabahah, yaitu :
1.    Penjual hendaknya menyatakan modal yang sebenarnya bagi barang yang hendak dijual.
2.    Pembeli setuju dengan keuntungan yang ditetapkan oleh penjual sebagai imbalan dari harga perolehan/harga beli barang, yang selanjutnya menjadi harga jual barang secara murabahah.
3.    Sekiranya ada ketidakjelasan/ketidakcocokan masalah harga jual barang maka pihak pembeli boleh membatalkan akad yang telah dijalankan sehingga bubarlah jual beli secara murabahah tersebut
4.    Barang yang dijual secara murabahah bukan barang ribawi.

B.  Persoalan-Persoalan Fiqih dalam Murobahah
Adapun persoalan-persoalan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.    Pembahasan tentang Wa`ad
Dalam perdata Islam, wa`ad berarti janji, yaitu ikhbaron insyail mukhbir ma`rufan lilmustaqbal, suatu pernyataan yang dimaksud oleh pemberi pernyataan untuk melakukan perbuatan baik di masa depan, (Fathurrohman Djamil, 2012: 1)
Lebih lanjut dijelaskan mengenai beberapa pandangan imam madzhab terkait wa`ad ini.
a.    Pendapat Jumhur Fuqaha dari Hanafiyah, Syafi`iyah, Hanabilah dan satu pendapat dari Malikiyah yang mengatakan bahwa janji merupakan kewajiban agama (mulzimun diyanah) dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan) karenanya wa`ad merupakan akad tabarru` (kebajikan/kedermawanan) dan akad ini tidaklah mengikat.
b.    Pendapat sebagian ulama, di antaranya Ibnu Syubrumah (144 H), Ishaq bin Rahawiyah (237 H), Hasan Basri (110 H) dan sebagian pendapat Malikiyah, yang menyatakan bahwa janji itu wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum.
c.    Pendapat sebagian fuqaha Malikiyah yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat secara hukum apabila janji itu berkaitan dengan suatu sebab, sekalipun sebab tersebut tidak menjadi bagian/disebutkan dari pernyataan janji tersebut.Misalnya, ungkapan aku hendak menikah, aku mau membeli barang ini, jika aku menyelesaikan utangku maka aku akan meminjamkan ini atau aku mau jalan-jalan besok maka pinjamkan binatangmu padaku dan seterusnya.
d.   Pendapat Malikiyah yang masyhur di antara mereka adalah pendapat Ibnu Qasim yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat untuk dipenuhi apabila berkaitan dengan sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji tersebut. Misalnya, jika seseorang membeli seorang budak untuk permintaan seseorang dengan seribu dirham, dia berkata kepada si fulan “saya beli anda dengan seribu dirham” maka terbelilah budak tersebut. Keadaan ini mengikat bagi si fulan.
2.    Menjual secara Cicilan/Angsuran
Murobahah dengan tambahan harga terhadap harga jual barang karena ada jangka waktu pembayaran atau jual beli angsuran, para ulama berbeda pendapat. Pendapat Pertama, merupakan pendapat Jumhur ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah yang membolehkan jual beli angsuran dengan meninggikan harga jual dibandingkan harga tunai. Mereka berlandaskan Q.S. Al-Baqarah: 275) dan hadits Rasulullah SAW.
“Apabila terjadi perbedaan antara dua jenis barang maka belilah olehmu yang kamu sukai” (H.R. Muslim).
Pendapat Kedua, sebagian pendapat Syi`ah seperti Al-Qosimiyah dan Imam Yahya serta pendapat Ibnu Sirrin, Syuraih dan Ibnu Hazm Adz-Dzohiri, yang menyatakan bahwa tidak boleh meninggikan/menaikkan harga jual barang terhadap jual beli terhadap tempo waktu. Mereka berlandaskan kepada hadist Nabi Muhammad SAW
Dari riwayat Abu Hurairah, “barangsiapa melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) di antara keduanya atau menjadi riba”.
Dari dua pendapat tersebut, menurut mayoritas ulama berpendapat yang paling rajah adalah pendapat yang pertama, yaitu membolehkan jual beli secara angsuran dengan menaikkan harga jual (Fathurrohman Djamil, 2012:112-114).
3.    Penggabungan akad (Al-Uqud Al-Murokkabah)
Penggabungan akad maksudnya adalah persetujuan antara dua pihak atau lebih untuk menyatukan dua akad atau lebih yang berbeda fitur dan konsekuensi hukumnya agar mencapai transaksi yang dapat berjalan sesuai yang diinginkan. Berkaitan dengan penggabungan akad, di kalangan ulama ada dua pendapat besar, yaitu:
a.    Menurut Jumhur Fuqaha dari Hanafiyah, Syafi`iyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah yang mengatakan bahwa tidak boleh menggabungkan beberapa akad dalam satu akad kecuali akad itu berdiri sendiri secara sah seperti penggabungan akad bai` dan ijarah.
b.    Menurut pengikut dari Maikiyah dan Ibnu Taimiyah dari Hanabilah yang menyatakan kebolehannya menyatukan/menggabungkan akad dan syarat dalam satu akad.

C.  Murobahah dalam Lembaga Keuangan Syari`ah (LKS)       
Dalam LKS, khususnya Perbankan Syari`ah, murobahah diterapkan sebagai produk pembiayaan untuk membiayai pembelian barang-barang consumer, kebutuhan modal kerja dan kebutuhan investasi.
Mekanisme penerapan murobahah di LKS, didasarkan pada asumsi bahwa nasabah membutuhkan barang atau objek tertentu, tetapi kemampuan financial tidak cukup untuk melakukan pembayaran secara tunai. Untuk itulah maka nasabah berhubungan dengan LKS.
Harga yang disepakati adalah harga jual yaitu harga beli plus margin dan biaya-biaya yang timbul dari proses pembelian barang tersebut. Apabila harga pembelian dari supplier atau pemasok yang dibeli oleh LKS mendapat potongan harga/diskon dan hal tersebut terjadi sebelum melakukan perjanjian dengan nasabah, maka potongan harga/diskon tersebut menjadi hak nasabah, sehingga harga jual adalah harga setelah diskon. Akan tetapi, apabila potongan harga itu terjadi setelah akad dilakukan, maka pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad antara LKS dan nasabah.
Pada saat harga jual disepakati, maka pihak LKS menyerahkan barang yang dipesan tersebut sesuai dengan kuantitas, kualitas, tempat dan waktu yang disepakati. Apabila aktiva/barang yang telah dibeli LKS (sebagai penjual) mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi beban LKS dan LKS mengganti barang tersebut atau mengurangi nilai jual sesuai dengan kesepakatan, sehingga yang diserahkan tersebut benar-benar sesuai permintaaan nasabah (pembeli) (Fathurrohman Djamil, 2012: 119-121).
D.  Persoalan-Persoalan Hukum dalam Murobahah     
Berikut ini akan diuraikan mengenai persoalan-persoalan hukum yang biasa terjadi dalam murobahah.
a.    Penyerahan Barang
Penyerahan benda yang diperjualbelikan dalam Islam merupakan kewajiban. Akad jual beli dinilai tidak memnuhi syarat dn dapat dibatalkan apabila benda yang menjadi objek akad tidak diserahkan. Akad yang tidak dibarengi dengan penyerahan objek akad dinilai sebagai gharar.
b.    Resiko atas Barang dan Pembayaran
Dalam pembiayaan bentuk bai`al murobahah, LKS menghadapi resiko dengan barang dan pembayaran. Resiko atas barang adalah adanya kerusakan atas barang sebagai objek pertukaran. Apabila kerusakan objek pertukaran itu terjadi sebelum diserahkan kepada pembeli dan bukan oleh pembeli maka pertukaran itu batal. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut oleh pembeli, maka pembeli bertanggung jawab untuk mengganti benda tersebut atau membayar harganya.
Adapun apabila kerusakan tersebut setelah diserahkan kepada pembeli dan kerusakan tersebut bukan oleh penjual, maka pertukaran telah terjadi, sedangkan apabila kerusakan tersebut oleh penjual, maka penjual harus mengganti benda itu atau pembeli membatalkan akadnya.
Sedangkan resiko berkaitan dengan pembayaran yaitu nasabah tidak melakukan pembayaran baik sebagian atau sepenuhnya sesuai dengan jadwal pembayaran. Syariah menghindari resiko ini antara lain dengan adanya agunan, penanggungan (jaminan pihak ketiga) dan syarat perjanjian yang menyatakan bahwa semua hasil barang murobahah yang dijual kepada pihak ketiga (baik tunai maupun angsuran) harus atas sepengetahuan bank hingga kewajiban pembayaran kepada bank dibayar secara penuh.
Jika tidak melakukan pembayaran dikarenakan faktor di luar kemampuan pengawasan nasabah, bank syari`ah secara moral berkewajiban untuk melakukan penjadwalan ulang bahkan me-restructuring piutang tersebut dan sebaliknya.
c.    Agunan
Mengambil agunan untuk menjamin utang, menurut Al-Qur`an dan Hadits pada dasarnya bukan sesuatu yang tercela. Agunan adalah cara untuk menjamin hak-hak kreditor/pembeli fasilitas agar tidak dilanggar dan menghindari memakan harta orang lain secara tidak benar.
d.   Pajak
Berdasarkan surat Dirjen Pajak kepada salah satu Unit Usaha Syari`ah Bank Swasta Nasional dikemukakan bahwa transaksi murobahah yang dilakukan oleh bank syari`ah termasuk dalam pengertian kena pajak yang terutang pajak pertambahan nilai (PPN) (Fathurrohman Djamil, 2012: 123-126).

E.  Skema Pembiayaan Murobahah  
Keterangan Skema:
1.    Bank Syari`ah dan Developer mengadakan perjanjian kerja sama (MoU) pemilik rumah. Bank akan menyediakan fasilitas pembayaran pemilikan rumah bagi calon pembeli rumah developer.
2.    Pembeli atau calon nasabah bermaksud membeli rumah di lokasi milik developer dan mengajukan Pembiayaan Pemilikan Rumah kepada Bank. Calon nasabah melengkapi persyaratan permohonan pembiayaan sesuai criteria yang dipersyaratkan. Jika persyaratan lengkap, bank selanjutnya melakukan analisa kelayakan pembiayaan terhadap calon nasabah.
3.    Apabila calon nasabah layak dibiayai, maka bank akan mengeluarkan surat persetujuan kepada calon nasabah (surat penawaran). Calon nasabah melakukan negosiasi dengan bank. Jika terjadi kesepakatan, calon nasabah menandatangani penawaran dan berjanji (wa`ad) untuk melakukan transaksi murobahah dengan bank.
4.    Bank melakukan transaksi rumah (berdasarkan Perjanjian Kerja Sama) dengan developer sesuai spesifikasi rumah yang diminta oleh calon nasabah, secara prinsip (fiqih) rumah menjadi milik bank (dokumentasi rumah dibuat atas nama nasabah). Dalam hal developer belum memiliki perjanjian kerja sama, bank dapat mewakilkan atau member kuasa (wakalah) kepada nasabah untuk melakukan transaksi/pemesanan rumah secara langsung ke developer yang dipilih nasabah.
5.    Nasabah dan bank melakukan perjanjian pembiayaan pemilikan rumah berdasarkan prinsip murobahah.
6.    Bank dapat member kuasa/mewakilkan kepada developer untuk menyerahkan rumah kepada nasabah (berdasarkan perjanjian kerja sama).
7.    Developer menyerahkan rumah kepada nasabah.
8.    Nasabah membayar secara tasqith (angsuran) atau ta`jil (tempo) ke bank sesuai jadwal angsuran yang disepakati.

BAB III
KESIMPULAN
Menurut para ahli hukum (fuqaha), pengertian muraobahah adalah “Al-ba’i bira’sil maal waribhun ma’lum” artinya jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui. Ibnu Jazi menggambarkan jenis transaksi ini “Penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang dan keuntungan yang akan diambil dari barang tersebut”. Para fuqaha mensifati muraobahah sebagai bentuk jual beli atas dasar kepercayaan (dhaman buyu’ alamanah).
Rukun murabahah adalah sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu adanya penjual (al-ba’i), pembeli (al-musytari’), barang yang dibeli (al-mabi’), harga (al-tsaman), dan shighat (ijab-qabul).
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum murabahah sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada umumnya. Diantara dasar hukum yang digunakan jumhur ulama adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai tertuang dalam Q.S. An-Nisa: 29, Q.S. Al-Baqarah: 198 dan 275 dan Q.S. Al-Muzzammil: 20.
Sedangkan hadis Rasulullah antara lain sebagai berikut : “sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka;ada tiga hal yang mengandung berkah jual beli tidak secara tunai, muraqadha, dan mencampur gandum dengan jawawut”.


DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fathurrohman. 2012. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari`ah. Jakarta: Sinar Grafika.
Hasan, M. Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Edisi I. Jakarta: Pustaka.
Muhammad bin `Abdurrohman Ad-Dimasyqi, Syekh Al-`Allamah. 2013. Fiqih Empat Madzhab. Terjemahan Oleh Abdullah Zaki Alkaf. Cetakan ke-14. Bandung: Hasyimi.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Cetakan ke-55. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid). Terjemahan Oleh Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani.
Sri Nurhayati, Wasilah. 2008. Akuntasi Syari'ah di Indonesia. Jakarta: Salemba.


Standar Penilaian dalam Kurikulum 2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dalam pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Taqiyuddin, 2013: 17).
Berangkat dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan aktivitas sadar yang dilakukan oleh manusia guna membangun pribadi individu, masyarakat, bangsa dan negaranya menjadi lebih baik. Salah satu pendukung yang melatar belakangi baik buruknya sebuah pendidikan terlihat pada kurikulum pendidikan yang digunakan.
Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa (Oemar Hamalik, 2008: 17). Kurikulum pendidikan dibangun atas dasar kebutuhan bangsa juga masa yang memungkinkan adanya perbaikan apabila diperlukan. Dalam pendidikan, kurikulum pada hakikatnya bertujuan memudahkan mencapai tujuan pendidikan (Syafruddin Nurdin, 2005: 50). Sebagaimana diketahui bahwa dalam kurikulum setidaknya memiliki 4 unsur utama, yaitu tujuan, isi, metode dan evaluasi.
Dalam perubahan dan perbaikannya kurikulum Indonesia khususnya sudah mengalami beberapa kali perbaikan, dari semenjak tahun 1947 sampai tahun 2013 sekarang ini. Adapun kurikulum baru yang sempat diusungkan adalah bernama kurikulum 2013 atau umum juga disebut kurtilas.
Setiap kurikulum memiliki cara penilaian yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan minimalnya oleh pendekatan yang dilakukan dalam kurikulum tersebut. Kurikulum 2013 misalnya, yang mengedepankan pendekatan scientific, yang tentu saja memiliki kriteria penilaian yang berbeda dengan kurikulum-kurikulum yang sudah ada sebelumnya.
Keluasan penilaian yang terdapat dalam kurikulum 2013 menunjukkan adanya satu tujuan besar yang hendak dicapai di dalamnya. Namun, harus benar-benar dipahami tentunya oleh seluruh komponen pendidikan khususnya guru mengenai hal tersebut. Maka, oleh karena pentingnya memahami penilaian kurikulum 2013, dalam makalah penulis bermaksud menguraikan tentang Standar Penilaian dalam Kurikulum 2013.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.    Apa pengertian dari penilaian dan penilaian autentik dalam kurikulum 2013?
2.    Apa saja prinsip-prinsip penilaian dalam kurikulum 2013?
3.    Apa saja ruang lingkup, teknik dan instrument penilaian kurikulum 2013?

C.  Tujuan Penulisan Makalah
Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.    Untuk mengetahui pengertian penilaian dan penilaian autentik dalam kurikulum 2013;
2.    Untuk mengetahui prinsip-prinsip penilaian dalam kurikulum 2013;
3.    Untuk memahami ruang lingkup, teknik dan instrument penilaian kurikulum 2013.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Penilaian dan Penilaian Autentik dalam Kurikulum 2013
Secara umum dipahami bahwa penilaian adalah memberikan suatu nilai terhadap suatu objek yang dilihat, dirasa, diamati dan sebagainya. Nana Sudjana (2012: 3), menjelaskan bahwa untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga suatu objek diperlukan adanya ukuran atau kriteria. Misalnya, untuk dapat mengatakan baik, sedang, kurang, diperlukan ketentuan atau ukuran yang jelas bagaimana yang baik, yang sedang dan yang kurang. Ukuran itulah yang dinamakan kriteria.
Sehingga, dari sini dapat dipahami bahwa penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Lebih lanjut lagi Sudjana menjelaskan bahwa proses pemberian nilai tersebut berlangsung dalam bentuk interpretasi dan yang diakhiri dengan judgment. Interpretasi dan judgment merupakan tema penilaian yang mengimplikasikan adanya suatu perbandingan antara kriteria dan kenyataan dalam konteks situasi tertentu.
Maka, dapat dipahami bahwa penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilai adalah hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku siswa, yang mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotor atau dalam kurikulum 2013 cakupannya adalah perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan. Oleh sebab itu, dalam penilaian hasil belajar, peranan tujuan intruksional yang berisi rumusan kemampuan dan tingkah laku yang ingin dikuasai siswa menjadi unsur penting sebagai dasar dan acuan penilaian.
Imas dan Berlin (2014:47) menjelaskan bahwa pada Kurikulum 2013, siswa tidak lagi menjadi objek dari pendidikan, tapi justru menjadi subjek dengan ikut mengembangkan tema dan materi yang ada. Dan dengan adanya perubahan ini, tentunya berbagai standar dalam komponen pendidikan akan mengalami berubah. Mulai dari standar isi, standar proses maupun standar kompetensi lulusan, dan bahkan standar penilaian pun juga mengalami perubahan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya, Mohammad Nuh sebagai pemangku kebijakan tertinggi mengatakan bahwa “standar penilaian pada kurikulum baru tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Karena tujuan dan kurikulum 2013 adalah mendorong siswa aktif dalam tiap materi pembelajaran, maka salah satu komponen nilai siswa adalah jika si anak banyak bertanya.”
Tentunya banyak lagi komponen penilaian dalam kurikulum ini, seperti proses dan hasil observasi siswa terhadap suatu masalah yang diajukan guru, kemudian, kemampuan siswa menalar suatu masalah juga menjadi komponen penilaian sehingga anak terus diajak untuk berpikir logis, dan yang terakhir adalah kemampuan anak berkomunikasi melalui presentasi mengenai tema yang dibahas di kelas.
Adapun definisi standar penilaian pendidikan dijelaskan dalam Lampiran Permen Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan, adalah kriteria mengenai mekanisme, prosedur dan instrument penilaian hasil belajar peserta didik. Definisi tersebut juga senada dengan definisi standar penilaian pendidikan yang dijelaskan oleh E. Mulyasa (2009: 43).
Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian autentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah, yang diuraikan sebagai berikut.
1.    Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses,dan keluaran (output) pembelajaran.
2.    Penilaian diri merupakan penilaian yang dilakukan sendiri oleh peserta didik secara reflektif untuk membandingkan posisi relatifnya dengan kriteria yang telah ditetapkan.
3.    Penilaian berbasis portofolio merupakan penilaian yang dilaksanakan untuk menilai keseluruhan entitas proses belajar peserta didik termasuk penugasan perseorangan dan/atau kelompok di dalam dan/atau di luar kelas khususnya pada sikap/perilaku dan keterampilan.
4.    Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik.
5.    Ulangan harian merupakan kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.
6.    Ulangan tengah semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan tengah semester meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.
7.    Ulangan akhir semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.
8.    Ujian Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
9.    Ujian Mutu Tingkat Kompetensi yang selanjutnya disebut UMTK merupakan kegiatan pengukuran yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengetahui pencapaian tingkat kompetensi. Cakupan UMTK meliputi sejumlah Kompetensi Dasar yang merepresentasikan Kompetensi Inti pada tingkat kompetensi tersebut.
10.     Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan, yang dilaksanakan secara nasional.
11.     Ujian Sekolah/Madrasah merupakan kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi di luar kompetensi yang diujikan pada UN, dilakukan oleh satuan pendidikan.
Penilaian dalam kurikulum 2013 apabila dibulatkan, akan mendapatkan dua macam penilaian, yaitu:
1.    Penilaian (assessment) adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
2.    Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran, yang meliputi ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Adapun Imas dan Berlin lebih lanjut menjelaskan tentang Penilaian autentik menilai kesiapan peserta didik, serta proses dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga komponen (input, proses, output) tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan hasil belajar peserta didik, bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect) dari pembelajaran.
Penilaian autentik juga bisa diartikan sebagai upaya pemberian tugas kepada peserta didik yang mencerminkan prioritas dan tantangan yang ditemukan dalam aktifitas-aktifitas pembelajaran, seperti meneliti, menulis, merevisi, dan membahas artikel, memberikan analisis oral terhadap peristiwa, berkolaborasi dengan antar sesama melalui debat dan sebagainya.
Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Karena penilaian semacam ini mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menanya, menalar, mencoba dan membangun jejaring.
Pada penilaian auntentik ada kecenderungan yang focus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Karenanya, penilaian autentik sangat relevan dengan pendekatan saintifik.
Penilaian auntentik merupakan pendekatan dan instrumen penilaian yang memberikan kesempatan luas kepada peserta didik untuk menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang sudah dimilikinya dalam bentuk tugas-tugas seperti:
1.    Membaca dan meringkasnya
2.    Eksperimen
3.    Mengamati
4.    Survey
5.    Projek
6.    Makalah
7.    Membuat multimedia
8.    Membuat karangan, dan
9.    Diskusi kelas.
Kata lain dari penilaian autentik adalah penilaian kinerja, termasuk di dalamnya penilaian portofolio dan penilaian projek. Penilaian auntentik adakalanya disebut penilaian responsif, suatu metode untuk menilai proses dan hasil belajar peserta didik yang memiliki ciri-ciri khusus, mulai dari merka yang mengalami kelainan tertentu, memiliki bakat dan minat khusus hingga yang jenius. Penilaian autentik dapat diterapkan dalam berbagai bidang ilmu seperti seni atau ilmu pengetahuan pada umumnya, dengan orientasi utamanya pada proses dan hasil pembelajaran.
Hasil penilaian autentik dapat digunakan pendidik untuk merencanakan program perbaikan (remedial), pengayaan (enrichment), atau pelayanan konseling. Selain itu, hasil penilaian autentik dapat digunakan sebagai bahan untuk memperbaiki proses pembelajaran yang memenuihi standar penilaian pendidikan.
B.  Prinsip-prinsip Penilaian dalam Kurikulum 2013
Dalam Lampiran Permen yang di atas, lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam penilaian hasil belajar peserta didik, harus meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.    Objektif, berarti penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai.
2.    Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran dan berkesinambungan.
3.    Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.
4.    Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak.
5.    Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya.
6.    Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru.
Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria (PAK). PAK (Penilaian Acuan Kriteria) atau disebut juga PAP (Penilaian Acuan Patokan) merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik Kompetensi Dasar yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik.
Imas dan Berlin (2014: 50) menambahkan penjelasan tentang KKM sebagai berikut:
1.    KKM tidak dicantumkan dalam rapor, melainkan pada buku penilaian guru.
2.    KKM maksimal 100%, KKM ideal 75%, Satuan Pendidikan (Sekolah) dapat menentukan KKM dibawah KKM ideal dengan secara bertahap ditingkatkan.
3.    Peserta didik yang belum mencapai KKM, diberi kesempatan mengikuti program remedial sepanjang semester yang bersangkutan.
4.    Peserta didik yang sudah mencapai atau melampaui KKM diberi program pengayaan.

C.  Ruang Lingkup, Teknik dan Instrumen Penilaian Kurikulum 2013
Imas dan Berlin (2014: 51-54) menjelaskan uraiannya tentang ruang lingkup, teknik dan instrument penilaian kurikulum 2013 sebagai berikut.
1.    Ruang Lingkup Penilaian Kurikulum 2013
Penilaian hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk menentukan posisi relative setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan. Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi, kompetensi mata pelajaran atau kompetensi muatan atau kompetensi program dan proses.
2.    Teknik dan Instrumen Penilaian Kurikulum 2013
Teknik dan instrument yang digunakan untuk penilaian kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan adalah sebagai berikut.
a.    Penilaian Kompetensi Sikap
Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap melalui observasi, penilaian diri atau self assasment, penilaian “teman sejawat” (peer assasment) dan jurnal.
b.    Observasi
Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indicator perilaku yang diamati.
Kriteria instrument observasi:
1)   Mengukur aspek sikap (bukan pengetahuan atau keterampilan) yang dituntut pada Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar.
2)   Sesuai dengan kompetensi yang akan diukur.
3)   Memuat indicator sikap yang dapat diobservasi.
4)   Mudah atau feasible untuk digunakan.
5)   Dapat merekam sikap peserta didik.
c.    Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam konteks pencapaian kompetensi. Instrument yang digunakan berupa lembar penilaian diri. Penggunaan teknik ini dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan kepribadian seseorang. Keuntungan penggunaan teknik penilaian diri dalam penilaian di kelas sebagai berikut:
1)   Dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri;
2)   Peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya, karena ketika melakukan penilaian, harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan kelemahan dirinya;
3)   Dapat mendorong, membiasakan dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk jujur dan objektif dalam melakukan penilaian.
Kriteria instrument penilaian diri sebagai berikut:
1)   Kriteria penilaian dirumuskan secara sederhana namun jelas dan tidak bermakna ganda.
2)   Bahasa lugas dan dapat dipahami peserta didik.
3)   Menggunakan format sederhana yang mudah dipahami peserta didik.
4)   Menunjukkan kemampuan peserta didik dalam situasi yang nyata atau sebenarnya.
5)   Mengungkapkan kekuatan dan kelemahan capaian kompetensi peserta didik.
6)   Bermakna, mengarahkan peserta didik untuk memahami kemampuannya.
7)   Mengukur target kemampuan yang akan diukur (valid)
8)   Memuat indikator kunci atau indikator essensial yang menunjukkan kemampuan yang akan diukur.
9)   Memetakan kemampuan peserta didik dari yang rendah sampai tertinggi.
d.   Penilaian antar peserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrument yang digunakan berupa lembar penilaian antar peserta didik. Adapun kriteria instrument penilaian antarteman adalah sebagai berikut:
1)      Sesuai dengan kompetensi atau indikator yang akan diukur.
2)      Indikator dapat dilakukan melalui pengamatan peserta didik.
3)      Kriteria penilaian dirumuskan secara sederhana, namun jelas dan tidak berpotensi munculnya penafsiran makna ganda atau berbeda.
4)      Menggunakan bahasa lugas yang dapat dipahami peserta didik.
5)      Menggunakan format sederhana dan mudah digunakan oleh peserta didik.
6)      Indikator menunjukkan sikap peserta didik dalam situasi yang nyata atau sebenarnya dan dapat diukur.
7)      Instrument dapat mengukur target kemampuan yang akan diukur (valid).
8)      Memuat indikator kunci atau essensial yang menunjukkan penguasaan satu kompetensi peserta didik.
9)      Mampu memetakan sikap peserta didik dari kemampuan pada level terendah sampai kemampuan tertinggi.
e.    Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Jurnal dapat memuat penilaian peserta didik terhadap aspek tertentu secara kronologis. Adapun kriteria jurnal sebagai berikut:
1)   Mengukur capaian kompetensi sikap yang penting.
2)   Sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator.
3)   Menggunakan format sederhana dan mudah diisi atau digunakan.
4)   Dapat dibuat rekapitulasi tampilan sikap peserta didik secara kronologis.
5)   Memungkinkan untuk dilakukannya pencatatan yang sistematis, jelas dan komunikatif.
6)   Format pencatatan memudahkan dalam pemaknaan terhadap tampilan sikap peserta didik.
7)   Menuntun guru untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan peserta didik.
Instrument yang digunakan untuk observasi, penilaian diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah lembar pengamatan berupa daftar cek (checklist) atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan pendidik. Instrument penilaian harus memenuhi persyaratan substansi atau materi, konstruksi dan bahasa. Persyaratan substansi mempresentasikan kompetensi yang dinilai, persyaratan konstruksi memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrument yang digunakan dan persyaratan bahasa adalah penggunaan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.



BAB III
KESIMPULAN
A.  Pengertian Penilaian dan Penilaian Autentik dalam Kurikulum 2013
Penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Proses pemberian nilai tersebut berlangsung dalam bentuk interpretasi dan yang diakhiri dengan judgment. Interpretasi dan judgment merupakan tema penilaian yang mengimplikasikan adanya suatu perbandingan antara kriteria dan kenyataan dalam konteks situasi tertentu.
Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran, yang meliputi ranah sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Penilaian autentik juga bisa diartikan sebagai upaya pemberian tugas kepada peserta didik yang mencerminkan prioritas dan tantangan yang ditemukan dalam aktifitas-aktifitas pembelajaran, seperti meneliti, menulis, merevisi, dan membahas artikel, memberikan analisis oral terhadap peristiwa, berkolaborasi dengan antar sesama melalui debat dan sebagainya.
B.  Prinsip-prinsip Penilaian dalam Kurikulum 2013
1.    Objektif, berarti penilaian berbasis pada standar dan tidak dipengaruhi faktor subjektivitas penilai.
2.    Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik dilakukan secara terencana, menyatu dengan kegiatan pembelajaran dan berkesinambungan.
3.    Ekonomis, berarti penilaian yang efisien dan efektif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporannya.
4.    Transparan, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diakses oleh semua pihak.
5.    Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak internal sekolah maupun eksternal untuk aspek teknik, prosedur, dan hasilnya.
6.    Edukatif, berarti mendidik dan memotivasi peserta didik dan guru. Pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan kriteria (PAK).
C.  Ruang Lingkup, Teknik dan Instrumen Penilaian Kurikulum 2013
1.    Ruang Lingkup Penilaian
a.    Sikap
b.    Pengetahuan
c.    Keterampilan
2.    Teknik dan Instrumen Penilaian
a.    Teknik
1)   Penilaian Kompentensi Sikap
2)   Observasi
3)   Penilaian diri
4)   Penilaian antarteman
5)   Jurnal
b.    Instrumen
1)   Substansi
2)   Konstruksi
3)   Bahasa




DAFTAR PUSTAKA
E. Mulyasa. 2009. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Cetakan III. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Cetakan VII. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kurniasih, Imas dan Berlin Sani. 2014. Implementasi Kurikulum 2013: Konsep dan Penerapan. Cetakan II. Surabaya: Kata Pena.
Nurdin, Syafruddin. 2005. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Cetakan III. Jakarta: PT Ciputat Press.
Sudjana, Nana. 2012. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Cetakan XVII. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Taqiyuddin. 2013. Pendidikan Islam dalam Lintas Sejarah Nasional. Cetakan II. Cirebon: CV Pangger.













 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger