BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah individu yang kompleks dan unik. Dikatakan kompleks dan unik
karena manusia tidak dapat dinilai hanya dari satu sisi. Hal ini menunjukkan
bahwa banyak hal yang harus diperhatikan dalam mempelajari manusia. Pada abad
modern ini, para ahli pendidikan sangat gencar membicarakan tentang berbagai
macam kecerdasan yang dimiliki manusia, termasuk kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional lahir sebagai hasil dari proses berpikirnya manusia.
Manusia sebagai makhluk berpikir (rational animal) bukan hanya
memikirkan lingkungannya, melainkan juga dirinya sendiri, (Efendi, 2005: 3). Pemikiran
manusia bukan hanya menghasilkan sebuah gagasan, tetapi juga suatu peradaban.
Sehingga pantas sebelum lahirnya gagasan mengenai kecerdasan emosional,
kecerdasan intelegensi menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan. Sebab, seseorang
yang memiliki intelegensi tinggi dimungkinkan akan mendapatkan masa depan yang
jelas dan sukses.
Namun, hal itu terbantahkan dengan kemunculah gagasan tentang kecerdasan
emosional. Perlu diperhatikan lagi bahwa sebagai individu yang kompleks,
manusia senantiasa berkembang dan tidak dapat dipandang dari satu sisi. Oleh
karenanya, munculnya gagasan tentang kecerdasan emosional ini adalah sebagai
bentuk hasil dari keaktifan manusia dalam mengobservasi dirinya sendiri dan
sekitarnya.
Tetapi, juga perlu dipahami bahwa kemunculan
kecerdasan emosional ini bukan bermaksud menafikan kecerdasan intelegensi,
melainkan untuk menyempurnakannya. Dalam konsep kecerdasan intelegensi, manusia
lebih banyak memikirkan hal-hal yang ada di luar dirinya sendiri, sedangkan dalam
kecerdasan emosional, manusia lebih memikirkan hal-hal yang ada pada dirinya
sendiri. Perbedaan inilah yang menunjukan bahwa kecerdasan emosional bukan
suatu gagasan yang menganggap tidak diperlukannya kecerdasan intelegensi, melainkan
sebagai penyempurna dari kekompleksan yang dimiliki manusia itu sendiri,
(Suharsono, 2000: 38). Tulisan ini bermaksud menguraikan tentang apa dan
bagaimana kecerdasan emosional itu, sebagai kajian penting dalam mempelajari
psikologi pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diambil dalam
penulisan makalah ini, yaitu:
1.
Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional?
2.
Bagaimana ciri-ciri utama pikiran emosional?
3.
Bagaimana cara mengendalikan emosi?
4.
Apa urgensi meningkatkan kecerdasan emosional?
5.
Bagaimana upaya meningkatkan kecerdasan
emosional?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penulisan makalah ini sebagai
berikut:
1.
Untuk menjelaskan pengertian kecerdasan
emosional;
2.
Untuk memahami ciri-ciri utama pikiran
emosional;
3.
Untuk memahami cara mengendalikan emosi;
4.
Untuk memahami urgensi meningkatkan kecerdasan
emosional; dan
5.
Untuk mengetahui upaya meningkatkan kecerdasan
emosional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kecerdasan Emosional
Sebelum pada pembahasan mengenai kecerdasan emosional, dalam hal ini perlu
sekiranya dijelaskan terlebih dahulu tentang emosi. Sebab, selain merupakan
akar persoalan yang terdapat dalam kecerdasan emosional, emosi juga merupakan
sesuatu yang melekat pada diri manusia sebagai individu. Efendi (2005: 176)
menjelaskan bahwa para Psikolog menyebut emosi sebagai salah satu dari trilogi
mental yang terdiri dari kognisi, emosi dan motivasi. Emosi berasal dari
bahasa Latin yaitu movere, yang berarti menggerakkan atau bergerak,
kemudian berubah artinya menjadi bergerak menjauh setelah mendapat imbuhan “e”.
Secara istilah, emosi adalah suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu
keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecenderungan untuk
bertindak.
Menurut Goleman, emosi adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran,
perasaan, nafsu, setiap keadaan mental hebat atau meluap-luap, (Efendi, 2005:
176). Sedangkan Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf menjelaskan bahwa emosi adalah
kata yang menunjukkan gerak perasaan, (Efendi, 2005: 177). Dari
definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa emosi adalah dorongan perasaan
dan pikiran yang memunculkan tindakan atau perilaku.
Umumnya, emosi diinterpretasikan pada sesuatu yang negatif. Padahal, tidak
semua emosi akan berdampak negatif, ada emosi yang justru baik dan manfaat bagi
manusia, misalnya rasa takut. Rasa takut akan menjaga seseorang untuk tidak
terjerumus dalam bahaya dan mengambil beberapa inisiatif penyelamatan diri,
(Najati, 2008: 122).
Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa emosi
merupakan sesuatu yang sudah ada pada diri manusia. Akibat dari emosi ini dapat
menjadi positif, juga bisa menjadi negatif. Oleh karenanya, sangat penting bagi
manusia mempelajari dan mendalami lebih jauh tentang emosinya masing-masing.
Sebab, dengan mempelajari dan memahaminya manusia tidak akan larut dalam
emosinya, yang hanya akan memberikan dampak negatif lebih banyak bagi dirinya
sendiri.
Setelah memahami bahwa dalam diri manusia melekat banyak emosi yang
membuatnya teridentifikasi sebagai makhluk yang kompleks, selanjutnya
emosi-emosi tersebut harus dikendalikan sehingga dapat terbentuk yang disebut
kecerdasan emosional. Efendi (2005: 171) mengatakan bahwa sebelum digunakannya
istilah kecerdasan emosional, terlebih dahulu sudah dikenal istilah Emotional
Literacy. Menurutnya, emotional literacy ini memiliki fokus yang
sama dengan kecerdasan emosional. Istilah tersebut berasal dari seorang Pelatih
bernama Steiner, yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Healing
Alkoholism, pada 18 tahun sebelum munculnya istilah kecerdasan emosional,
tepatnya pada tahun 1979. Pengembangan yang terdapat dalam emotional
literacy tersebut diarahkan agar orang-orang memiliki kemampuan sebagai
berikut:
1.
Keterampilan memahami perasaan;
2.
Keterampilan merasakan empati;
3.
Kemampuan mengelola emosi;
4.
Keterampilan memperbaiki kerusakan emosi; dan
5.
Mengembangkan keterampilan yang disebut oleh
Steiner sebagai Emotional Interactivity (Interaktivitas Emosional).
Kemudian, Lawrence (1997: 5) mengatakan bahwa istilah kecerdasan emosional
pertama kali dicetuskan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang dianggap penting dalam mencapai
kesuksesan. Kualitas-kualitas emosional yang dimaksud di antaranya adalah
empati, mengendalikan amarah, sikap hormat dan sebagainya.
Selanjutnya, Efendi (2005: 171) dengan mengutip dari Daniel Goleman
menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan diri
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya
dengan orang lain.
Sedangkan, Cooper dan Sawaf mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
berikut; “Emotional Intellegence is the ability to sense, understand, and
effectively apply the power and acumen of emotions as a source of human energy,
information, connection, and influence.” (Kecerdasan emosional adalah
kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif mengaplikasikan kekuatan
serta kecerdasan emosi sebagai sebuah sumber energi manusia, informasi,
hubungan dan pengaruh), (Efendi, 2005: 172). Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut dapat dituliskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengolah
rasa dan emosi diri sendiri, sehingga tercipta suasana dan hubungan yang baik
dengan orang lain.
Dengan memperhatikan pengertian dari kecerdasan emosional di atas, dapat
dipahami bahwa kecerdasan tersebut penting diajarkan kepada anak agar mereka
menjadi pribadi yang mampu mengendalikan dirinya sendiri, baik oleh orang tua
maupun guru di sekolah. Sebagaimana Syah (2010: 251) menjelaskan bahwa tugas
guru tidak hanya menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam otak para peserta didik,
melainkan juga melatih keterampilan dan menanamkan sikap serta nilai kepada
mereka. Menanamkan sikap dan nilai dalam hal tersebut tentu saja juga mengarah
kepada mengajarkan kecerdasan emosional.
Mengenai kecerdasan emosional ini, Lawrence (1997: 183-188) menyebutkan
tiga istilah penting di dalamnya. Ketiga istilah tersebut adalah flow,
empati dan seni sosial. Flow merupakan keadaan batin yang
menandakan seorang anak sedang tenggelam dalam tugas yang cocok. Puncak
kecerdasan emosional akan dapat dicapai apabila sudah mencapai keadaan flow,
yang disebut sebagai neurobiologi keunggulan.
Lawrence lebih lanjut dengan mengutip pernyataan Goleman menjelaskan bahwa dalam
flow, emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan, tetapi juga bersifat
mendukung, memberi tenaga dan selaras dengan tugas yang sedang dihadapi. Ciri
khas flow sendiri adalah perasaan kebahagiaan spontan, bahkan
keterpesonaan. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa flow adalah perasaan
seseorang yang sedang larut dalam kondisi tertentu.
Sementara itu, empati adalah kemampuan untuk mengetahui perasaan orang
lain. Ketiadaan empati dapat terlihat dengan nyata pada para pelaku psikopat
kriminal, pemerkosa dan pemerkosa anak-anak. Oleh karenanya, saat seseorang
melakukan ketiga hal tersebut rasa empati yang harusnya dimiliki olehnya
sebagai manusia sudah hilang.
Sehingga, rasa empati ini penting ditumbuhkan. Gardner mengatakan bahwa “Empathy
Builds on self-awareness; the more open we are to our own emotions, the more
skilled we will be in reading feelings” (Empati dibangun berdasarkan
kesadaran diri, semakin terbuka kepada emosi diri sendiri dan semakin terampil
membaca perasaan). Oleh sebab itu, kegagalan mendata perasaan orang lain
merupakan kekurangan utama dalam kecerdasan emosional, sekaligus merupakan
cacat yang menyedihkan (tragic failing) sebagai seorang manusia.
Sementara setiap hubungan yang merupakan akar kepedulian berasal dari
penyesuaian emosional (emotional ettunement), yang berasal dari
kemampuan berempati.
Sedangkan istilah ketiga yang melekat pada kecerdasan emosional adalah seni
sosial. Seni sosial ini dimaksudkan bahwa keterampilan berhubungan dengan orang
lain merupakan kecakapan sosial yang membantu menciptakan komunikasi yang baik.
Apabila keterampilan ini tidak dimiliki, bukan hanya manusia awam, bahkan orang
dengan kecerdasan otak yang luar biasa pun akan gagal dalam membina hubungan
dengan orang lain. Biasanya hal ini ditunjukan dengan penampilan yang angkuh,
mengganggu atau tidak berperasaan. Padahal, jika dipahami kembali, keterampilan
sosial ini banyak memberikan manfaat yang luar biasa seperti:
1.
Memungkinkan seseorang untuk membentuk
hubungan;
2.
Menggerakkan dan mengilhami orang lain;
3.
Membina kedekatan hubungan;
4.
Meyakinkan dan mempengaruhi orang lain; dan
5.
Membuat orang lain merasa nyaman.
Berdasarkan penjelasan tentang kecerdasan
emosional di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan
mengolah rasa dan emosi, dalam rangka membentuk pribadi yang dapat mengenali
dan mengendalikan diri sendiri, juga menciptakan hubungan sosial yang lebih
baik dan bermanfaat. Sehingga dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa
kecerdasan emosional menuntut individu agar menjadi lebih berperasaan.
B. Ciri-ciri Utama
Pikiran Emosional
Setelah memahami tentang pengertian kecerdasan emosional, di sini akan sedikit
dijelaskan terlebih dahulu tentang ciri-ciri utama pikiran emosional, sebagai
bagian dari uraian penting di dalamnya. Efendi (2005: 192-194) dengan mengutip
uraian Goleman menjelaskan bahwa ciri-ciri utama pikiran emosional sebagai
berikut:
1.
Respons pikiran emosional (emotional mind)
itu jauh lebih cepat dari pikiran rasional (rational mind). Kecepatan
pikiran emosional itu mengesampingkan pemikiran hati-hati dan analitis yang
merupakan ciri khas akal yang berpikir (thinking mind). Pikiran
emosional itu langsung melompat pada suatu tindakan, tanpa mempertimbangkan apa
yang dilakukannya. Penilaian akan perlunya bertindak ini tidak melalui pikiran
sadar, melainkan terjadi secara otomatis dan sangat cepat. Pikiran emosional
juga dapat membuat penilaian singkat secara naluriah, sehingga bisa menunjukan
apa yang harus dicurigai, siapa yang harus dipercaya, siapa yang menderita. Dengan
demikian, pikiran emosional dapat menjadi rada terhadap bahaya (radar for
danger).
2.
Emosi itu mendahului pikiran. Secara teknis,
memuncaknya emosi (the full heat of emotion) itu berlangsung sangat
singkat, hanya dalam hitungan detik, bukan dalam hitungan menit, jam atau hari.
Dorongan pertama dalam situasi emosional adalah hati (heart’s impulse),
bukan dorongan kepala (head’s impulse).
3.
Logika emosional itu bersifat asosiatif. Hal
itulah yang menyebabkan mengapa perumpamaan, kiasan, dan gambaran secara
langsung ditujukan pada pikiran emosional, demikian juga karya seni seperti
novel, film, puisi, lagu, teater dan sebagainya.
4.
Memposisikan masa lalu sebagai masa sekarang.
Akal emosional bereaksi terhadap keadaan sekarang, seolah-olah keadaan itu adalah
masa lalu. Kesulitannya adalah terutama apabila penilaian itu cepat dan
otomatis. Sebab, ada kemungkinan tidak disadarinya sesuatu yang dulu memang
terjadi, sekarang tidak terjadi lagi.
Keempat ciri-ciri utama pikiran emosional
menunjukan bahwa saat seseorang sudah memasuki suatu keadaan yang “emosional”,
maka dimungkinkan sekali apa yang akan terjadi atau yang akan dilakukannya
tidak melalui pertimbangan terlebih dahulu, sehingga terjadi secara spontan dan
cepat. Oleh karenanya, tentu saja hal yang dilakukan dalam kondisi yang
emosional tersebut benar-benar tidak disadari oleh seseorang itu. Misalnya
marah, pada saat seseorang sudah pada puncak kemarahannya, maka ucapan kasar
dan kotor yang dikeluarkan olehnya dimungkinkan besar tidak disadari olehnya,
apalagi jika sudah meningkat kepada kekerasan fisik. Sebab, kalau disadari maka
seseroang itu tentu saja lebih memilih untuk tidak melakukannya.
C. Cara
Mengendalikan Emosi
Setelah memahami pikiran-pikiran emosional. Hal yang perlu dibahas kemudian
adalah mengenai cara mengendalikan emosi, sebagai upaya mencegah
kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. Cara-cara mengendalikan emosi
yang akan dibahas diambil dari keterangan-keterangan Muhammad Utsman Najati,
yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebenarnya emosi sangat banyak,
tetapi emosi yang dijelaskan pada bagian ini hanya dua, yaitu marah dan sedih.
1.
Mengendalian Emosi Marah
Dalam membahas cara mengendalikan marah ini,
Najati (2005: 185-186) menjelaskan terlebih dahulu manfaat seseorang apabila
berhasil mengendalikan emosi marahnya. Manfaat tersebut yaitu:
a.
Menjaga kemampuan berpikir jernih dan
menghasilkan keputusan-keputusan yang benar.
b.
Menjaga keseimbangan tubuh. Seseorang tidak
akan mengalami ketegangan fisik yang muncul akibat peningkatan energi yang
disebabkan oleh bertambahnya penyaringan gula oleh liver.
c.
Pengendalian emosi marah dan tidak melakukan
penyerangan kepada orang lain, baik secara fisik maupun verbal, serta
melanjutkan interaksi dengan mereka secara baik dan tenang akan membangkitkan
ketengangan pada diri lawan. Hal ini karena pihak lawan akan terdorong untuk
memperbaiki diri.
d.
Bermanfaat dalam menjaga kesehatan.
Najati (2005: 186) mengatakan bahwa manfaat
luar biasa lainnya yang didapatkan oleh seseorang karena menahan atau
mengendalikan amarahnya juga salah satunya tercantum dalam al-Qur’an sebagai
berikut:
۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ
عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ
وَٱلۡأَرۡضُ
أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ
وَٱلضَّرَّآءِ
وَٱلۡكَٰظِمِينَ
ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ
عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ
يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
١٣٤
Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (133). (Yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan (134). (Q.S. al-Imron: 133-134).
Selanjutnya, beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam mengendalikan emosi marah, Najati (2004: 122-124)
menyebutkannya sebagai berikut:
a.
Menciptakan situasi yang tenang (rileks) untuk
melepaskan ketegangannya dengan duduk atau berbaring. Hal ini tergambar dari
nasihat Rasulullah kepada para sahabatnya bahwa ketika marah hendaklah duduk,
apabila belum reda maka segeralah berbaring. Hal ini sebagaimana yang
diriwayatkan dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا غَضَبَ أَحَدُكُمْ
وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسُ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبَ وَإِلَّا
فَلْيَضْطَجِعِ
Artinya: “Jika salah
seorang di antara kalian marah dan ia dalam posisi beridiri, maka hendaknya ia
segera duduk, maka kemarahannya akan hilang. Namun, jika kemarahan itu belum
reda, maka hendaknya ia berbaring.”
b.
Berwudhu. Cara lain yang juga efektif dalam
mengendalikan emosi maarah adalah dengan berwudhu. Hal ini sebagaimana hadits
yang diriwayatkan dari ‘Urwah bin Muhammad as-Sa’di r.a., bahwa Rasulullah
bersabda:
إِنَّ الْغَضَبَ مِنَ
الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنَ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ
بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأُ
Artinya: “Marah
itu berasal dari setan, setan diciptakan dari api. Adapun api dapat dipadamkan
dengan air, maka jika seseorang di antara kalian marah, hendaknya segera
berwudhu.”
Keterangan tersebut
menguatkan kebenaran ilmu kedokteran yang menyatakan bahwa air dingin dapat
meredakan tekanan darah karena emosi, sebagaimana air dapat meredakan
ketegangan otot dan syaraf. Oleh karenanya, mandi merupakan salah satu cara
ampuh untuk mengobati penyakit kejiwaan.
c.
Melakukan aktivitas lain yang dapat
mengalihkan seseorang dari sesuatu yang membuatnya marah. Hal ini sebagaimana
dicontohkan Nabi Muhammad ketika merespon para sahabat yang sedang marah karena
perkataan Abdullah bin Ubay bin Salul usai kembali dari peperangan, beliau
memerintahkan para sahabat untuk pergi pada waktu yang biasanya tidak
seorangpun pergi, sedangkan perjalanan itu memakan waktu dua hari sehingga
mereka kecapean dan akhirnya tertidur serta melupakan perkataan Abdullah bin
Ubay tadi, yang sebetulnya selama perjalanan mereka terus memikirkannya. Namun,
akhirnya terlupakan juga karena kondisi fisik yang kelelahan.
2.
Mengendalikan Emosi Sedih
Pada kenyataan yang terjadi seseorang akan
terpuruk dan hanyut dalam kesedihan ketika dia tidak dapat mengendalikan
perasaannya yang sedang bergejolak, sehingga memungkinkan orang tersebut
menangis sampai tersedu-sedu bahkan menjerit. Najati (2005: 122) mengatakan
bahwa sedih termasuk emosi mengganggu yang dirasakan manusia ketika kehilangan orang
yang dicintainya atau sesuatu yang berharga bagi dirinya. Sedih akan
menimbulkan perasaan susah dan sumpek pada manusia, sehingga manusia akan
senantiasa menghindari dan tidak menyukai perasaan sedih.
Najati (2005: 124) menuturkan bahwa
mengendalikan sedih bukan berarti tidak menangis dan tidak merasa bersedih
dalam hati atas meninggalnya orang yang dicintai atau kehilangan sesuatu yang
berharga baginya. Perasaan sedih adalah perasaan yang umum dimiliki oleh setiap
makhluk hidup. Namun, meskipun demikian emosi sedih harus tetap terkendali dan
tidak berlebihan. Sebab, sesuatu yang berlebihan itu lebih sering berdampak
negatif.
Najati (2005: 123-124) Mengendalikan emosi
sedih dapat dilakukan dengan cara:
a.
Mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun
atau kalimat istighfar. Hal ini sebagaimana yang Ummu Salamah ungkapkan bahwa
dirinya pernah mendengar Rasulullah bersabda yang artinya “Tiadalah seorang
hamba mendapat musibah seraya memanjatkan, ‘sesungguhnya kami adalah milik
Allah, dan hanya kepada-Nya kami semua kembali’, ya Allah, berilah aku pahala
dalam musibahku ini dan gantilah dengan yang lebih baik daripadanya”.
b.
Cara lain dalam mengendalikan emosi sedih
adalah dengan tidak menangis secara berlebihan dengan suara keras dan tidak
meratap.
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa perasaan sedih yang muncul memang
dibolehkan dirasakan, akan tetapi porsi dalam mewujudkannya harus tetap dalam
koridor yang tidak berlebihan. Sebab, Rasulullah juga pernah bersedih dan
menangis ketika anaknya bernama Ibrahim sedang menghembuskan nafas terakhirnya.
D. Urgensi
Meningkatkan Kecerdasan Emosional
Pada bagian ini akan dijelaskan urgensi meningkatkan kecerdasan emosional.
Acuan yang digunakan adalah penjelasan Efendi (2005: 190) yang mengutip dari ilustrasi
Goleman sebagai berikut:
Moor dan Sinkler merupakan siswa SMA Thomas Jefferson, di Brooklyn, Amerika
Serikat. Moore siswa kelas tiga dan Sinkler siswa kelas dua. Mereka memiliki
teman berumur 15 tahun bernama Khalil Sumter. Moore dan Sinkler sering membully
Sumter hampir setiap hari. Oleh karena, sudah merasa jengkel, akhirnya Sumter
bertengkar dengan mereka.
Suatu pagi, karena takut dibully dan dipukuli oleh Moore dan Sinkler,
Sumter membawa sebuah pistol kaliber 0.38 ke sekolah. Kemudian, lima meter dari
seorang penjaga sekolah, ia menembak Moore dan Sinkler di lorong sekolah dari
jarak dekat. Akhirnya, keduanya tewas karena tembakan tersebut.
Peristiwa yang betul-betul mengerikan itu kata Goleman, dapat dibaca
sebagai tanda sangat dibutuhkannya pelajaran dalam menangani emosi,
menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa, (Efendi, 2005:
190). Di sekolah, tidak jarang ada kasus peserta didik berantem (bertengkar)
dengan teman sekolahnya, oleh karena tidak diberikan contekan saat ujian atau
karena persoalan merebutkan pacar. Bahkan kejadian tersebut terkadang justru
berlanjut di luar sekolah yang memberikan dampak yang lebih besar lagi,
akibatnya bukan hanya dirinya yang dikenal buruk melainkan keluarga juga
sekolahnya. Hal ini harus menjadi perhatian bersama, sehingga kecerdasan
emosional dalam belajar merupakan suatu hal penting, yang tidak boleh
diabaikan.
Mendalamnya makna kecerdasan emosional akan dapat dipahami apabila sudah
sampai pada kesimpulan dibutuhkannya kecakapan dalam menangani emosi,
menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Inti kecerdasan
emosional menurut Goleman adalah pengenalan atau kesadaran diri, yakni
kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Menurutnya,
bukanlah perhatian yang larut dalam emosi, bereaksi secara berlebihan dan
melebih-lebihkan apa yang diserap. Kesadaran diri lebih merupakan modus netral
yang mempertahankan refleksi diri bahkan di tengah badai emosi, (Efendi, 2005:
191).
Berdasarkan hal ini, meningkatkan kecerdasan
emosional kepada anak sangat penting dilakukan guna membantunya tumbuh menjadi
individu yang berkarakter baik dan berjiwa sosial yang tinggi. Kepentingan
meningkatkan kecerdasan emosional ini bukan saja menjadi tanggung jawab orang
tua di rumah, melainkan juga guru di sekolah. Bahkan, lebih dari itu masyarakat
luas pun terlibat di dalamnya. Sehingga, bukan hal yang tidak mungkin akan
terwujudnya kehidupan yang harmonis dan damai sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya.
E. Upaya Meningkatkan
Kecerdasan Emosional
Pada bagian ini akan coba dijelaskan upaya meningkatkan kecerdasan
emosional, yang dapat diterapkan kepada anak baik di sekolah maupun di rumah.
1.
Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional di
Sekolah
Maksud dari upaya meningkatkan kecerdasan
emosional di sekolah adalah berkenaan dengan metode pembelajaran yang digunakan
di dalam kelas oleh guru. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan
melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening
of behavior through experiencing), (Hamalik, 2013: 27). Pengertian tersebut
memberikan suatu inspirasi bahwa dalam melaksanakan proses pembelajaran, metode
menjadi penting agar perubahan tingkah laku yang dimaksud dapat terwujud. Adapun
uraian mengenai metode di sini diusahakan seminimal mungkin guna membatasi
pembahasan yang ada. Metode pembelajaran yang dimaksud sebagai berikut:
a.
Metode Problem Based Learning
Metode Problem Based Learning
(Pembelajaran Berbasis Masalah) adalah metode intsruksional yang menantang
peserta didik agar berusaha untuk belajar, bekerja sama dalam kelompok untuk
mencari solusi bagi masalah yang nyata, (Komalasari, 2013: 59). Berdasarkan
pengertian ini dapat dipahami bahwa dalam metode problem based learning
ini, peserta didik dihadapkan pada suatu masalah yang coba dihubungkan dengan
kenyataan, kemudian didiskusikan bersama teman sekelompoknya untuk dicari
solusi dari masalah tersebut.
Proses pembelajaran yang dikemas semacam ini
akan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar lebih banyak,
sebab bukan hanya pengetahuan yang didapat melainkan juga bekerja sama dalam
tim dan memahami teman yang ada dalam kelompoknya. Hal ini tentu saja akan
menumbuhkembangkan perasaan peduli peserta didik terhadap temannya, sehingga
dengan kata lain jiwa sosial dapat tumbuh secara baik. Oleh karenanya,
dalam upaya meningkatkan kecerdasan emosional peserta didik di sekolah metode
pembelajaran ini sangat perlu dilaksanakan.
b.
Metode Role Playing
Hamalik (2004: 214) menjelaskan bahwa metode role
play (bermain peran) adalah metode pembelajaran dengan cara memberikan
peran-peran tertentu kepada peserta didik dan mempraktikannya di dalam kelas.
Pengertian ini menginformasikan bahwa metode role play sangat
dipengaruhi oleh kerja sama dan keseriusan anggota kelompok dalam memerankan
perannya masing-masing.
Menurut penulis, metode ini akan dapat
meningkatkan kecerdasan emosional anak, sebab sebelum memainkan perannya
masing-masing, anak harus memahami terlebih dahulu karakter yang akan
diperankannya. Dari sini, guru menjelaskan terlebih dahulu karakter-karakter
yang dimaksud. Peningkatan kecerdasan emosional melalui metode ini terletak
pada pemahaman mereka tentang karakter-karakter tersebut, selain itu mereka
akan menjadi lebih dekat dan memahami teman sekelompoknya. Hal ini tentu saja
akan membuat anak menjadi pribadi yang lebih baik. Mereka akan pandai memilih
menjadi seperti karakter apa yang diinginkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Upaya Meningkatkan Kecerdasan Emosional dengan
Pemanfaatan Perangkat Lunak (Software) Komputer
Lawrence (1997: 320) menjelaskan bahwa untuk
mempelajari keterampilan kecerdasan emosional diperlukan syarat-syarat sebagai
berikut:
a.
Secara bersamaan merangsang bagian otak
emosional dan bagian otak berpikir.
b.
Menyediakan perulangan yang diperlukan untuk
mengembangkan jalur-jalur saraf baru.
c.
Menjadikan belajar sebagai proses interaktif,
sehingga pengajaran benar-benar dapat disesuaikan dengan gaya belajar yang
paling disukai oleh anak.
d.
Unsur pendukungan sudah tersedia dengan
sendirinya.
Komputer dengan perkembangan terbaru yang
memiliki perangkat lunak multimedia dan internet telah memenuhi syarat-syarat
di atas, sehingga software-software yang ada dapat digunakan sebagai
alat untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak. Perangkat lunak (software)
yang dapat digunakan sebagai alat mengajarkan kecerdasan emosional misalnya
aplikasi video, game, virtual reality, komik. Aplikasi video bisa
digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kecerdasan emosional dengan membuat
suatu video yang berisi tentang penanaman nilai-nilai dan keterampilan sosial.
Sekarang ini, terlepas dari game yang
memberikan dampak negatif banyak juga game komputer yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosional seseorang. Misalnya saja game-game tentang bermain peran,
menolong binatang dan semacamnya.
Hal menarik lainnya adalah program komputer
dapat menampilkan kisah-kisah atau dongeng dengan gambar bergerak yang
memberikan daya tarik tersendiri bagi seorang anak. Perlu diingat kembali bahwa
kondisi tersebut akan menghantarkan anak pada keadaan flow, dimana
mereka merasa benar-benar hanyut di dalamnya. Oleh karenanya, tidak ada
salahnya memanfaatkan komputer untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak,
walau tentu saja tetap harus dalam pengawasan orang tua.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah dirinya,
sehingga menjadi pribadi yang tidak mudah menebarkan permusuhan, karena
berusaha memberikan rasa nyaman baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Dari sinilah munculnya jiwa sosial yang tinggi, yang mengantarkannya menjadi
individu yang mudah bergaul. Istilah Baper (Bawa Perasaan), yang sering
digunakan sekarang ini mengarah kepada seseorang tersebut belum mampu
mengendalikan emosi yang bergejolak di dalam
dirinya. Sehingga menjadi pribadi yang mudah tersinggung dan sulit
menerima kritik dari orang lain. Hal ini tentu saja akan berdampak kepada
kemampuannya dalam bersosialisasi dengan orang lain.
Ciri utama pikiran emosional adalah kondisi yang terjadi di luar perkiraan
seseorang. Hal ini disebabkan kemunculan pikiran emosional lebih cepat
dibandingkan dengan pikiran rasional. Pikiran emosional tidak lagi melalui
pertimbangan, melainkan dilakukan secara cepat dan spontan. Sementara pikiran
rasional melalui pertimbangan akal, sehingga apa yang dilakukan benar-benar
disadari pelakunya.
Kunci dari cara mengendalikan emosi adalah motivasi diri sendiri. Sebab,
yang memahami betul tentang kondisi diri adalah diri sendiri. Oleh karenanya,
penting sekiranya tetap menjaga kesadaran diri pada saat gejolak emosi berlangsung.
Kecerdasan emosional sangat penting diajarkan kepada anak, agar anak tumbuh
menjadi individu yang memili self control, sehingga menjadikannya
sebagai individu yang tidak berlebihan dalam terbawa suasana, baik marah, sedih,
bahagia atau membenci sesuatu.
Sebenarnya, upaya meningkatkan kecerdasan
emosional dapat dilakukan dengan banyak hal. Namun, yang sudah dijelaskan dalam
makalah ini, upaya tersebut dapat dilakukan di sekolah dengan menggunakan
metode pembelajaran yang tepat saat melaksanakan proses pembelajaran di kelas,
juga upaya tersebut dapat dilakukan dengan pemberian atau pelatihan untuk
memanfaatkan program-program komputer yang memungkinkan dapat meningkatkan
kecerdasan emosional.
B. Saran
Penulis memahami betul, makalah yang sudah dibuat masih jauh dari sempurna,
sehingga membutuhkan kritik yang bersifat membangun dari pembaca, agar
senantiasa dilakukan perbaikan pada penulisan selanjutnya. Ketidaksempurnaan
itu terlihat baik pada cara penulisan maupun konten yang diuraikan dalam
makalan ini.
0 comments:
Posting Komentar