Home » » Perkembangan Keagamaan Individu Usia 13-25 Tahun (Usia Remaja)

Perkembangan Keagamaan Individu Usia 13-25 Tahun (Usia Remaja)

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk hidup tentu saja mengalami proses tumbuh dan berkembang. Dalam proses tumbuh kembangnya tersebut, manusia melalui tahapan-tahapan usia. Tahapan-tahapan ini penting dipelajari agar manusia benar-benar memahami bagaimana memperlakukan manusia lainnya pada usia-usia tertentu. Sebab, tidak boleh memperlakukan secara sama antara individu yang masih berusia anak-anak, remaja ataupun yang sudah dewasa.

Tulisan ini khusus membicarakan tentang remaja. Remaja sebagai periode tertentu dari kehidupan manusia merupakan suatu konsep yang relatif baru dalam kajian psikologi. Di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan adolescence yang berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa.[1]

Dalam menentukkan batas akhir remaja sebelumnya banyak sekali pertentangan. Namun belakangan, istilah adolesen atau remaja telah digunakan secara luas untuk menunjukkan suatu tahap perkembangan antara tahap anak-anak dan masa dewasa, yang ditandai oleh perubahan fisik yang umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah 12-21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan menjadi 3, yaitu 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Tetapi, Monks, Knoers dan Haditono, (2001) membedakan masa remaja menjadi 4 bagian, yaitu 10-12 tahun adalah masa pra remaja atau pra pubertas, 12-15 tahun adalah masa remaja awal atau pubertas[2], 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir.[3]

Selain itu, ada juga tertulis bahwa masa remaja dimulai pada usia 13 tahun dan berakhir pada usia 21 tahun.[4] Namun, dalam tulisan ini tidak bermaksud menguraikan bagaimana perkembangan tahun demi tahun pada usia remaja, melainkan fokus kepada perkembangan keagamaan individu pada usia remaja itu sendiri secara global.

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang diambil yaitu:

1.         Bagaimana ciri perkembangan jiwa keagamaan pada remaja?

2.         Apa saja faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan remaja?

3.         Bagaimana sikap remaja terhadap agama?

4.         Apa saja penyebab konflik dan keraguan terhadap agama yang terjadi pada remaja?

 

C.      Tujuan

Adapun tujuan penulisan ini sebagai berikut:

1.         Untuk memahami ciri perkembangan jiwa keagamaan pada remaja;

2.         Untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan keagamaan remaja;

3.         Untuk memahami sikap remaja terhadap agama; dan

4.         Untuk memahami penyebab konflik dan keraguan terhadap agama yang terjadi pada remaja;


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Ciri-ciri Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja

Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983) bahwa agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya.[5]

Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentag perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotetis. Peneliti lain seperti Oser dan Gmunder (1991) juga menemukan perubahan perkembangan yang sama pada anak-anak dan remaja, yaitu bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun semakin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman dan pengharapan (konsep abstrak), ketika membuat pertimbangan tentang agama. Selain itu, James Fowler dengan teori perkembangan agamanya yaitu theory of faith, mengatakan bahwa dalam tahapan perkembangan agama usia remaja, pemikiran remaja lebih abstrak dan banyak melakukan penyesuaian.[6]

Adapun mengenai patokan umum yang menjadi ciri-ciri perkembangan jiwa keagamaan remaja, dengan mengutip pendapat zakiah, bambang menyebutkan sebagai berikut:

1.         Pertumbuhan jasmani secara cepat telah selesai

Hal ini berarti bahwa dari segi jasmani mereka telah matang. Artinya segala fungsi jasmaniah mulai atau telah dapat bekerja. Dalam persoalan seks juga remaja sudah mampu melahirkan keturunan. Dorongan yang bersifat biologis tersebut menimbulkan kegoncangan emosi, yang selanjutnya membawa berbagai tindakan, kelakuan, atau sikap yang mengarah kepada pemuasan dorongan tersebut. Bagi remaja yang tidak mengindahkan ketentuan agama dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, akan mencari kepuasan secara langsung. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan di mana mereka hidup. Pada masa ini, individu dalam keadaan labil, meskipun secara biologis telah matang.

2.         Pertumbuhan kecerdasan hampir selesai

Pada usia remaja, individu telah mampu memahami hal-hal yang abstrak dan sekaligus telah mampu mengambilan kesimpulan abstrak dari sesuatu yang bersifat indrawi. Sebagai akibat dari kematangan kecerdasan itu, remaja selalu menuntut penjelasan yang masuk akal terhadap setiap ketentuan hukum agama yang dibawakan kepadanya.

3.         Pertumbuhan pribadi belum selesai

Hal ini berarti bahwa dalam usia ini, pribadi remaja masih mengalami kegoncangan dan ketidakpastian. Dari segi jasmaniah, mereka merasa cukup matang dan seperti orang dewasa. Demikian pula dalam hal kecerdasan, mereka merasa telah mampu berpikir objektif dan dapat mengambil kesimpulan yang abstrak dari kenyataan inderawi. Akan tetapi, mereka belum mampu berdiri sendiri, belum sanggup mencari nafkah untuk membiayai segala kebutuhan hidupnya.

4.         Pertumbuhan jiwa sosial masih berjalan

Pada usia ini, remaja merasa betapa pentingnya pengakuan sosial. Mereka akan merasa sangat sedih, apabila diremehkan atau dikucilkan dari masyarakat dan teman-temannya. Oleh karenanya, mereka tidak mau ketinggalan dengan teman-temannya dalam hal apapun, terutama teman lawan jenisnya.

5.         Keadaan jiwa agama yang tidak stabil

Pada usia remaja, sudah paham bersama bahwa pada usia ini individu mengalami kegoncangan atau ketidakstabilan dalam beragama. Misalnya, terkadang mereka sangat tekun menjalankan ibadah, tetapi terkadang juga malas mengerjakannya, bahkan mungkin menunjukkan sikap seolah-olah anti agama. Sebagai contoh, pernah ada seorang pemuda berumur 22 tahun dari salah satu Universitas mengalami kegoncangan hebat setelah putus dengan teman wanitanya. Pemuda yang pada mulanya tekun beragama, rajin beribadah, dan aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan, setelah putus hubungan dengan teman wanitanya, ia merasa putus asa dan kecewa pada Tuhan, lalu berhenti sembahyang, tidak mau lagi aktif dalam kegiatan keagamaan, bahkan lebih dari itu ia mulai mengunjungi tempat-tempat wanita tuna susila.[7]

Hal senada dengan penjelasan Zakiah juga dijelaskan oleh Jalaluddin dengan mengutip penjelasan W. Sturbuck bahwa perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan jasmani dan rohaninya. Perkembangan tersebut adalah:

1.         Pertumbuhan Pikiran dan Mental

Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sikap kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi dan norma-norma kehidupan lainnya. Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menunjukkan:

a.         85% remaja Katolik Romawi tetap taat menganut ajaran agamanya

b.        40% remaja Protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya

Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya, agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatif dan sedikit liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.

2.         Perkembangan Perasaan

Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu, sehingga remaja lebih mudah terperosok ke arah tindakan seksual yang negatif.

Dalam penyelidikannya sekitar tahun 1950-an, Dr. Kinsey mengungkapkan bahwa 90% pemuda Amerika telah mengenal masturbasi, homosex dan onani.

3.         Perkembangan Sosial

Corak keagamaan remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan materiil. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan bahwa  70% pemikiran remaja ditunjukkan bagi kepentingan; keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6% dan masalah sosial 5,8%.

4.         Perkembangan Moral

Menurut Q. Starbuck, perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja mencakup:

a.         Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi

b.        Adaptif, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik

c.         Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama

d.        Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral

e.         Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat

5.         Sikap dan Minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka. Howard Bell dan Ross, berdasarkan penelitiannya terhadap 13.000 remaja di Maryland terungkap hasil sebagai berikut:

a.         Remaja yang taat (ke gereja secara teratur) 45%

b.        Remaja yang sesekali dan tidak sama sekali 35%

c.         Minat terhadap; ekonomi, keuangan, materiil dan sukses pribadi 73%

d.        Minat terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial 21%

6.         Ibadah

Mengenai hal ini, menindaklanjuti penjelasan W. Starbuck, Jalaluddin menjelaskan sebagai berikut:

a.         Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah dan masalah doa sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan bahwa:

1)        Dari 148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya (128) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 di antaranya secara alami (tidak melalui pengajaran resmi).

2)        31 orang di antara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui proses alami, menunjukkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka nikmati.

b.        Selanjutnya mengenai ibadah diungkapkan oleh mereka sebagai berikut:

1)        42% tidak pernah mengerjakan ibadah sama sekali.

2)        33% mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.

3)        27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka alami.

4)        18% mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya.

5)        11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.

6)        4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti yang penting.

Jadi, hanya 17% mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembahyang hanya merupakan media untuk bermeditasi.[8]

B.       Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Keagamaan Remaja

Mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan keagamaan remaja, Bambang menjelaskan bahwa ada dua faktor utama, yaitu faktor intern dan ekstern. Berikut ini penjelasan keduanya.

1.         Faktor Intern

Maksudnya adalah faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri, misalnya faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

a.        Faktor Hereditas

Kajian mengenai genetika pada manusia berlanjut hingga ke unsur gen manusia yang terkecil, yaitu deoxyribonnucleit acid (DNA). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa DNA yang berbentuk tangga berpilin itu terdiri atas pembawa sifat yang berisi informasi gen. Secara garis besarnya, pembawa sifat turunan itu terdiri atas genotipe dan fenotipe.

Genotipe merupakan keseluruhan faktor bawaan seseorang yang walaupun dapat dipengaruhi lingkungan, tidak jauh menyimpang dari sifat dasar yang ada. Sedangkan Fenotipe adalah karakteristik seseorang yang tampak dan dapat diukur seperti warna mata, warna kulit ataupun bentuk fisik. Temuan ini menginformasikan bahwa pada manusia juga terdapat sifat turunan yang abadi.

Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif dan konatif. Akan tetapi, dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya. Demikian pula, Margareth Mead menemukan dalam penelitiannya terhadap suku Mundugumor dan Arapesh bahwa terdapat hubungan antara cara menyusui dengan sikap bayi. Bayi yang disusukan secara tergesa-gesa (Arapesh) menampilkan sosok yang agresif dan yang disusukan secara wajar dan tenang (Mundugumor) akan menampilkan sikap toleran di masa remajanya.[9]

b.        Tingkat Usia

Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami para remaja menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. Bahkan menurut Starbuck pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadi konversi agama. Meskipun menurut Robert H. Thouless bahwa konversi cenderung dinilai sebagai produk sugesti dan bukan akibat dari perkembangan kehidupan spiritualitas seseorang, kenyataan itu tidak sepenuhnya dapat diterima.[10] Terlepas dari semua itu, tingkat usia tetap memiliki pengaruh dalam perkembangan keagamaan individu.

c.         Kepribadian

Dalam kaitan ini, kepribadian sering disebut sebagai identitas (jati diri) seseorang yang sedikit banyak menampilkan ciri-ciri yang berbeda dari individu lain di luar dirinya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan. Di luar itu, dijumpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadian ganda (double personality) dan sebagainya. Kondisi seperti ini bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembangan berbagai aspek kejiwaan.[11]

d.        Kondisi Kejiwaan

Kondisi kejiwaan terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Misalnya, model psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan bahwa gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnya, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem syaraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku yang abnormal.

Barangkali, banyak jenis perilaku abnormal yang bersumber dari kondisi kejiwaan yang tidak wajar ini, tetapi yang penting dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan kejiwaan keagamaan. Sebab, bagaimanapun seseorang yang mengidap schizopernia[12] akan mengisolasi diri dari kehidupan sosial serta persepsinya tentang agama ia akan dipengaruhi oleh berbagai halusinasi. Demikian pula, pengidap phobia[13] akan dicekam oleh perasaan takut yang irrasional, sedangkan penderita infantil autisme akan berperilaku seperti anak-anak di bawah usia 10 tahun.[14]

 

2.         Faktor Ekstern

Bambang menjelaskan bahwa faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan tempat seseorang itu hidup. Umumnya ada tiga lingkungan yang dimaksud yaitu keluarga, intitusi, dan masyarakat.[15] Adapun penjelasan ketiganya sebagai berikut:

a.        Lingkungan Keluarga

Sigmund Freud dengan konsep Father Image (Citra ke-Bapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra bapak terhadap anaknya. Jika seorang bapak menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, anak akan cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku sang ayah pada dirinya. Demikian pula sebaliknya, jika bapak menampilkan sikap buruk, hal tersebut juga akan ikut berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.[16] Demikian juga dalam Islam, al-Ummu Madrasat al-Ula (Ibu adalah madrasah pertama) bagi para putera-puterinya. Oleh karena itu, lingkungan keluarga harus baik agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik.

b.        Lingkungan Institusional

Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun non-formal seperti perkumpulan atau organisasi. Adapun pengaruh sekolah terhadap perkembangan kejiwaan anak adalah melalui tiga hal, yaitu:

1)        Kurikulum dan Peserta Didik;

2)        Hubungan Guru dan Peserta Didik; dan

3)        Hubungan antar sesama Peserta Didik.[17]

 

 

c.         Lingkungan Masyarakat

Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan, terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negatif. Misalnya, lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai dan institusi keagamaan. Kondisi seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.[18]    

C.      Sikap Remaja terhadap Agama

Berdasarkan faktor-faktor menurut W. Starbuck yang sudah dikemukakan sebelumnya, kemudian Zakiah membagi sikap remaja terhadap masalah keagamaan sebagai berikut:

1.         Percaya Turut-turutan;

2.         Percaya dengan kesadaran;

3.         Percaya, tetapi agak ragu-ragu (bimbang); dan

4.         Tidak percaya sama sekali atau cenderung Atheis.[19]

Berikut ini penjelasan Bambang mengenai keempatnya:

1.         Percaya Turut-turutan

Sesungguhnya kebanyakan remaja yang percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama adalah mereka yang terdidik dalam lingkungan yang beragama, ibu-bapaknya orang beragama, teman-teman dan masyarakat sekelilingnya rajin beribadah. Oleh karena itu, mereka pun ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar mengikuti suasana lingkungan di mana ia hidup. Kepercayaan semacam inilah yang dimaksud kepercayaan yang turut-turutan. Mereka seolah apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama dan tidak mau aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan.

Percaya turut-turutan ini biasanya tidak lama dan pada umumnya hanya pada masa-masa remaja pertama (umur 13-16 tahun). Setelah itu, biasanya akan terjadi perkembangan ke arah jiwa yang lebih kritis dan lebih sadar.

2.         Percaya dengan Kesadaran

Setelah kegoncangan yang terjadi pada masa remaja pertama sedikit berkurang, yakni sekitar umur 16 tahunan, dan pertumbuhan jasmani hampir selesai, remaja dapat berikir lebih matang, dan pengetahuannya pun semakin bertambah. Semua itu mendorong remaja untuk lebih tenggelam lagi dalam memikirkan dirinya sendiri. Mereka ingin mengambil tempat dan menonjol dalam masyarakat. Perhatian pada ilmu pengetahuan, agama, dan soal-soal sosial tumbuh bertambah besar. Terkadang, pertumbuhan jiwanya terjadi secara abnormal atau menyimpang, sehingga mereka bergaul dalam gang-gang nakal dan terkadang pula tumbuh dalam bentuk kesadaran agama yang berlebihan.

Kesadaran atau semangat keagamaan pada masa remaja dimulai dengan kecenderungannya untuk meninjau dan meneliti ulang cara ia beragama di masa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya semasa kecil sudah tidak memuaskan lagi. Kepatuhan dan ketundukannya kepada ajaran agama tanpa komentar atau alasan sudah tidak lagi menggembirakannya. Jika ia, misalnya dilarang melakukan sesuatu karena norma agama, ia akan merasa tidak puas, kalau alasannya hanya dengan dalil-dalil dan hukum mutlak yang diambil dari ayat-ayat kitab suci atau hadits-hadits Nabi. Mereka ingin menjadikan agama sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya.

Oleh karena itu, ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja. Biasanya semangat keagamaan seperti itu tidak terjadi sebelum umur 17 atau 18 tahun.[20]

 

3.         Kebimbangan beragama

Kebimbangan beragama lahir dengan berkembangnya kecerdasan yang dialami oleh remaja. Sehingga kebimbangan remaja terhadap agama itu tidak sama antara satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Ada yang mengalami kebimbangan ringan, yang dengan cepat dapat diatasi dan ada yang sangat berat sampai membawanya untuk berpindah agama. Kebimbangan dan kegoncangan keyakinan yang terjadi sesudah perkembangan kecerdasan tidak dapat dipandang sebagai suatu kejadian yang berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan segala pengalaman dan proses pendidikan yang dilaluinya sejak kecil. Hal ini karena pengalaman-pengalaman itu ikut membina pribadinya.

4.         Tidak Percaya kepada Tuhan

Salah satu perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah mengingkari wujud Tuhan sama sekali dan menggantinya dengan keyakinan lain atau mungkin tidak mempercayai-Nya sama sekali. Namun, secara umum yang perlu diingat bahwa ketidakpercayaan sama sekali kepada Tuhan tidak terjadi sebelum umur 20 tahun. Orang mungkin saja mengklaim bahwa dirinya Atheis, tetapi ketika dianalisis dibalik keingkarannya itu, tersembunyi kepercayaan kepada Tuhan. Dalam hal seperti inilah, kebanyakan remaja umur 20 tahun yang mengaku atau menyangka bahwa ia tidak percaya kepada Tuhan, tetapi sesungguhnya pengakuan tersebut hanyalah protes atau ketidakpuasan terhadap Tuhan.

Realita menunjukkan bahwa kebimbangan beragama lebih banyak terjadi pada orang-orang yang telah maju. Dari hasil angket Dr. al-Malighy didapati bahwa remaja-remaja pada sekolah menengah bagian sastra, yang banyak mendapat pelajaran filsafat menyatakan dengan tegas kebimbingannya pada agama. Dr. al-Malighy tidak mau mengatakan bahwa filsafatlah yang menyebabkan kebimbangan remaja, melainkan ketika memilih jurusan sastra mereka sedang berada dalam kebimbangan.

Proses yang membawa seseorang kepada anti Tuhan bukanlah suatu proses sederhana, melainkan ia merupakan proses perubahan kepribadian yang di dalamnya ikut bekerja berbagai faktor yang mempengaruhinya.[21]

D.      Penyebab Konflik dan Keraguan terhadap Agama pada Remaja

Jalaluddin menjelaskan bahwa dari sampel yang diambil W. Starbuck terhadap mahasiswa Middleburg College, tersimpul bahwa dari remaja usia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan, keadaan lembaga keagamaan dan para pemuka agama. Hal serupa juga terjadi pada ketika diteliti dari 95 mahasiswa 75% mengalami kasus tersebut.[22]

Selanjutnya Jalaluddin menjelaskan bahwa dari analisis hasil penelitiannya W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan itu, yaitu:

1.         Kepribadian, yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin

a.         Bagi seseorang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Misalnya, seseorang memohon penyembuhan terhadap keluarganya yang sakit. Jika doanya ternyata tidak terkabul akan timbullah keraguan terhadap kebenaran sifat ke-Tuhanan tersebut. Hal tersebut akan lebih membekas pada diri remaja yang sebelumnya adalah penganut agama yang taat.

b.        Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat menunjukkan keraguan daripada remaja pria. Tetapi sebaliknya, dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Di samping itu, keraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek.

 

2.         Kesalahan Organisasi Keagamaan dan Pemuka Agama

Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini dapat menyebabkan timbulnya keraguan para remaja terhadap agama. Demikian pula perilaku pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama. Dan hemat penulis, perilaku guru dalam hal ini masuk di dalamnya, lebih khusus lagi guru agama.

3.         Pernyataan Kebutuhan Manusia

Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari agama dan kalo ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimilikinya akan timbul keraguan.

4.         Kebiasaan

Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya. Misalnya, seorang remaja Protestan akan merasa ragu melihat situasi dan ajaran Katolik yang sangat berbeda dengan apa yang biasa diterimanya.

5.         Pendidikan

Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang terpelajar akan menjadi lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi jika mereka memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya itu secara lebih rasional.

6.         Percampuran antara Agama dengan Mistik

Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik. Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tidak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilema yang kabur bagi para remaja.[23]

Jalaluddin selanjutnya juga menjelaskan bahwa secara individu sering pula terjadi keraguan yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1.         Kepercayaan, menyangkut masalah ke-Tuhanan dan implikasinya (terutama dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai Trinitas.

2.         Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci agama.

3.         Alat perlengkapan keagamaan, seperti fungsi salib dan rosario dalam Kristen.

4.         Fungsi dan Tugas Staf dalam lembaga keagamaan.

5.         Pemuka agama, biarawan dan biarawati.

6.         Perbedaan aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kristen) atau Madzhab (dalam agama Islam).[24]

Dari keraguan-keraguan yang sudah dijelaskan akan mengarah kepada munculnya konflik dalam diri para remaja. Konflik yang dimaksud adalah:

1.         Konflik yang terjadi di antara percaya dan ragu.

2.         Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.

3.         Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekulerisme.

4.         Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk ilahi.[25]


 

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kondisi jiwa keagamaan pada usia remaja tergolong labil. Arah yang ditunjukkan dalam hal kognitif (otak) adalah kemampuan meng-abstraksikan yang diketahui olehnya. Abstraksi yang dimaksud adalah pada usia remaja ini, individu cenderung melalukan penyesuain terkait keagamaan dengan akalnya, sehingga semuanya harus serba masuk akal.

Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan pada remaja. Kemudian dipusatkan menjadi dua faktor, yaitu faktor intern dan ekstern. Dari faktor tersebutlah perkembangan jiwa keagamaan remaja terbentuk. Sehingga faktor ini sebisa mungkin dipelajari dan dianalisis agar perkembangan jiwa keagamaan yang dimaksud tidak condong kepada hal yang negatif.

B.       Saran

Ketidaksempurnaan dalam tulisan ini tentu saja terlihat jelas dan banyak sekali, oleh karenanya penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun supaya menjadi lebih baik lagi di masa mendatang. 

    

       

 



[1] Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), Cet. VII, hlm. 189.

[2] Pubertas adalah waktu perkembangan fisik yang cepat, menandakan akhir masa kanak-kanak dan awal kematangan seksual. Meskipun pada masing-masing individu awal pubertas ini berbeda-beda. Perempuan umumnya mulai pubertas lebih awal daripada laki-laki, sekitar usia 11-12 tahun. Sedangkan laki-laki pada usia 12-14 tahun. Perempuan yang mulai mengalami pubertas ditandai dengan tumbuh tingginya badan, pinggul melebar, payudara menjadi bulat dan besar, klitoris memanjang, rahim membesar dan menstruasi. Sedangkan laki-laki ditandai dengan tumbuh tinggi, lebih berat dan kuat, suara dalam semakin terdengar, bahu melebar, testis menghasilkan sperma, tumbuh rambut di tempat-tempat tertentu dan penis mulai membesar. Lihat Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Alfabeta, 2014), Cet. IV, hlm. 76-77.

[3] Desmita, Psikologi Perkembangan, ....., hlm. 190.

[4] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), Cet. XV, hlm. 102.

[5] Desmita, Psikologi Perkembangan, ....., hlm. 208.

[6] Desmita, Psikologi Perkembangan, ....., hlm. 209.

[7] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 65-67.

[8] Jalaluddin, Psikologi Agama (Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), Cet. XVIII, hlm. 65-68.

[9] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 79.

[10] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 80.

[11] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 82.

[12] Gangguan mental yang kronis yang menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau dan perubahan perilaku. Lihat http://www.alodokter.com/skizofernia 

[13] Rasa takut yang berlebihan terhadap sesuatu. Ketakutan tersebut dapat timbul saat menghadapi situasi, berada di suatu tempat atau ketika melihat hewan tertentu. Lihat http://www.alodokter.com/skizofernia

[14] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 82-83.

[15] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 83.

[16] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 84.

[17] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 84.

[18] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 85.

[19] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 70.

[20] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 72-73.

[21] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, ....., hlm. 71-76.

[22] Jalaluddin, Psikologi Agama (Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. VIII, hlm. 78.

[23] Jalaluddin, Psikologi Agama (Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi), ..... 2004, hlm. 78-79.

[24] Jalaluddin, Psikologi Agama (Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi), ..... 2004, hlm. 80.

[25] Jalaluddin, Psikologi Agama (Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi), ..... 2004, hlm. 80.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 comments:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger