KONSEP SIKAP
DALAM ASPEK PENDIDIKAN BARAT
Oleh: Rudini[1]
Mata Kuliah: Filsafat Ilmu dan Metode Berpikir
Dosen: Prof. Dr. H. Wahidin, M.Pd.
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu usaha manusia dalam mengembangkan potensi
dirinya. Melalui pendidikan, manusia mengalami berbagai perubahan, baik dalam
bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Perubahan-perubahan tersebut
mempengaruhi cara hidup manusia di suatu tempat. Oleh karenanya, agar manusia
terarah dalam mengeksplor perubahan dirinya, perlu adanya suatu sistem yang
tertata dengan baik. Sistem tersebut kemudian disebut pendidikan.
Usaha tersebut sejalan dengan definisi pendidikan yang dijelaskan dalam
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk mengikuti kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Melihat pendefinisian tersebut dapat dipahami bahwa tujuan utama dari
proses pendidikan adalah adanya perubahan sebagaimana yang sudah dituliskan
sebelumnya. Perubahan yang utama dalam pendidikan adalah perubahan sikap.
Mengingat sikap merupakan unsur paling penting untuk membawa manusia menuju
kesuksesan dan kehidupan yang terarah.
Setelah memahami ini, penulis bermaksud
memaparkan dalam tulisan ini tentang bagaimana konsep sikap dalam pendidikan Barat.
Mengingat bahwa yang terjadi sekarang adalah adanya istilah pendidikan Barat
dan Timur. Perbedaan keduanya sebagaimana umum diketahui terletak pada keduanya
menyikapi tentang pengetahuan. Dalam budaya Barat menekankan analisis
pengetahuan yang kritis dengan mencari unsur sebab-akibat dan membangun
argumentasi-argumentasi. Sedangkan budaya Timur menekankan pengetahuan intuitif
yang menyeluruh dan melibatkan unsur-unsur emosi. Oleh karena sikap yang muncul
antara Barat dan Timur berbeda, penulis bermaksud memfokuskan tulisan ini
kepada bagaimana sikap dalam pendidikan Barat.
B.
Pendidikan Barat
Dalam
pendidikan Barat, ilmu tidak lahir dari pandangan hidup agama tertentu dan
diklaim sebagai sesuatu yang bebas nilai. Namun sebenarnya tidak benar-benar
bebas nilai tapi hanya bebas dari nilai-nilai-nilai keagamaan dan ke-Tuhanan. Menurut Naquib al-Attas[3],
ilmu dalam peradaban Barat tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama
namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis
yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai
makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan serta nilai-nilai etika dan
moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Sehingga dari
cara pandang yang seperti inilah pada akhirnya akan melahirkan ilmu-ilmu sekuler.[4]
Selanjutnya al-Attas menjelaskan bahwa ada lima faktor
yang menjiwai budaya dan peradaban Barat, yaitu: [5]
1.
Menggunakan akal untuk membimbing kehidupan
manusia;
2.
Bersikap dualitas terhadap realitas dan
kebenaran;
3.
Menegaskan aspek eksistensi yang
memproyeksikan pandangan hidup sekuler;
4.
Menggunakan doktrin humanisme; dan
5.
Menjadikan drama dan tragedi sebagai
unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan.
Kelima faktor yang dijelaskan oleh al-Attas tersebut sangat mempengaruhi
pola pemikiran Barat. Cara berpikir yang tidak bersandar pada wahyu Tuhan dan
agama inilah yang membentuk mindset Barat dalam mengelola dan
mengembangkan pendidikan, juga dalam menata kehidupan. Sehingga akan sangat
berbeda bila dipertemukan dengan pola berpikir umat Islam, yang segala
sesuatunya harus disandarkan kepada Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam.
Ilmu
yang dikembangkan dalam pendidikan Barat, dibentuk dari acuan pemikiran
falsafah mereka yang dituangkan dalam pemikiran berciri materialisme, idealisme,
sekularisme, dan rasionalisme. Pemikiran ini mempengaruhi konsep,
penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri.
Rene
Descartes[6], John Locke[7],
Immanuel Kant[8],
Martin Heidegger[9] dan lainnya juga menekankan rasio
dan panca indera sebagai sumber ilmu mereka, sehingga melahirkan berbagai macam
faham dan pemikiran seperti empirisme, humanisme, kapitalisme,
eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan lainnya, yang
ikut mempengaruhi berbagai disiplin keilmuan, seperti dalam filsafat, sains,
sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lainnya.
Terdapat 4 konsep yang digunakan dalam pendidikan Barat.
Keempat konsep tersebut diyakini mewakili ciri Barat dalam kiprahnya di dunia
pendidikan. Konsep-konsep tersebut yaitu Liberal, Sekuler, Pragmatis dan
Materialis.
1.
Liberal
Kata liberal secara
harfiah artinya "bebas" (free), artinya "bebas dari
berbagai batasan" (free from restraint). Liberalisme adalah sebuah ideologi,
pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa
kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme
mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, digambarkan dengan kebebasan
berpikir bagi para individu.
Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari
pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang
bebas, begitu juga dengan ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private
enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan,
menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme
lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Dalam masyarakat modern,
liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan
keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah yang sangat panjang dalam
sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama
Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar
Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu
kejahatan.[10]
Perbedaan antara berbagai ideologi liberal adalah terutama pada
bagaimana menghadapi keterkaitan antara sekolah dengan masyarakat. Tafsiran
tentang konsep relatifisme budaya dan demokrasi sosial, ketika persoalannya
sampai pada hubungan antara sekolah dengan masyarakat, kaum liberal mengambil
pendekatan psikologis (personalistis), di mana individu didahulukan daripada tuntutan-tuntutan masyarakat. Ada
dua alasan mengapa liberalis pendidikan mengambil sikap seperti itu.
Pertama, kaum
liberal yakin bahwa yang psikologis itu tetap menjadi landasan puncak bagi
pembuktian kebenaran atau kekeliruan/kesalahan klaim manapun terhadap pengetahuan.
Belajar
adalah sesuatu yang bersifat personal dalam arti yang lebih mendasar jika
dibandingkan dengan belajar sebagai kegiatan yang berpusat pada kelompok.
Kedua, tidak
ada budaya yang benar-benar terbuka dan kritis, dan akan menjadi model yang
sahih bagi pencarian kecerdasan praktis yang terlatih, yang dipandang sebagai
sebuah sasaran secara kolektif. Sekolah dipandang sebagai lembaga yang lebih terbuka, lebih
kritis, dan lebih bertanggungjawab dibandingkan dengan
sistem politis.
Bagi kaum liberal, pendidikan yang
terbaik adalah yang ada untuk melatih anak agar berfikir secara kritis dan
objektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah, dan melatih anak meyakini
hal-hal tersebut sebagai hal-hal yang paling baik berdasarkan pengetahuan
ilmiah.
Ada tiga corak
utama dalam liberalisme pendidikan, yaitu:[11]
a.
Liberalisme Metodis
Mereka yang mengambil sikap bahwa
selagi metode-metode pengajaran harus disesuaikan dengan
zaman supaya mencakup renungan-renungan psikologis baru dalam hakikat belajar
oleh manusia, namun sasaran-sasaran atau tujuan pendidikan, termasuk isi
tradisionalnya secara fundamental sudah baik dan tidak memerlukan penyesuaian
yang penting.
b.
Liberalisme Direktif
Pada dasarnya liberalisme direktif
menginginkan pembaharuan mendasar dalam hal tujuan sekaligus dalam hal cara
kerja sekolah. Mereka menganggap bahwa wajib belajar adalah perlu dan memilih
untuk mempertahankan beberapa keperluan mendasar tertentu serta mengajukan
penetapan lebih dulu tentang isi pelajaran-pelajaran yang akan diberikan pada
siswa. John Dewey[12]
dapat dikatakan berada pada aliran ini.
c.
Liberalisme non-Direktif
Kaum liberalisme non-direktif
sepakat dengan pandangan bahwa tujuan dan cara-cara pelaksanaan pendidikan
perlu diarahkan kembali secara radikal dari orientasi otoritariannya yang
tradisional ke rah sasaran pendidikan yang mengajar siswa untuk memecahkan
masalahnya sendiri secara efektif.
2.
Sekuler
Sekuler berintikan
pemisahan antara agama dengan kehidupan, dan pemisahan agama dari negara. Juga
bahwasanya agama hanya sekedar hubungan antara individu dengan Penciptanya
saja.
Kelahiran sekulerisme ini bermula pada saat
kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk
memeras, menganiaya dan menghisap darah rakyat. Para pemuka agama, waktu itu,
dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka. Maka timbulah pergolakan sengit,
yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan. Sebagian
mereka mengingkari adanya agama secara mutlak.
Sedangkan yang lainnya mengakui adanya agama, tetapi
menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat
mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide
yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha
pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak
mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakui atau ditolak. Sebab,
yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.
3.
Pragmatis
Istilah Pragmatisme berasal
dari kata Yunani pragma yang berarti
perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama
artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham.
Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran
itu menuruti tindakan.
Aliran ini
bersedia menerima segala sesuatu, asal saja hanya membawa akibat praktis.
Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai
kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang
bermanfaat. Dengan demikian, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup
praktis”. Pragmatisme
memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu
teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu
hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Kata
pragmatisme sering sekali diucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini
biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, Rencana ini kurang
pragmatis, maka maksudnya ialah rancangan itu kurang praktis. Pengertian
seperti itu tidak begitu jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya,
tetapi belum menggambarkan keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme
adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu
ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu, kebenaran sifatnya menjadi relatif
tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak
memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi
masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar
oleh masyarakat yang kedua.
Pragmatisme
dalam perkembangannya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun berangkat dari
gagasan asal yang sama. Kendati demikian, ada tiga patokan yang disetujui
aliran pragmatisme yaitu:
a.
Menolak segala intelektualisme;
b.
Absolutisme; dan
c.
Meremehkan logika formal.
4.
Materialis
Istilah materialisme dapat diberi definisi
dengan beberapa cara, di antaranya:
a.
Materialisme adalah teori yang mengatakan
bahwa atom materi yang berada sendiri dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk
alam dan bahwa akal dan kesadaran (conciousness) termasuk didalamnya
segala proses pisikal merupakan mode materi tersebut dan dapat disederhanakan
menjadi unsur-unsur fisik.
b.
Bahwa doktrin alam semesta dapat
ditafsirkan seluruhnya dengan sains condong untuk menyajikan bentuk materialism
yang lebih tradisional.
Pada akhir-akhir ini,doktrin tersebut
dijelaskan sebagai energisme yang mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk
energi atau sebagai
suatu bentuk dari positivisme yang memberi tekanan untuk sains dan mengingkari
hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang
paling tinggi, baca: Allah
SWT).
Dalam arti sempit, materialism adalah teori yang mengatakan
bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi dan gerak.
Materialisme berpendapat bahwa semua kejadian dan kondisi adalah akibat yang
lazim dari atau bentuk-bentuk yang lebih tinggi dalam hanya merupakan bentuk
yang lebih kompleks daripada bentuk inorganik atau bentuk yang lebih rendah, bentuk yang lebih tinggi tidak mengandung
materi atau energi baru dan
prinsip sains fisik adalah cukup untuk menerangkan segala yang terjadi atau
yang ada. Semua proses alam, baik anorganik atau organik telah dipastikan dan dapat diramalkan jika
segala fakta tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui.
Disini masih dapat dibedakan materilisme dalam arti
kata luas yang mengakui kekhususan alam rohani dan jiwa, tetapi memandangnya
sebagai semacam alam kebendaan yang halus sekali sifatnya, lain daripada alam
kebendaan biasa atau kasar. Pandangan ini juga disebut materialism dualitas
(atau bahkan pluralitas) seperti dianut oleh Demokritos yang membedakan
atom-atom jiwa daripada atom-atom biasa, atau mazhab Stoa, yang berpendapat
bahwa segala sesuatu mempunyai struktur badani,namun juga menerima adanya
semacam “angin” ilahi yang menjiwai segal sesuatu (pneuma).[13]
C.
Konsep Sikap dalam
Aspek Pendidikan Barat
Dari sekian banyak definisi sikap, salah satunya bahwa
sikap adalah reaksi atau proses seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau obyek. Sikap tidak dapat dilihat langsung tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial.[14]
Lebih lanjut Notoatmodjo menjelaskan bahwa sikap terdiri
dari beberapa tingkatan, yaitu:
1.
Menerima (Receiving)
Menerima
diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan
(obyek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesediaan
dan perhatian orang itu terhadap informasi-informasi tentang gizi.
2.
Merespon (Responding)
Memberikan
jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan
adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari tugas tersebut
benar atau salah adalah berarti bahwa orang tersebut menerima ide tersebut.
3.
Menghargai (Valuing)
Mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain
pergi ke Puskesmas untuk menggunakan alat kontrasepsi, ini adalah suatu
bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap alat
kontrasepsi.
4.
Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung
jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah
merupakan sikap yang paling tinggi , meskipun mendapat tantangan dari suami
atau orang tuanya sendiri.
Berdasarkan
analisa penulis, sikap yang dimunculkan oleh seseorang akan sangat dipengaruhi
oleh falsafah yang digunakan, juga pola pikir yang terbentuk selama hidupnya.
Demikian halnya dengan konsep sikap dalam pendidikan Barat. Pendidikan Barat
yang berpijak kepada 4 konsep utamanya yaitu sekuler, liberal, pragmatis dan
materialis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola pikir individu.
Hal tersebut
disebabkan pendidikan merupakan proses mengubah seseorang, maka tentu saja mindset
yang terbentuk dari pendidikan Barat adalah sikap-sikap yang sesuai dengan
4 konsep tersebut. Sikap-sikap yang mungkin muncul yang sesuai dengan
konsep-konsep pendidikan Barat, di antaranya:
1.
Bebas;
2.
Praktis; dan
3.
Individualis.
Menurut penulis, dalam kasus-kasus tertentu sikap-sikap tersebut benar dan
signifikan. Misalnya, karena kondisi yang disebabkan oleh kemajuan Informasi
dan Teknologi Komunikasi, sikap praktis, konsumtif dan individualis dengan
mudahnya tumbuh dan berkembang. Namun, hal ini tidak boleh dibebaskan begitu
saja, melainkan harus ada control yang sesuai. Tetapi, dalam pendidikan
Barat hal ini tidak diperhatikan, mengingat sikap bebas juga merupakan bagian
dari pendidikan Barat itu sendiri.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, sebagai suatu kekayaan berpikir manusia
dan budaya berpikir yang kreatif dan inovatif tentu saja pendidikan Barat
sangat produktif dalam memberikan sumbangan pemikiran bagi kehidupan dunia ini.
Mengingat bahwa Barat sangat terfokus kepada pemaksimalan kerja otak dan fungsi
rasionalitas. Sehingga sikap yang muncul dari proses panjang tersebut terkadang
kurang memperhatikan bagi kehidupan bersama, yang kemudian tumbuh dan
berkembang pesatnya sikap individualitas dalam kehidupan sehari-hari, di mana
hal ini bertentangan dengan gaya atau pola pendidikan Timur.
DAFTAR PUSTAKA
al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1991. Islam dan Sekulerisme.
Bandung: Pustaka Pelajar.
Anonim. 2014. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20
Tahun 2003). Cetakan ke-6. Jakart: Sinar Grafika.
Dewey, John. 1955. Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan.
Diterjemahkan oleh E.M. Aritonang. Jakarta: Saksana.
Freire, Paulo. 2008. Pendidikan Bagi Kaum Tertindas.
Hadiwijono, Harun. 2004. Sari Sejarah Filsafat
Barat II. Yogyakarta : Kanisius.
https://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017
Pukul 07.58 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017
Pukul 07.56 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Martin_Heidegger Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017
Pukul 08.02 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017
Pukul 07.53 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas Diakses pada
hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.22 WIB.
Idris, Ahmad.
1991. Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh al-Injil wa al-Kanisah).
Diterjemahkan oleh H. Salim Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press.
S. Notoatmodjo. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
S. Praja, Juhaya. 2003. Aliran-Aliran
Filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana.
[1] Mahasiswa Jurusan Psikologi Pendidikan Islam Semester 1 di Kampus IAIN Syekh
Nurjati Cirebon Tahun 2017.
[2] Anonim, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 20 Tahun
2003), Cetakan ke-6, (Jakart: Sinar Grafika, 2014).
[3] Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad al-Naquib bin Ali bin Abdullah bin
Muhsin al-Attas, seorang cendikiawan dan filsuf muslim kelahiran Bogor,
Indonesia. Namun, beliau banyak menghabiskan masa pendidikannya di Johor,
Malaysia. Sampai sekarang nama Naquib al-Attas masih harum di kalangan para
akademisi. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Syed_Muhammad_Naquib_al-Attas
Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.22 WIB.
[4] Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekulerisme,
(Bandung: Pustaka Pelajar, 1991), hlm. 23. Selanjutnya ditulis al-Attas
[5] al-Attas, hlm. 24.
[6] Seorang filsuf asal Perancis yang sering disebut sebagai Bapak Filsafat
Modern. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.53 WIB.
[7] Seorang filsuf asal Inggris yang melakukan pendekatan empirisme dalam
filsafatnya. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/John_Locke Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.56 WIB.
[8] Seorang guru besar ilmu logika dan matematika di Universitas Konisberg.
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Immanuel_Kant Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 07.58 WIB.
[9] Seorang filsuf asala Jerman yang mempunyai pengaruh besar atau tidak dapat
diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika,
dan pasca-modernisme. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Martin_Heidegger Diakses pada hari Jum’at tanggal 7 Juli 2017 Pukul 08.02 WIB.
[10] Lihat Ahmad Idris, Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh al-Injil wa
al-Kanisah), Diterjemahkan oleh H. Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1991), hlm. 74.
[11] Lihat Paulo Freire, Pendidikan Bagi Kaum Tertindas, 2008, hlm. 87.
[12] John Dewey adalah seorang tokoh pendidikan, lahir di Burlington
Amerika pada tanggal 20 Oktober
tahun 1859 M, Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore, ia menjadi guru besar dalam bidang filsafat
dan kemudian dalam bidang pendidikan pada beberapa universitas. (Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah
Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 133. Sepanjang kariernya, Dewey menghasilkan 40 buku dan
lebih dari 700-an artikel (Lihat John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan
Kebudayaan, alih bahasa E.M. Aritonang, (Jakarta: Saksana, 1955),
hlm. 5.
[13] Lihat Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 144.
[14] Lihat Notoatmodjo S., Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003).
0 comments:
Posting Komentar