PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat
dalam perkembangannya, seringkali melahirkan filosof-filosof hebat yang
memberikan warna tersendiri dalam dunia pemikiran manusia. Dari sekian banyak
filsuf terkenal, salah satunya adalah Plotinus. Beliau adalah filosof asal
Mesir, yang terkenal dengan ajarannya tentang jiwa.
Selain
itu, yang membuat penting untuk dipelajari adalah tentang jawabannya atas
pertanyaan yang mengatakan, “Apa bahan alam semesta ini?”. Dimana jawaban
Plotinus atas pertanyaan diatas, kemudian dinamakan Teori Emanasi yaitu teori
tentang penciptaan alam semesta.
Akan tetapi pemikiran Plotinus bukan hanya itu, dia juga
mengemukakan pemikiran tentang etika. Secara umu ajaran Plotinus disebut
Plotinisme atau Neoplatonisme. Jadi, ada kaitannya antara ajaran Plotinus
dengan ajaran Plato.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latarbelakang dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.
Bagaimana
kehidupan Plotinus?
2.
Bagaimana
ajaran filsafat Plotinus?
3.
Apa
tujuan filsafat Plotinus?
C.
Tujuan
Adapun
tujuannya sebagai berikut.
1.
Untuk
mengetahui kehidupan Plotinus,
2.
Untuk
memperoleh data tentang ajaran filsafat Plotinus, dan
3.
Untuk
mengetahui tujuan filsafat Plotinus.
PEMBAHASAN
A.
Kehidupan Plotinus
Plotinus
dilahirkan pada tahun 204 Masehi di Lycopolis, Mesir. Orang tuanya berasal dari
Yunani. Mengenai Plotinus, banyak yang tidak mengetahui tentang kehidupannya,
Plotinus terkenal karena ajaran filsafatnya. Hakim dan Saebani (2008:125)
mengatakan, “Awalnya Plotinus mempelajari filsafat dari ajaran Yunani, terutama
dari buah tangan Plato”.
Kemudian
pada tahun 232 Masehi, Plotinus pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat
kepada seorang guru bernama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Sebenarnya
diusianya yang sudah 28 tahun, Plotinus nampak cerdas sebagai filosof. Namun,
baginya itu semua belum cukup. Ia ingin mempelajari mistik dari Persia dan
India, secara kebetulan Kaisar Roma ketika itu, Gordianus hendak melakukan penyerangan
ke Persia. Plotinus pun meminta agar dirinya dijadikan serdadu dalam laskar
Gordianus.
Akan
tetapi, keinginan Plotinus untuk mempelajari mistik di Persia dan India gagal,
karena Gordianus terbunuh dalam peperangan tersebut. Ahmad Tafsir (2010:67)
mengatakan, “Plotinus selamat dan berhasil melarikan diri ke Antakya
(Antioch)”.
Pada
umur 40 tahun, Plotinus pergi ke Roma. Hakim dan Saebani (2008:125) mengatakan,
“Satu tahun menetap disana untuk mengajarkan filsafatnya”. Lalu, pada tahun 270
Masehi, Plotinus meninggal di Minturnae, Campania, Italia. Muridnya yang
bernama Porphyry mengumpulkan tulisannya yang berjumlah 54 karangan. Ahmad
Tafsir (2010:67) menyebutkan bahwa “Karangan itu dikelompokkan menjadi 6 set,
tiap set berisi 9 karangan, masing-masing set itu disebut ennead, seluruhnya
ada 6 ennead”.
Ennead pertama berisi
masalah etika, mengenai masalah kebajikan, kebahagiaan, bentuk-bentuk kebaikan,
kejahatan dan masalah pencabutan dari kehidupan. Ennead kedua
membicarakan tentang fisik alam semesta, bintang-bintang, potensialitas dan
aktualitas, sirkulasi gerakan, kualitas dan bentuk, juga berisi kritik pedas
terhadap gnotisisme. Ennead ketiga membahas implikasi filsafat dunia,
seperti masalah iman, kuasa Tuhan, kekekalan, waktu dan tatanan alam. Ennead
keempat membicarakan sifat dan fungsi jiwa yaitu tentang imortalitas jiwa,
penginderaan dan ingatan. Ennead kelima berisi pembahasan tentang roh
ketuhanan (divine spirit). Disini diterangkan ajarannya tentang idea. Ennead
keenam berisi pembahasan tentang berbagai topik seperti tentang kebebasan
kemauan (free will), tentang ada menjadi realitas.
B.
Ajaran Filsafat Plotinus
Plotinus
pada awalnya tidak bermaksud untuk mengemukakan filsafatnya sendiri. Ia hanya ingin
memperdalam filsafat Plato. Oleh karenanya, filosofinya disebut pula dengan
Neoplatonisme.
Plato
mendasarkan ajarannya kepada yang baik, yang meliputi segala-galanya. Sedangkan
ajaran Plotinus berpokok kepada yang satu. Hakim dan Saebani (2008:126) mengatakan,
“Yang satu itu adalah pangkal segala-galanya”. Walaupun filosofinya berdasarkan
ajaran Plato, ia juga mengambil ajaran dari filosofi-filosofi sesudah Plato,
selagi ajaran-ajaran itu dapat disesuaikan dengan agamanya.
Lebih
lanjut, Hakim dan Saebani (2008:126) mengatakan bahwa filsafat Plotinus
berpangkal pada keyakinan bahwa segala ini, Yang Asal itu adalah satu
dan tidak ada pertentangan didalamnya. Yang satu itu bukan kualitas dan bukan
pula yang utama dari segala keadaan dan perkembangan dalam dunia. Segalanya
datang dari suatu, Yang Asal. Yang asal itu sebab kuantita, akal bukan
jiwa, bukan suatu yang bergerak bukan pula yang terhenti, bukan dalam ruang dan
buka dalam waktu.
Yang
satu tidak dapat dikenal, sebab tidak ada ukuran untuk membandingnya. Orang
hanya dapat mengatakan, apa yang tidak sama dan serupa dengan Dia, tetapi tidak
dapat dikatakan apa Dia. Pada dasarnya, Yang Satu itu tidak dapat
disebut, karena nama-nama Yang Satu, Yang Baik, berlainan dengan
nama-nama yang lain, tidak berhubungan dengan Yang Asal. Yang Satu itu
menunjukkan sesuatu yang negatif, yaitu tidak ada padanya yang banyak. Yang
Baik menunjukkan apa artinya baik itu untuk makhluk yang lain, bukan apa
itu baginya sendiri. Hanya satu saat yang positif yang tidak boleh ada padanya,
yaitu Yang Asal itu adalah permulaan dan sebab yang pertama dari segala
yang ada.
Plotinus
merasakan kesulitan tentang bagaimana kelanjutan logikanya. Untuk mengatasi
kontradiksi itu dikemukakannya dasar kausalita Tuhan sebagai wujud jalan keluar
yang dia lakukan. Yang Satu itu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung
didalamnya satupun dari barang yang banyak itu. Dasar dari yang banyak tidak
bisa yang banyak itu sendiri. Sebaliknya, yang satu adalah semuanya berarti
bahwa yang banyak itu adalah padanya. Didalam Yang Satu, yang banyak itu
belum ada, tetapi yang banyak itu akan ada. Sebab didalamnya, yang banyak itu
tidak ada, yang banyak itu datang dari Dia. Karena Yang Satu itu
sempurna, tidak mencari apa-apa, tidak memiliki apa-apa dan tidak memerlukan
apa-apa, keluarlah sesuatu dari Dia dan mengalir menjadi barang-barang yang
ada.
Pandangan
itu disebut dengan Emanasi dari Dia dan datang dari Dia. Hakim dan
Saebani (2008:127) mengatakan, “Emanasi adalah suatu pandangan baru yang
dikemukakan oleh Plotinus dalam filosofinya”. Dan dalam alam pemikiran Yunani
belum ada pengertian tentangnya.
Mengenai
alam, Plotinus mengatakan bahwa alam ini terjadi dari yang melimpah atau
mengalir dari Yang Asal dan yang mengalir itu tetap bagian yang asalnya
tadi. Bukan Tuhan berada dalam alam, melainkan alam berada dalam Tuhan.
Jalannya sebab dan akibat serupa dengan air yang mengalir dalam mata air dan
panas dalam api.
Emanasi
alam dari Yang Asal itu, janganlah dipahamkan sebagai suatu
kejadian yang berlaku dalam ruang dan waktu. Sebab, ruang dan waktu terletak
pada tingkat yang terbawah daripada Emanasi tadi. Ruang dan waktu adalah
pengertian dalam dunia yang lahir.
Dari
uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam ajaran Plotinus, Yang
Satu itu adalah dalam keadaan sempurna. Oleh sebab itu, bertambah banyaknya
yang tidak sempurna hanya bisa terjadi dalam bertambah banyaknya yang berbagai
rupa, pembagian dan perubahan-perubahan. Dari Yang Satu datang ‘makhluk’
yang pertama, yaitu akal dan dunia pikiran. Dari akal datang jiwa dunia, yang
pada akhirnya melahirkan materi.
Semuanya datang dari Yang Satu, tetapi semua itu terus langsung
berhubungan dengan Yang Satu tersebut. Begitulah Plotinus menyusun suatu
sistem filosofinya, yang sebelumnya hal ini belum ada dalam alam pikiran
Yunani.
Adapun
ajaran-ajaran Plotinus yang dapat disebutkan sebagai berikut.
1.
Ajaran
Tentang Jiwa
Ajaran Plotinus tentang jiwa adalah dasar teorinya tentang hidup
yang praktis dan ajaran moral. Menurut Plotinus, benda itu karena tidak
terpengaruh Yang Satu, Yang Baik, adalah pangkal dari yang jahat.
Dari teorinya tersebut muncul persoalan bahwa apabila benda dihasilkan oleh
jiwa, dengan sendirinya timbul pertanyaan, “Apakah jiwa itu tidak bersalah
dalam hal kejahatan benda itu?”.
Plotinus menerangkan bahwa jiwa itu tidak langsung bersalah. Karena
jiwa itu memiliki dua macam hubungan ke atas dan ke bawah. Ke atas, ia
berhubungan dengan akal dan karena itu ia adalah makhluk yang berpikir dan
menerima dari akal itu idea yang kekal. Ke bawah, berarti ia berhubungan dengan
dunia benda yang dibentuknya menurut idea yang datang dari atas.
Ahmad Tafsir (2010:72) mengungkapkan pengertian jiwa dalam
pandangan Plotinus, beliau mengatakan “Jiwa adalah kekuatan ilahiah, jiwa
merupakan sumber kekuatan”. Alam semesta berada dalam jiwa dunia. Jiwa tidak
dapat dibagi secara kuantitatif karena jiwa itu adalah sesuatu yang satu tanpa
dapat dibagi.
Mengenai perbuatan jiwa, Plotinus mengatakan bahwa pada awalnya
kejahatan timbul pada mereka yang menjadi sombong dan ingin mencapai tanda
kebesaran untuk diri sendiri. Jika diperhatikan, maka pernyataan ini ada
benarnya, karena pangkal dari kejahatan lainnya adalah adanya sifat sombong
dalam diri. Seperti halnya sifat Iblis yang menyombongkan dirinya sebagai
makhluk yang lebih mulia dari manusia, yang sehingga membuat Iblis harus
mendapat murka Allah SWT.
Plotinus menjelaskan hubungan jiwa dan benda beliau mengungkapkan
bahwa jiwa yang pada hakikatnya makhluk rohaniah tidak dapat dikurung oleh
badan seperti barang dalam peti. Karena makhluk yang lebih tinggilah yang
meliputi yang lebih rendah. Yang lebih rendah itu adalah suatu limpahan dari
yang lebih tinggi. Hubungan seperti itu terdapat pula pada hubungan jiwa dan
badan. Oleh karenanya, dalam badan manusia terdapat dua bagian yang berbeda
sama sekali.
Pertama, materi yang
dilahirkan oleh jiwa dunia menurut kemestian Emanasi. Kedua,
cahaya jiwa dunia dalam benda yang sudah dilahirkan. Jiwa ini bercahaya masuk
kedalam badan, tidak lain dari gambaran cahaya dari jiwa dunia yang sebenarnya.
Keinginan, kesedihan, kesenangan dan pemandangan tak lain dari pengalaman dan
pemandangan dari jiwa tersebut. Jiwa yang sebenarnya, yang masih rohaniah,
tidak menderitan sedikitpun. Dengan ‘aku’nya yang bersih, manusia dapat
mencapai yang lebih tinggi daripada materi, mencapai alam rohaniah. Akan
tetapi, pada ‘aku’ rohaniah yang suci tadi bergantung pula ‘aku’ yang buas,
yang menarik yang tinggi tadi ke bawah. Sebaliknya, ‘aku’ rohaniah yang lebih
tinggi tadi menarik yang lebih rendah itu ke atas. Pada ‘aku’ rohaniah yang
suci tidak terdapat kesenangan dan beban yang ada pada ‘aku’ yang lebih rendah
yang buas.
Dengan jalan itu, Plotinus mengajarkan bahwa dosa dan keburukan,
kejahatan dan kebengisan hanya ada pada keadaan dan perbuatan ‘aku’ yang
rendah. Tidak ada pada jiwa yang masih murni.
Hakim dan Saebani (2008:131) menjelaskan bagian jiwa yang murni
adalah yang terdiri dari logos dan nus, pikiran dan akal, yang satu sama lain
berhubungan dengan sebagai benda dan bentuk. Logos kerjanya mencari, ia
senantiasa berpikir, kalau ia menerima cahaya dari nus, dari akal. Dari akal,
diterimanya idea-idea kekal. Dengan perantara logos itu, jiwa dapat melakukan
tugasnya yang mulia, kembali kepada Tuhan, apabila ia dapat melenyapkan dirinya
dari hidup keduniaan dan mencoba hidup dalam alam rohaniah. Dengan begitu, ia
akan menemukan jalan ke atas, setingkat demi setingkat dan akhirnya sampai
kepada Yang Satu, Yang Baik.
Maka bisa dikatakan selama jiwa itu terikat kepada badan, kepada
benda, sulit sekali ia mencapai tujuan yang suci yaitu sama dengan Tuhan,
mengalir kembali ke asal Yang Satu. Oleh karenanya, jalan ke atas akan
lebih mudah ketika mati.
2.
Ajaran
Tentang Hidup dan Moral
Ajaran ini mudah, karena hanya melaksanakan dalam praktik ajarannya
tentang jiwa. Tujuan hidup manusia dikatakannya mencapai persamaan dengan
Tuhan. Budi yang tertinggi adalah roh. Hakim dan Saebani (2008:132) mengatakan,
“Menyucikan roh adalah satu-satunya jalan menuju cita-cita kemurnian”.
Benda yang disekitar manusia hendaklah diabaikan sama sekali dan
jiwa itu harus mencoba semata-mata hidup dalam lingkungan alam rohaniah dan
alam pikiran. Hanya dalam alam rohaniah dan alam pikiran itulah, jiwa dapat
melatih diri untuk mencapai langkah terakhir, yaitu bersatu dengan Tuhan. Ini
hanya dapat dicapai dengan mengembangkan perasaan yang luar biasa, yaitu rasa
keluar dari diri sendiri dengan extase.
3.
Ajaran
Metafisika Plotinus
Seperti halnya Plato, Plotinus juga
menganut realitas idea. Namun, antara keduanya ada perbedaan. Menurut Plato
idea itu umum, artinya setiap jenis objek hanya ada satu ideanya. Misal Kucing,
maka menurut idea Plato hanya ada satu ide tentang Kucing. Sedangkan Plotinus
idea itu partikular, sama dengan dunia yang partikular. Perbedaan mereka yang
pokok adalah pada titik tekan ajaran mereka masing-masing. Plotinus kurang
memperhatikan masalah-masalah sosial seperti pada Plato. Plotinus tidak percaya
bahwa kemanusiaan dapat dibangun melalui filsafat. Oleh karenanya, Plotinus
tidak mencoba mengaplikasikan metafisikanya kedalam politik.
Ahmad Tafsir (2010:68) mengatakan,
“Sistem metafisika Plotinus ditandai oleh konsep transendens. Menurut Plotinus,
didalam pikiran ada tiga realitas, yaitu: the one, the mind dan the
soul.
The One (Yang Esa) adalah Tuhan dalam pandangan Philo yaitu suatu realitas
yang tidak mungkin dapat dipahami melalui metode sains dan logika. Ia berada
diluar eksistensi, diluar segala nilai. Jika kita mencoba mendefinisikannya,
kita akan gagal. Yang Esa itu adalah puncak semua yang ada. Ia itu cahaya
diatas cahaya. Kita tidak mungkin mengetahui esensinya, kita hanya mengetahui
bahwa Ia itu pokok atau prinsip atau prinsip yang berada di belakang akal dan
jiwa. Ia adalah pencipta semua yang ada. Mereka yang merasa memiliki
pengetahuan keilahian juga tidak akan dapat merumuskan apa Dia sebenarnya.
The Mind (Nous), ini adalah gambaran tentang Yang Esa dan
didalamnya mengandung idea-idea Plato. Idea-idea itu merupakan bentuk asli
objek-objek. Kandungan Nous adalah benar-benar kesatuan. Agar mampu
mengerti, dilakukan perenungan mendalam.
The Soul adalah realitas ketiga dalam filsafat Plotinus. Sebagai arsitek
semua fenomena yang ada di alam ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia
dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah
energi di belakang dunia dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam
semesta. Jiwa manusia juga mempunyai dua aspek, yaitu: intelek yang tunduk pada
reinkarnasi dan irasional. Irasional ini mungkin sama dengan moral pada Kant
yang intelek itu kelihatannya sama dengan akal logis.
C.
Tujuan Filsafat Plotinus
Dari
beberapa uraian yang dijelaskan, dapat diketahui bahwa Tujuan Filsafat Plotinus
adalah tercapainya kebersatuan dengan Tuhan. Caranya adalah pertama-tama dengan
mengenal alam melalui alat indera. Dengan ini, kita akan mengenal keagungan
Tuhan, kemudian kita menuju jiwa dunia, setelah itu menuju jiwa Ilahi. Jadi,
perenungan itu dimulai dari perenungan tentang alam menuju jiwa Ilahi, objeknya
dari yang jamak menuju kepada Yang Satu.
Yang
hendak dicapai adalah prinsip realitas itu ada didalam Yang Satu. Kita dapat
mengenal itu dengan kemampuan yang ada pada kita, itu merupakan kebijaksanaan
yang ada pada kita dari Dia. Didalam kita ada sesuatu seperti Dia. Dimanapun
engkau berada, engkau berhadapan dengan ke-Adaan-Nya. Engkau merasakan Dia ada
didalam engkau. Dengan cara ini, jiwa akan sampai pada prinsip realitas.
Pada
tingkat terakhir ini tidak ada lagi keterpisahan, tidak ada lagi jarak, tidak
ada lagi kesadaran tentang ruang dan waktu, tidak ada lagi kesadaran tentang
kejamakan, keadaan itu mengatasi semua kategori. Itu suatu keadaan yang jarang
terjadi, bahkan Plotinus pun hanya mengalaminya beberapa kali.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat
Plotinus seringkali disebut filsafat Plato, karena banyak kemiripan didalamnya.
Akan tetapi dalam hal kesosialan, Plotinus tidak seperti Plato yang begitu
memperhatikan keadaan sosial. Karena Plotinus beranggapan bahwa filsafat tidak
dapat membangun kemanusiaan.
Ajaran
filsafat Plotinus yang paling utama adalah mengenai Yang Satu. Yang Satu disini
dia adalah sesuatu yang memang tidak akan dapat dijangkau oleh panca indera,
dan Yang Satu itu merupakan yang tidak dapat dikenal. Tetapi yang satu itu
terletak dan kita pun memilikinya didalam diri, namun kita tak dapat
mencapainya dengan begitu mudah.
Kita akan mampu mencapai Yang Satu itu ketika kita fokus
meninggalkan alam pikiran kita yang ada diruang dan waktu, yang kemudian menuju
Ilahi. Ada satu jalan yang membuat kita akan lebih mudah mencapai Yang Satu
itu, yakni dengan cara mati terlbih dahulu. Puncak dari filsafat Plotinus
adalah adanya kebersatuan dengan Tuhan. Dan dia yakin semua itu bisa dilakukan
dengan berbagai cara.
B.
Kritik dan Saran
Penulis
menyadari akan banyaknya kekurangan dalam makalah ini, baik dari ejaan
penulisan, tata kalimat, tata bahasa maupun yang lainnya. Tetapi setidaknya
penulis telah berusaha menguraikan maksud filsafat Plotinus. Oleh karena banyaknya kekurangan dalam makalah ini, penulis
mengharapkan adanya wujud apresiasi pembaca untuk memberikan koreksi dan
masukkan agar penulis mampu memperbaikinya dan tidak melakukan kesalahan sama
untuk yang kedua kalinya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad. 2008. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2010. Filsafat Umum. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
0 comments:
Posting Komentar