Sumber Ajaran Islam: Ijtihad



PENDAHULUAN
Sumber ajaran Islam sebenarnya secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijtihad. Al-Qur`an merupakan sumber ajaran Islam pertama, yang mengandung banyak pelajaran baik berupa perintah ataupun larangan. Namun, hal utama yang menjadikan Al-Qur`an sebagai sumber ajaran Islam pertama adalah isinya, yang merupakan firman-firman Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan oleh Ash-Shabuuniiy bahwa Al-Qur`an adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupkan suatu ibadah.[1]
Sedangkan As-Sunnah sebagaimana sudah maklum diketahui adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik ketika beliau belum diangkat menjadi Rasul ataupun ketika sudah menjadi Rasul, yang terkait dengan perkatanya, perbuatannya dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW itu sendiri. As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur`an.
Adapun sumber ajaran Islam yang ketiga adalah Ijtihad. Maka, karena termasuk ke dalam sumber ajaran Islam, yang membuat harus diketahui oleh seluruh kaum muslimin, terutama lagi bagi calon pendidik dalam pendidikan Islam, sekiranya penting dan sangat urgen apabila penulis mencoba menguraikannya dalam bentuk makalah ini terkait dengan apa dan bagaimana Ijtihad itu?


BAB I
SEJARAH IJTIHAD
A.  Ijtihad Nabi Muhammad SAW
Pembahasan Ijtihad Rasulullah di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara umum, ulama menyepakati Ijtihad Rasul dalam urusan-urusan kemaslahatan yang bersifat keduniawian (al mashalih al dunyawiyah), pengaturan taktik dan strategi peperangan (tadabir al hurub) dan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan persengketaan (al aqdhiyah wa al khushumah). Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai Ijtihad Rasul dalam urusan hukum-hukum agama (al ahkam al syari`ah).
Dalam menanggapi boleh tidaknya Rasul ber-Ijtihad dalam urusan hukum-hukum agama, ulama berbeda pendapat. Pertama, kebanyakan para ahli fiqh membolehkan. Menurut mereka, ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Kedua, para pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa Rasulullah diperintahkan untuk ber-Ijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan suatu peristiwa yang terjadi dan beliau mengkhwatirkan perintah itu lenyap begitu saja. Ketiga, kebanyakan pengikut Asya`riyah, ahli kalam dan kebanyakan pengikut Mu`tazilah tidak menyetujui Ijtihad Rasulullah dalam urusan-urusan agama.[2]  
B.  Ijtihad Para Sahabat Nabi Muhammad SAW
Berdasarkan satu riwayat, ketika Abu Bakar menerima pengaduan dan beliau tidak menjumpai keterangan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk memutuskan masalah mereka, maka beliau mengumpulkan tokoh-tokoh umat Islam dan kaum terpilih untuk diajak musyawarah. Kemudian, jika mereka sepakat terhadap yang dihadapi, maka mereka melaksanakan kesepakatan itu.
Langkah tersebut juga dilakukan oleh Umar bin Khattab. Suatu hal yang tak dapat diragukan bahwa tokoh-tokoh dan ulama-ulama terpilih yang dikumpulkan Abu Bakar itu bukannya tokoh-tokoh dari seluruh umat Islam. Sebab, ada di antara tokoh-tokoh tersebut yang berada di negeri Makkah, Syam, Yaman dan medan perjuangan lainnya.
Riwayat tersebut menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah seorang hakim yang paling adil. Sehingga ia memperhatikan pendapat para mujtahid dari kalangan sahabat di berbagai negara, bahkan melaksanakan kesepakatan mujtahid yang pendapatnya mendekatu kebenaran dibanding pendapat perorangan.
Umar juga melakukan upaya seperti itu, yang oleh para fuqaha dinyatakan sebagai Ijma`. Dan pada dasarnya merupakan kesepakatan pembentukan hukum Islam yang dilakukan secara berjamaah bukan perorangan.[3]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa Ijtihad sudah pernah dilakukan oleh para sahabat juga. Sikap berani untuk melakukan Ijtihad harus disertai iman kepada Allah, supaya hasil Ijtihad yang diusahakan bukan berasal dari nafsu melainkan pertimbangan nash dan keilmuan. Dan hal seperti ini dilakukan oleh para sahabat Rasul terdahulu.

C.  Ijtihad Setelah Masa Sahabat
Dalam sejarahnya, Ijtihad pada masa setelah sahabat Rasulullah SAW yang empat yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sudah mulai agak jauh dari para pendahulunya. Misalnya tentang Ijma`, setelah masa sahabat dan permulaan masa Bani Umayyah di Andalusia, ketika itu dibentuk lembaga ulama kira-kira abad 2 H., yang bertugas membicarakan pembentukan hukum Islam. Oleh karenanya, banyak masalah-masalah yang disebutkan sebagian ulama Andalusia yang merupakan hasil muyawarah para ulama.
Setelah periode sahabat, kecuali di masa Bani Umayyah di Andalusia, belum terbentuk Ijma` yang dilakukan oleh para mujtahid di dalam pembentukan hukum Islam. Di samping itu, hukum Islam juga tidak dihasilkan oleh jama`ah. Malahan mujtahid-mujtahid itu melakukan Ijtihad secara perorangan di negeri atau sekitarnya masing-masing. Dengan demikian, pembentukan hukum Islam menjadi bersifat perorangan dan tidak terbentuk karena musyawarah. Sebagai akibatnya, terkadang terjadi kesepakatan, terkadang juga justru terjadi perselisihan. Kemudian, seorang Faqih akan mengatakan, “masalah hukum ini ada yang menolaknya.[4]
Demikianlah sejarah mencatat bahwa penerapan Ijma` pada masa sahabat dan setelah masa sahabat sudah mulai terjadi perbedaan. Namun, untuk memperjelas bahwa aplikasi Ijma` seperti di atas, akan sah apabila memenuhi kriteria mujtahid sebagaimana yang sudah dituliskan sebelumnya.  
 
BAB II
KONSEP IJTIHAD
A.  Pengertian Ijtihad
Dewasa ini banyak sekali bermunculan para mujtahid baru yang berkontribusi banyak dalam memberikan satu buah pemikiran yang dapat digunakan sebagai sumber ajaran Islam. Namun, tentulah tidak semua orang akan sanggup dan bisa menjadi seseorang yang dimaksud ini. Sebab, perbedaan pemahaman dan pendalaman ilmu menjadi tolok ukur seseorang boleh menjadi seorang mujtahid. Hasil pemikiran dari para mujtahid itu di dalam Islam disebut Ijtihad.
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Sebagaimana dalam Al-Qur`an disebutkan:
  وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ...... …….
Artinya: “…… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan ……..” (Q.S. At-Taubah: 79).
Kata al-jahd menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah Nabi Muhammad SAW mengungkapkan:
صَلُّوْا عَلَيَّ وَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ
Artinya: “Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdo`a.”
Kemudian sabda Nabi Muhammad SAW., dari Aisyah bahwa:
قَالَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ
Artinya: “Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir (bulan puasa) yang berbeda dengan hari yang lainnya.”
Ijtihad adalah mashdar dari fi`il madzi yaitu Ijtihada. Penambahan hamzah dan ta` pada kata ja-ha-da menjadi Ijtihada pada wajan if-ta-a`-la berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba yang berarti usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Oleh sebab itu, Ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus` atau badzl al-wus`). Dengan demikian, Ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut Ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra`y atau at-tafkir.[5]
Namun demikian ada beberapa ulama yang memberikan definisi secara etimologi tidak sebagaimana yang sudah diuraikan di atas. Mereka adalah Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali Al-Muqri Al-Fayumi dan Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Asy-Syawkani, yang mengatakan bahwa pengerahan kemampuan dalam rangka menyelesaikan pekerjaan atau persoalan disebut Ijtihad, tanpa mempertimbangkan kualitas (berat atau ringan) pekerjaan yang dilakukan atau persoalan yang diselesaikan.[6]
Akan tetapi, untuk mempertegas penjelasan penulis tentang definisi Ijtihad secara etimologi tanpa bermaksud membandingkan. Berdasarkan uraian-uraian di atas terkait dengan definisi Ijtihad secara etimologi dapat dipahami bahwa Ijtihad adalah pekerjaan yang di luar dari biasa dan termasuk pekerjaan berat sehingga membutuhkan kesungguhan.
Adapun mengenai pengertian Ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa sahabat. Sehingga bukan hanya banyak perbedaan dalam memberikan definisi Ijtihad secara bahas di kalangan ulama, tetapi juga banyak terjadi perbedaan mengenai definisi Ijtihad secara istilah. Berikut ini beberapa definisi Ijtihad secara istilah yang berhasil didapatkan.
1.    Menurut Abu Zahrah definisi Ijtihad secara istilah adalah:
بَذْلُ الْفَقِيْهِ وُسْعَهُ فِي اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Artinya: “Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.”[7]
2.    Al-Amidi dalam al-ihkam fi al-ushul al-ahkam, yang dikutip oleh Khoriyah menjelaskan bahwa Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya.[8]
3.    Menurut ulama Hanafiah, Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan atau persoalan dalam berbagai bidang.[9]
Dari beberapa definisi Ijtihad secara istilah yang sudah diuraikan di atas, dapat dipahami bahwa Ijtihad merupakan aktivitas berpikir yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa, karena merupakan keluar biasaan, sehingga membutuhkan tingkat keilmuan yang tinggi dalam mendapatkan satu buah hasil pemikiran yang tidak bertentangan dengan nash dan berguna bagi kemaslahatan umum.
B.  Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad dalam Islam
Beberapa ulama sepakat bahwa Ijtihad itu hanya berlaku dalam bidang fikih saja. Oleh karena itu, menurut ulama fikih, Ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan tassawuf. Hal ini dikarenakan Ijtihad itu berkenaan dengan dalil zhanni, sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qath`i. Namun, menurut Harun Nasution, Ijtihad dalam lapangan fikih hanya dalam pengertian sempit saja. Sebab dalam arti luas, menurutnya Ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tassawuf dan filsafat.[10]
Terlepas dari uraian di atas, pada dasarnya Ijtihad dalam Islam jelas dasar hukumnya. Kejelasan itu ditunjukkan dengan adanya rujukan yang menjelaskan tentang Ijtihad ini, sehingga bisa memberikan satu keputusan tentang hukum Ijtihad. Adapun banyaknya perbedaan mengenai hukum Ijtihad bukanlah menjadi persoalan. Pada akhirnya, usaha mengoptimalkan akal manusia untuk mengabdi kepada Allah adalah sama, yakni berusaha mendalam mencari solusi dari setiap peristiwa baru agar sesuai dengan ketentuan Islam.


1.    Dasar Hukum Ijtihad
Ada dua sumber utama terkait dengan penjelasan tentang Ijtihad, yaitu:
a.    Al-Qur`an
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا [٤:١٠٥]
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. An-Nisa: 105).[11]
b.    As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
Artinya: “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila salah, maka ia mendapat satu pahala.”
Dan hadits Mu`adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِمُعَادٍ: بِمَ تَقْضِى؟ قَالَ: بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِى بِمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي. قَالَ: الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَفَقَّ رَسُوْلَ رَسُوْلِهِ.
Artinya: “Rasulullah SAW bertanya, dengan apa kamu menghukumi?, Ia menjawab, dengan apa yang ada di dalam Kitab Allah. Bertanya Rasulullah, jika kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Dia menjawab, aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah. Rasul bertanya lagi, jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Mu`adz, aku ber-Ijtihad dengan pendapatku. Rasulullah bersabda, Alhamdulillah, yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.”[12]
2.    Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara`, maka hukum Ijtihad bagi orang itu bias wajib `ain, wajib kifayah, sunnah atau bahkan haram. Ini bergantung kepada kapasitas orang tersebut. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a.    Wajib `ain, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nash.
b.    Wajib kifayah, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya.
c.    Sunnah, yaitu apabila dilakukan pada persoalan-persoalan yang tidak atau belum terjadi.
d.   Haram, yaitu apabila dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas hukumnya secara qath`i, baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah atau bahkan atas persoalan-persoalan yang sudah ada hasil Ijma` para ulama.[13]
Menjadi jelas apa hukum Ijtihad dalam Islam. Sebab Ijtihad merupakan satu aktifitas yang memang disebabkan masalah baru banyak bermunculan di dalam kehidupan sehari-hari, dan ini yang membuat para ulama mengerahkan segenap kemampuannya dalam memberikan pendapat terhadap peristiwa yang terjadi.
C.  Syarat-Syarat Mujtahid
Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan memang sudah menjadi kewajiban bagi para ulama untuk dapat memperhatikannya secara seksama. Sebab kaum muslimin tidak bisa hidup bebas layaknya burung yang dilepas dari kandang, melainkan senantiasa terikat dengan aturan agar dapat menjadi makhluk yang seimbang.
Peristiwa-peristiwa dan medan yang menjadi perhatian penting bagi ulama untuk dicarikan hasil hukum melalui Ijtihad adalah sebagai berikut:
1.    Masalah-masalah baru, yang hukumnya belum ditegaskan dalam Al-Qur`an atau As-Sunnah secara jelas.
2.    Masalah-masalah baru, yang hukumnya belum diijma`i oleh para ulama atau aimmatul mujtahidin.
3.    Nash-nash zhanni dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4.    Hukum Islam yang ma`qulu `l-ma`na/ta`aqquly (kausalitas hukumnya/`illat-nya dapat diketahui mujtahid).[14]
Maka, jelas tida semua peristiwa atau persoalan dapat dilakukan Ijtihad di dalamnya, melainkan persoalan-persoalan tertentu yang telah diuraikan di atas.
Namun, tidak semua ulama dapat dengan mudah mengeluarkan Ijtihadnya, sebab harus memenuhi terlebih dahulu kriteria mujtahid menurut Islam. Adapun mengenai kualifikasi atau syarat-syarat mujtahid itu sendiri diuraikan oleh Khoiriyah sebagai berikut:
1.    Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah hukum. Dalam arti, membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.    Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Nabi SAW yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.    Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar dalam menentukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’.
4.    Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas dan dapat mempergunakannya dalam istinbath hukum.
5.    Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar teentang hukum dan sanggup mempertahankannya.
6.    Menguasai bahasa arab secara mendalam, sebab Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai sumber asal hukum Islam yang tersusun dalam gaya bahasa arab yang sangat tinggi. Di dalam ketinggian gaya bahasa inilah, antara lain terletak segi kemukjizatan Al-Qur`an.
7.    Mengetahui mendalam tentang nasakh-mansukh dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah agar dalam menggali hukum tidak menggunakan ayat Al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah dinasakh (hapus).
8.    Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabul nuzul) dan sebab-sebab keluarnya hadits (asbabul wurud) agar dapat menggali hukum secara tepat.
9.    Mengetahui sejarah para perawi hadits, agar dapat menilai suatu hadits apakah diterima atau ditolak. Penentuan derajat atau penilaian suatu hadits bergantung sekali pada ihwal suatu perawi, yang lazim disebut sanad. Tanpa menngetahui sejarah para perawi hadits tidak mungkin ta’dil dan tarjih dapat dilakukan.
10.     Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqh) sehingga mampu mengolah dan menganalisis dalil-dalil hukum untuk menghasilkan sebuah hukum suatu permasalahn yang akan digali hukumnya.[15]

D.  Klasifikasi Mujtahid
Setelah mengetahui kualifikasi mujtahid, selanjutnya adalah uraian tentang tingkatan mujtahid. Menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah, tingkatan tersebut terbagi menjadi:
1.    Mujtahid Mustaqil
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fikihnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2.    Mujtahid Mutlhaq Ghoiru Mustaqil
Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil. Namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib, tidak mustaqil. Tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3.    Mujtahid Muqayad / Mujtahid Takhrij
Adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukkan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Mujtahid semacam ini misalanya, Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki dan Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi`i.
4.    Mujtahid Tarjih
Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu`, mujtahid ini sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana mencari dalil yang lebih kuat dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Mujtahid ini misalnya, Al-Qaduri dan pengarang Kitab Al-Hidayah dari madzhab Syafi`i.
5.    Mujtahid Fatwa
Adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu keputusan berdasarkan dalil dan lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam madzzhab tersebut.[16]

BAB III
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A.  Produk-Produk Ijtihad
Aktivitas para ulama dalam menggali hukum untuk menetapkan hukum suatu kejadian dilakukan dengan banyak cara. Dalam pandangan ulama ushul setidaknya ada 9 cara atau metode Ijtihad yang bisa digunakan, metode-metode Ijtihad yang dimaksud yaitu:
1.    Ijma`
Kata ijma’ berasal dari kata jama’a yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai makna yaitu menyusun dan mengatur suatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan hasil ijma` ini contohnya adalah permasalahan KB (Keluarga Berencana) yang merupakan hasil kesepakatan ulama (dalam Majelis Ulama Indonesia) di Indonesia.[17]
Definisi ijma` menurut ulama ushul sebagai berikut:
الإِجْمَاعُ فِي اِصْطِلَاحِ الْأُصُوْلِيِّيْنَ: هُوَ إِتِّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ عَصْرٍ مِنَ الْعُصُوْرِ بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُوْلِ ص.م. عَلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ فِيْ وَاقِعَةٍ.[18]
Artinya: “Ijma` dalam istilah ushul ialah kesepakatan para imam mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian.”[19]
Dari definisi di atas, dapat dipahami beberapa hal tentang ijma` yaitu:
a.    Terdapat beberapa mujtahid karena kesepakatan baru terjadi apabila ada beberapa mujtahid.
b.    Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatan, perkataan maupun fatwa.
c.    Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidak disebut ijma`.[20]
Adapun mengenai kehujjahan ijma`, dijelaskan sebagai berikut:
a.    Allah SWT memerintahkan di dalam Al-Qur`an untuk taat kepada ulil amri di antara umat Islam, sebagaimana perintah kepada kaum beriman untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa: 59).[21]
Lafazh al-amr berarti perkara atau kejadian. Lafazh tersebut umum, bisa menyangkut masalah agama dan dunia. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, pemimpin dan penguasa. Ulil amri dalam kaitannya dengan urusan agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa.
Beberapa ulama tafsir, terutama Ibnu Abbad menafsirkan kata ulil amri pada ayat tersebut sebagai ulama. Ulama tafsir lain menafsirkan umara’ dan penguasa. Namun demikian, penafsiran kata tersebut meliputi semuanya, termasuk kewajiban taat bagi semua kelompok yang menafsirkan tentang berbagai masalah yang harus ditaati. Karenanya, jika ulil amri dalam hal ini adalah mujtahidin telah sepakat mengadakan ijma’ terhadap suatu hukum, maka wajib diikuti  dan dilaksanakan hukumnya itu berdasarkan al-Quran.
b.    Semua hukum yang telah disepakati para mujtahid umat Islam, pada dasarnya merupakan hukum umat Islam yang diolah oleh para mujtahid. Dalam hal ini, terdapat hadits Rasulullah dan beberapa atsar sahabat, bahwa umat akan terpelihara dari kesalahan. Sabda Nabi SAW yang dimaksud yaitu:
لاَ تَجْتَمِعُ أُمَّتِيْ عَلَى خَطَإٍ
Artinya: “Umatku tidak akan berkumpul melakukan kesalahan.”
Atau sabda Nabi SAW berikut ini.
لَمْ يَكُنِ اللهُ لِيَجْمَعَ أُمَّتِيْ عَلَى الضَّلاَلَةِ
Artinya: “Allah tidak akan mengumpulkan umatku untuk berbuat kesalahan.”
c.    Bahwa ijma` terhadap hukum syara’ itu harus didirikan pada landasan umum syara’, karena mujtahid itu mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Jika di dalam melakukan Ijtihad mengenai hal-hal yang tidak ada nash, maka Ijtihadnya tidak diperkenankan melanggar batas-batas di dalam memahami nash dan dalil. Jika pada suatu kejadian tidak terdapat nash, maka Ijtihad tidak dapat dilakukan dengan melanggar batas pengambilan hukum walaupun dengan jalan qiyas terhadap hukum yang terdapat nash-nya atau dengan menerapkan kaidah-kaidah syar’iyah dan prinsip-prinsip umumnya, atau dengan jalan mengambil dalil-dalil yang ditetapkan syari’ah seperti Istihsan, Istishab, ‘Uruf, atau Maslahah Mursalah.
Adapun macam-macam ijma` ditinjau dari segi melakukan Ijtihad, terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.    Ijma’ sharih, kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
b.    Ijma’ sukuti, sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuainnya atau perbedaannya.[22]
2.    Qiyas
Qiyas (analogi) mempunyai makna asli yaitu mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan membandingkan sesuatu. Secara istilah, qiyas adalah menentukan suatu hukum berdasarkan hukum yang sudah ada karena persamaan illat (motivasi hukum).[23]
Definisi qiyas menurut ulama ushul sebagai berikut:
الْقِيَاسُ فِي اِصْطِلَاحِ الْأُصُوْلِيِّيْنَ: هُوَ إِلْحَاقٌ وَاقِعَةٌ لاَ نَصَّ عَلَى حُكْمِهَا بِوَاقِعَةٍ وَرَدَ نَصٌّ بِحُكْمِهَا  فِيْ الْحُكْمِ الَّذِي وَرَدَ بِهِ النّصُّ.[24]
Artinya: “Menurut ulama ushul, al-qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.”
Berikut ini contoh qiyas yaitu masalah minuman khamr, yang merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah jelas ditetapkan dalam nash. Hukumnya adalah haram, berdasarkan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [٥:٩٠]
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. Al-Ma`idah: 90).[25]
Dalam ayat tersebut, ada illat memabukkan. Oleh karena itu, setiap minuman yang terdapat illat memabukkan, hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya. Adapun rukun-rukun qiyas sebagai berikut:
a.    Al-Ashl, ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash, biasa disebut sebagai maqis ‘alaih (yang dipakai sebagai ukuran), atau mahmul ‘alaih (yang dipakai sebagai tanggungan), atau musyabbah bih (yang dipakai sebagai penyerupaan).
b.    Al-Far’u, ialah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat di dalam nash, dan hukumnya disamakan kepada Al-Ashl. Al-Far’u ini biasa disebut sebagai al-maqis (yang diukur) atau al-mahmul (yang dibawa) atau musyabbah (yang disamakan).
c.    Hukmul Ashl, ialah hukum syara’ yang terdapat nash-nya menurut Al-Ashl, dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (Al-Far’u).
d.   Al-Illat, ialah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl (asal), kemudian cabang (Al-Far`u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.[26]
3.    Istihsan
Istihsan adalah menjelaskan keputusan pribadi, yang tidak didasarkan atas qiyas, melainkan didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan.[27] Adapun definisi menurut ulama ushul, yaitu:
الإِسْتِحْسَانُ فِي اِصْطِلَاحِ الْأُصُوْلِيِّيْنَ: هُوَ عَدُوْلُ الْمُجْتَهِدُ عَنْ مُقْتَضَى قِيَاسٍ جَلِيٍّ إِلَى مُقْتَضَى قِيَاسٍ خَفِيٍّ, أَوْ عَنْ حُكْمٍ كُلِّيٍّ إِلَى حُكْمٍ إسْتِثْنَائِيٍّ لِدلِيْلٍ إِنْقَدَحَ فِيْ عَقْلِهِ رَجَّهَ لَدَيْهِ هذَا الْعَدُوْلُ.[28]
Artinya: “Menurut istilah ulama ushul, Istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas ajli (nyata) kepada qiyas kahfi (samar), atau dari dalil qully kepada hukum takhshish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan perpindahan hukum.”[29]
Contoh Istihsan adalah sikap yang ditunjukkan oleh Umar bin Khattab terhadap orang yang mencuri pada saat musim paceklik, dengan tidak memberikan hukuman potong tangan kepadanya.[30]
4.    Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya keputusan yang dasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahah mursalah menolak mafsadat atau mengambil suatu manfaat dari suatu  perkara.[31] Adapun definisi menurut ulama ushul tentang maslahah mursalah, yaitu:
المصلحة المرسلة فِي اِصْطِلَاحِ الْأُصُوْلِيِّيْنَ: المصْلَحَةُ الَّتِي لَمْ يَشْرَعْ الشَّارِعُ حُكْمًا لِتَحْقِيْقِهَا, وَ لَمْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ عَلَى إِعْتِبَارِهَا أَوْ إِلغَائِهَا. وَسُمِيَتْ مُطْلَقَةً لِأَنَّهَا لَمْ تُقَيِّدْ بِدَلِيْلٍ إِعْتِبَارٍ أَوْ إلْغَاءٍ.[32]
Artinya: “Menurut istilah ahli ushul, maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan.”[33]
Contohnya adalah dalam ketentuan khamr dan judi terdapat manfaat, tetapi bahanya lebih besar dari pada manfaatnya. Suatu masalah yang mengandung maslahat dan mafsadat, maka didahulukan menolak mafsadat.[34]
5.    `Urf
Definisi `urf menurut ulama ushul, yaitu:
العُرْفُ هُوَ مَا تَعَارَفُهُ النَّاسُ وَ سَارُوْ عَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَرْكٍ أوْ يُسَمَّى الْعادَةُ.[35]
Artinya: “`Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat.”[36]
Menurut ahli syara, `urf bermakna adat. Dengan kata lain `urf dan adat itu tidak ada perbedaan. `Urf tentang perbuatan manusia, misalnya jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk `urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad yang lafazh tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan wanita. Juga pengertian tentang kata al-lahmu yang tidak termasuk di dalamnya as-samak (ikan). Dengan kata lain `urf itu merupakan saling pengertian manusia terhadap tingkatan mereka yang berbeda, tentang keumuman dan kekhususannya. Dalam hal ini memang sangat berbeda dengan ijma`. Sebab, ijma` merupakan kebiasaan kesepakatan para mujtahid baik yang bersifat khusus atau umum dan tidak menciptakan adanya `urf.
Dalam kenyataannya `urf terbagi menjadi dua, yaitu:
a.    `Urf Shahih yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia dan tidak berlawanan dengan dalil syara`, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Misalnya, manusia saling mengerti tentang jual beli yang tidak perlu menyebutkan sighatnya. Hukumnya, boleh dan perlu dilestarikan.
b.    `Urf Fasid segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan hukum syara` atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Misalnya, manusia saling mengerti dalam melakukan hal yang negative, seperti saling mengerti tentang perjanjian perjudian, hubungan riba dan sebagainya. Hukumnya, jelas haram dan tidak boleh dilestarikan.[37]
6.    Istishhab
Definisi Istishhab menurut ulama ushul, yaitu:
الإِسْتِصْحَابُ فِي اِصْطِلَاحِ الْأُصُوْلِيِّيْنَ: هُوَ الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ بِالْحَالِ الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا مِنْ قَبْلُ حَتَّى يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى تَغَيِّرِ تِلْكَ الْحَالُ أَوْ هُوَ جَعَلَ الْحُكْمُ الَّذِي كَانَ ثَابِتًا فِي الْمَاضِى بَاقِيًا فِي الْحَالِ حَتَّى يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى تَغَيِّرِهِ.[38]
Artinya: “Menurut istilah ulama ushul, Istishhab ialah menetapkan sesuatu keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu. Atau menetapkan berdasarkan hukum yang ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan, hingga terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.”[39]
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka hukumnya adalah boleh. Demikian juga apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara`, maka hukumnya adalah boleh. Hal ini sesuai dengan kaidah:
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ أَلإِبَاحَةُ.
Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.”[40]
7.    Syar`u Man Qablana
Syar`u Man Qablana adalah syari`at-syari’at yang telah diberlakukan pada masa para Nabi terdahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW.[41] Apabila Al-Qur`an dan As-Sunnah yang benar itu mengisahkan syari’at atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita melalui utusan-Nya, dan juga dalam nash ditetapkan sebagai syari’at seperti utusan-Nya, dan juga dalam nash ditetapkan sebagai syari’at itu merupakan syari’at dan undang-undang yang wajib ditaati dengan menetapkan sebagai syari’at.
Misalnya firman Allah SWT sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [٢:١٨٣]
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqarah: 183).[42]
Jumhur ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah serta sebagian ulama Syafi`iyah mengatakan bahwa hukum itu sebagai syari`at untuk kita dan kita berkewajiban mengikuti dan melaksanakan, karena hukum itu telah dikisahkan kepada kita dan tidak ada syari`at yang menghapuskannya.
Contoh lain mengenai syari`at yang diberlakukan dari masa sebelumnya sampai berlaku untuk yang sekarang adalah sebagai berikut:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ [٤٢:١٣]
Artinya: “Dia (Allah) telah mensyari`atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketaqwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang yang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada agamanya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).” (Q.S. Asy-Syura: 13).[43]
8.    Madzhab Shahabi
Sepeninggalan Rasulullah SAW., maka pemberi fatwa dan pembentukan hukum-hukum Islam untuk kepentingan umat Islam adalah para sahabat yang benar-benar sudah lekat dengan fiqh dan ilmu agama serta karena akrabnya mereka dengan Rasulullah dalam pergaulan sehingga mampu memahami Al-Qur`an dan hukum-hukumnya.
Menurut Imam Syafi’i, beliau tidak melihat pendapat seorang sahabat tertentu yang dipakai sebagai hujjah. Imam Syafi’i membolehkan pendapat para sahabat secara keseluruhan serta membolehkan menolak pendapat para sahabat secara keseluruhan serta melakukan Ijtihad untuk mengistinbatkan hukum. Hal ini dikarenakan pendapat mereka juga merupakan Ijtihad secara individual yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak ma’shum. Karena Imam Syafi’i menyatakan bahwa tidak diperkenankan memberi hukum atau fatwa melainkan berdasarkan berita yang benar, yang datang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, atau apa-apa yang disepakati ahli ilmu yang tidak berbeda, atau berqias dalam sebagiannya.[44]
9.    Sadd Adz-Dzari`ah
Sebelum menjelaskan apa itu sadd adz-dzari`ah, terlebih dahulu perlu diurai tentang dzari`ah itu sendiri. Pengertian dzari`ah ditinjau dari segi bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari`ah dengan “sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan”.
Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari`ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, melainkan ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari`ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sad adz-dzari`ah (yang dilarang) dan fath adz-dzari`ah (yang dianjurkan).
Adapun pengertian sad adz-dzari`ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah:
التَّوَصُّلُ بِمَا هُوَ مَصْلَحَةٌ إِلَى مَفْسَدَةٍ
Artinya: “Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).”
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sad adz-dzari`ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan sesuatu kerusakan. Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apapun)[45] dalam syari`at Islam merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindar dari kewajiban zakat, maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa hukum zakat adalah wajib, sedangkah hibah adalah sunnah.[46]
B.  Ijtihad Sebagai Sumber Dinamika
Dewasa ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian yang seksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas ditunjukkan oleh nash. Selain itu, tantangan umat sekarang ada dua macam, taqlid kepada barat dan taqlid kepada masa lalu. Taqlid kepada barat muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara modernisasi dan cara hidup barat. Sedangkan taqlid kepada masa lalu muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara syari`a yang merupakan wahyu dan pandangan fuqaha masa lalu tentang syari`at itu.
Melihat persoalan-persoalan di atas, umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu, yaitu dengan melakukan Ijtihad. Oleh karena itu, Ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal berikut.
1.    Jarak antara kita dengan masa tasyri semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan terlupakannya beberapa nash, khususnya dalam As-Sunnah, yaitu masuknya hadits-hadits palsu dan perubahan pemahaman terhadap nash. Oleh karena itu, para mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh menggali ajaran Islam yang sebenarnya melalui kerja Ijtihad.
2.    Syari`at disampaikan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah secara komprehensif memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Di dalamnya terdapat yang `am dan khas, muthlaq dan muqayad, muhkamat dan mutasyabihat, nasikh dan mansukh serta yang lainnya yang memerlukan penjelasan para mujtahid.
Dilihat dari fungsinya, Ijtihad berperan sebagai penyalur kreatifitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Disamping itu, Ijtihad pun memberi tafsiran kembali atas perundang-undangan yang sifatnya sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku pada masanya dengan tidak melanggar prinsip-prinsip umum, dalil-dalil kully dan muqasid al-syari`ah yang merupakan aturan-aturan pengaruh dalam hidup.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud dan zhanni ad-dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil tersebut merupakan kerja Ijtihad dalam rangka menyelesaikan persoalan kehidupan manusia yang senantiasa berubah dalam nuansa perkembangan. Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos kejumudan dan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajaran Islam, mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad juga saksi bagi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya (ya`lu walaa yu`la `alaihi).[47]
Salah satu tokoh pembaharu dalam Islam yakni Muhammad Iqbal yang mengajarkan dinamisme mengatakan bahwa Al-Qur`an senantiasa mengajarkan pemakaian akal terhadap tanda-tanda alam, seperti matahari, bulan, pertukaran siang dan malam dan sebagainya. Orang yang tidak peduli untuk memperhatikan gejala alam ini akan buta terhadap masa depan.
Konsep Islam mengenai ilmu adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Pergantian kemajuan bangsa dan kemundurannya dibuat oleh Tuhan. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya pergerakan dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Prinsip yang dipakai dalam persoalan gerak dan perubahan ialah Ijtihad. Ijtihad, menurutnya mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam. Paham dinamismenya ia simpulkan dalam kata-kata sederhananya yaitu Kafir yang aktif lebih baik daripada Muslim yang suka tidur.[48]
Menurut hemat penulis sendiri, Islam sebenarnya merupakan agama dinamis yang menuntut umatnya untuk senantiasa hidup maju dan berkembang. Maka, untuk mencapai kemajuan yang dimaksud umat Islam harus keluar dari kemelut taqlid dan harus melakukan perubahan besar dalam bingkai Islam. Hal tersebut dapat dilakukan dengan jalan Ijtihad. Akan tetapi, tentu saja akan dapat dilaksanakan apabila memenuhi kriteria mujtahid yang sudah dijelaskan di atas.

BAB IV
KESIMPULAN
بَذْلُ الْفَقِيْهِ وُسْعَهُ فِي اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Artinya: “Upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.” Demikianlah definisi Ijtihad menurut para fuqaha.
Sumber hukum Ijtihad, diantaranya:
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا [٤:١٠٥]
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. An-Nisa: 105).
Hukum Ijtihad, sebagai berikut:
a.    Wajib `ain
b.    Wajib kifayah
c.    Sunnah
d.   Haram
Syarat-Syarat Mujtahid, sebagai berikut:
a.         Penguasaan Ilmu Al-Qur`an
b.        Penguasaan Ilmu Hadits
c.         Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar dalam menentukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’
d.        Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas dan dapat mempergunakannya dalam istinbath hukum
e.         Mengetahui ilmu logika
f.         Menguasai bahasa arab secara mendalam
g.        Mengetahui mendalam tentang nasakh-mansukh dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah agar dalam menggali hukum tidak menggunakan ayat Al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah dinasakh (hapus)
h.        Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbabul nuzul) dan sebab-sebab keluarnya hadits (asbabul wurud)
i.          Mengetahui sejarah para perawi hadits
j.          Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqh)
Adapun produk-produk Ijtihad, yaitu:
a.    Ijma`
b.    Qiyas
c.    Istihsan
d.    Maslahah Mursalah
e.    `Urf
f.      Istishhab
g.    Syar`u Man Qablana
h.    Madzhab Shahabi
i.      Sadd Adz-Dzari`ah












[1] Muhammad Ali Ash-Shabuniiy, Studi Ilmu Al-Qur`ani, Diterjemahkan oleh Aminuddin, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 15.
[2] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), Cetakan XV, hlm. 105.
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, (Jakarta: Gema Risalah Press, 1998), hlm. 89-90.
[4] Ibid., Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, hlm. 90.
[5] Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), Cetakan IV, hlm. 97-98.
[6] Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2005), hlm. 3.
[7] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Op.Cit., hlm. 97.
[8] Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 77.
[9] Jaih Mubarok, Op.Cit., hlm. 4.
[10] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Op.Cit., hlm. 97.
[11] Ahmad Hatta, Tafsir Qur`an Per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah, (Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2011), Cetakan V, hlm. 95.
[12] Rachmat Syafe`i, Op.Cit., hlm. 103.
[13] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Op.Cit., hlm. 105.
[14] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 89.
[15] Khoiriyah, Op.Cit., hlm. 79-80.
[16] Rachmat Syafe`i, Op.Cit., hlm. 108-109.
[17] Khoiriyah, Op.Cit., hlm. 81.
[18] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al-Qalam, 1978), hlm. 40.
[19] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit., hlm. 82.
[20] Syahrul Anwar, Op.Cit., hlm. 89.
[21] Ahmad Hatta, Op.Cit., hlm. 88.
[22] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit., hlm. 90-91.
[23] Khoiriyah, Op.Cit., hlm. 81.
[24] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 47.
[25] Ahmad Hatta, Op.Cit., hlm. 123.
[26] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit., hlm. 106.

[27] Khoiriyah, Op.Cit., hlm. 82.
[28] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 70.
[29] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit., hlm. 136.
[30] Khoiriyah, Op.Cit., hlm. 82.
[31] Ibid., Khoiriyah.
[32] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 74.
[33] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit., hlm. 142.
[34] Khoiriyah, Op.Cit., hlm. 82.
[35] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 79.
[36] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit., hlm. 149.
[37] Ibid., Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, hlm. 149.
[38] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 81.
[39] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit., hlm. 152.
[40] Rachmat Syafe`i, Op.Cit., hlm. 125.
[41] Khoiriyah, Op.Cit., hlm. 84.
[42] Ahmad Hatta, Op.Cit., hlm. 28.
[43] Ibid., Ahmad Hatta, hlm. 484.
[44] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit., hlm. 158.
[45] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), hlm. 326.
[46] Rachmat Syafe`i, Op.Cit., hlm. 132.
[47] Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Op.Cit., hlm. 107.
[48] Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 161.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger