PENDAHULUAN
Sumber ajaran Islam sebenarnya secara garis besar
dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) yaitu Al-Qur`an, As-Sunnah dan Ijtihad. Al-Qur`an
merupakan sumber ajaran Islam pertama, yang mengandung banyak pelajaran baik
berupa perintah ataupun larangan. Namun, hal utama yang menjadikan Al-Qur`an
sebagai sumber ajaran Islam pertama adalah isinya, yang merupakan firman-firman
Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan oleh Ash-Shabuuniiy bahwa Al-Qur`an
adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW., penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril,
dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis
dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang
banyak), serta mempelajarinya merupkan suatu ibadah.[1]
Sedangkan As-Sunnah sebagaimana sudah maklum
diketahui adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik ketika
beliau belum diangkat menjadi Rasul ataupun ketika sudah menjadi Rasul, yang
terkait dengan perkatanya, perbuatannya dan hal ihwal Nabi Muhammad SAW itu
sendiri. As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur`an.
Adapun sumber ajaran Islam yang ketiga
adalah Ijtihad. Maka, karena termasuk ke dalam sumber ajaran Islam, yang
membuat harus diketahui oleh seluruh kaum muslimin, terutama lagi bagi calon
pendidik dalam pendidikan Islam, sekiranya penting dan sangat urgen apabila
penulis mencoba menguraikannya dalam bentuk makalah ini terkait dengan apa dan
bagaimana Ijtihad itu?
BAB I
SEJARAH IJTIHAD
A.
Ijtihad Nabi Muhammad
SAW
Pembahasan Ijtihad Rasulullah
di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara umum,
ulama menyepakati Ijtihad Rasul dalam urusan-urusan kemaslahatan yang
bersifat keduniawian (al mashalih al dunyawiyah), pengaturan taktik dan
strategi peperangan (tadabir al hurub) dan keputusan-keputusan yang
berhubungan dengan persengketaan (al aqdhiyah wa al khushumah). Akan
tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai Ijtihad Rasul dalam urusan
hukum-hukum agama (al ahkam al syari`ah).
Dalam menanggapi boleh tidaknya Rasul ber-Ijtihad dalam
urusan hukum-hukum agama, ulama berbeda pendapat. Pertama, kebanyakan para ahli
fiqh membolehkan. Menurut mereka, ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Kedua, para pengikut Abu Hanifah berpendapat bahwa Rasulullah diperintahkan untuk
ber-Ijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan suatu
peristiwa yang terjadi dan beliau mengkhwatirkan perintah itu lenyap begitu
saja. Ketiga, kebanyakan pengikut Asya`riyah, ahli kalam dan kebanyakan
pengikut Mu`tazilah tidak menyetujui Ijtihad Rasulullah dalam
urusan-urusan agama.[2]
B.
Ijtihad Para Sahabat Nabi
Muhammad SAW
Berdasarkan
satu riwayat, ketika Abu Bakar menerima pengaduan dan beliau tidak menjumpai
keterangan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah untuk memutuskan masalah mereka,
maka beliau mengumpulkan tokoh-tokoh umat Islam dan kaum terpilih untuk diajak
musyawarah. Kemudian, jika mereka sepakat terhadap yang dihadapi, maka mereka
melaksanakan kesepakatan itu.
Langkah
tersebut juga dilakukan oleh Umar bin Khattab. Suatu hal yang tak dapat
diragukan bahwa tokoh-tokoh dan ulama-ulama terpilih yang dikumpulkan Abu Bakar
itu bukannya tokoh-tokoh dari seluruh umat Islam. Sebab, ada di antara
tokoh-tokoh tersebut yang berada di negeri Makkah, Syam, Yaman dan medan
perjuangan lainnya.
Riwayat
tersebut menunjukkan bahwa Abu Bakar adalah seorang hakim yang paling adil.
Sehingga ia memperhatikan pendapat para mujtahid dari kalangan sahabat di
berbagai negara, bahkan melaksanakan kesepakatan mujtahid yang pendapatnya
mendekatu kebenaran dibanding pendapat perorangan.
Umar
juga melakukan upaya seperti itu, yang oleh para fuqaha dinyatakan sebagai Ijma`.
Dan pada dasarnya merupakan kesepakatan pembentukan hukum Islam yang dilakukan
secara berjamaah bukan perorangan.[3]
Dari
uraian di atas, dapat dipahami bahwa Ijtihad sudah pernah dilakukan oleh
para sahabat juga. Sikap berani untuk melakukan Ijtihad harus disertai
iman kepada Allah, supaya hasil Ijtihad yang diusahakan bukan berasal
dari nafsu melainkan pertimbangan nash dan keilmuan. Dan hal seperti ini
dilakukan oleh para sahabat Rasul terdahulu.
C.
Ijtihad Setelah Masa
Sahabat
Dalam
sejarahnya, Ijtihad pada masa setelah sahabat Rasulullah SAW yang empat
yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali sudah mulai agak jauh dari para
pendahulunya. Misalnya tentang Ijma`, setelah masa sahabat dan permulaan
masa Bani Umayyah di Andalusia, ketika itu dibentuk lembaga ulama kira-kira
abad 2 H., yang bertugas membicarakan pembentukan hukum Islam. Oleh karenanya,
banyak masalah-masalah yang disebutkan sebagian ulama Andalusia yang merupakan
hasil muyawarah para ulama.
Setelah
periode sahabat, kecuali di masa Bani Umayyah di Andalusia, belum terbentuk Ijma`
yang dilakukan oleh para mujtahid di dalam pembentukan hukum Islam. Di
samping itu, hukum Islam juga tidak dihasilkan oleh jama`ah. Malahan
mujtahid-mujtahid itu melakukan Ijtihad secara perorangan di negeri atau
sekitarnya masing-masing. Dengan demikian, pembentukan hukum Islam menjadi
bersifat perorangan dan tidak terbentuk karena musyawarah. Sebagai akibatnya,
terkadang terjadi kesepakatan, terkadang juga justru terjadi perselisihan.
Kemudian, seorang Faqih akan mengatakan, “masalah hukum ini ada yang menolaknya.[4]
Demikianlah
sejarah mencatat bahwa penerapan Ijma` pada masa sahabat dan setelah
masa sahabat sudah mulai terjadi perbedaan. Namun, untuk memperjelas bahwa
aplikasi Ijma` seperti di atas, akan sah apabila memenuhi kriteria
mujtahid sebagaimana yang sudah dituliskan sebelumnya.
BAB II
KONSEP IJTIHAD
A.
Pengertian Ijtihad
Dewasa ini banyak sekali bermunculan para mujtahid baru
yang berkontribusi banyak dalam memberikan satu buah pemikiran yang dapat
digunakan sebagai sumber ajaran Islam. Namun, tentulah tidak semua orang akan
sanggup dan bisa menjadi seseorang yang dimaksud ini. Sebab, perbedaan
pemahaman dan pendalaman ilmu menjadi tolok ukur seseorang boleh menjadi
seorang mujtahid. Hasil pemikiran dari para mujtahid itu di dalam
Islam disebut Ijtihad.
Secara etimologi, Ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat
(kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan
dan kemampuan). Sebagaimana dalam Al-Qur`an disebutkan:
وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ...... …….
Artinya:
“…… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan ……..” (Q.S. At-Taubah: 79).
Kata al-jahd menunjukkan
pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau
disenangi. Dalam pengertian inilah Nabi Muhammad SAW mengungkapkan:
صَلُّوْا
عَلَيَّ وَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ
Artinya:
“Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdo`a.”
Kemudian
sabda Nabi Muhammad SAW., dari Aisyah bahwa:
قَالَتْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ
الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ
Artinya:
“Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersungguh-sungguh dalam beribadah pada
sepuluh hari terakhir (bulan puasa) yang berbeda dengan hari yang lainnya.”
Ijtihad adalah
mashdar dari fi`il madzi yaitu Ijtihada.
Penambahan hamzah dan ta` pada kata ja-ha-da menjadi Ijtihada pada wajan if-ta-a`-la berarti usaha itu lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya
ka-sa-ba menjadi iktasaba yang berarti usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Oleh
sebab itu, Ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus` atau badzl al-wus`). Dengan demikian, Ijtihad berarti usaha maksimal untuk
mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan
tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut Ijtihad,
melainkan daya nalar biasa, ar-ra`y atau
at-tafkir.[5]
Namun demikian ada beberapa ulama yang memberikan
definisi secara etimologi tidak sebagaimana yang sudah diuraikan di atas.
Mereka adalah Ahmad Ibn Ahmad Ibn Ali Al-Muqri Al-Fayumi dan Muhammad Ibn Ali
Ibn Muhammad Asy-Syawkani, yang mengatakan bahwa pengerahan kemampuan dalam
rangka menyelesaikan pekerjaan atau persoalan disebut Ijtihad, tanpa
mempertimbangkan kualitas (berat atau ringan) pekerjaan yang dilakukan atau
persoalan yang diselesaikan.[6]
Akan tetapi, untuk mempertegas penjelasan penulis
tentang definisi Ijtihad secara etimologi tanpa bermaksud membandingkan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas terkait dengan definisi Ijtihad secara etimologi dapat dipahami bahwa Ijtihad adalah pekerjaan yang di luar dari
biasa dan termasuk pekerjaan berat sehingga membutuhkan kesungguhan.
Adapun mengenai pengertian Ijtihad secara
istilah muncul belakangan, yaitu pada masa sahabat. Sehingga bukan hanya banyak
perbedaan dalam memberikan definisi Ijtihad secara bahas di kalangan
ulama, tetapi juga banyak terjadi perbedaan mengenai definisi Ijtihad
secara istilah. Berikut ini beberapa definisi Ijtihad secara istilah
yang berhasil didapatkan.
1. Menurut
Abu Zahrah definisi Ijtihad secara istilah adalah:
بَذْلُ
الْفَقِيْهِ وُسْعَهُ فِي اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ
أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Artinya: “Upaya
seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah
yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.”[7]
2. Al-Amidi dalam al-ihkam fi al-ushul al-ahkam, yang dikutip
oleh Khoriyah menjelaskan bahwa Ijtihad adalah mencurahkan segenap
kemampuan dalam mencari hukum-hukum syar’i yang bersifat zhanni, dalam
batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya.[8]
3. Menurut
ulama Hanafiah, Ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan atau persoalan dalam berbagai bidang.[9]
Dari
beberapa definisi Ijtihad secara istilah yang sudah diuraikan di atas,
dapat dipahami bahwa Ijtihad merupakan aktivitas berpikir yang tidak
dapat dilakukan oleh orang biasa, karena merupakan keluar biasaan, sehingga
membutuhkan tingkat keilmuan yang tinggi dalam mendapatkan satu buah hasil
pemikiran yang tidak bertentangan dengan nash dan berguna bagi kemaslahatan
umum.
B. Dasar Hukum dan Hukum Ijtihad dalam Islam
Beberapa ulama sepakat bahwa Ijtihad itu hanya
berlaku dalam bidang fikih saja. Oleh karena itu, menurut ulama fikih, Ijtihad
tidak terdapat pada ilmu kalam dan tassawuf. Hal ini
dikarenakan Ijtihad itu berkenaan dengan dalil zhanni, sedangkan
ilmu kalam menggunakan dalil qath`i. Namun, menurut Harun
Nasution, Ijtihad dalam lapangan fikih hanya dalam pengertian sempit
saja. Sebab dalam arti luas, menurutnya Ijtihad juga berlaku dalam
bidang politik, akidah, tassawuf dan filsafat.[10]
Terlepas dari uraian di atas, pada dasarnya Ijtihad
dalam Islam jelas dasar hukumnya. Kejelasan itu ditunjukkan dengan adanya
rujukan yang menjelaskan tentang Ijtihad ini, sehingga bisa memberikan
satu keputusan tentang hukum Ijtihad. Adapun banyaknya perbedaan
mengenai hukum Ijtihad bukanlah menjadi persoalan. Pada akhirnya, usaha
mengoptimalkan akal manusia untuk mengabdi kepada Allah adalah sama, yakni
berusaha mendalam mencari solusi dari setiap peristiwa baru agar sesuai dengan
ketentuan Islam.
1. Dasar
Hukum Ijtihad
Ada dua sumber utama terkait dengan penjelasan tentang
Ijtihad, yaitu:
a. Al-Qur`an
إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ خَصِيمًا [٤:١٠٥]
Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab
(Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili
antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah
engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang
yang berkhianat.” (Q.S. An-Nisa: 105).[11]
b.
As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan oleh Umar:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ
فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَ إِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ
أَجْرٌ.
Artinya: “Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan benar, maka ia
mendapat dua, dan bila salah, maka ia mendapat satu pahala.”
Dan hadits Mu`adz Ibnu Jabal ketika
Rasulullah SAW mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لِمُعَادٍ: بِمَ
تَقْضِى؟ قَالَ: بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ
اللهِ؟ قَالَ: أَقْضِى بِمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ
تَجِدْ فِيْمَا قَضَى بِهِ رَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِي. قَالَ:
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي وَفَقَّ رَسُوْلَ رَسُوْلِهِ.
Artinya: “Rasulullah SAW bertanya, dengan apa kamu menghukumi?, Ia
menjawab, dengan apa yang ada di dalam Kitab Allah. Bertanya Rasulullah, jika
kamu tidak mendapatkan dalam Kitab Allah? Dia menjawab, aku memutuskan dengan
apa yang diputuskan Rasulullah. Rasul bertanya lagi, jika tidak mendapatkan
dalam ketetapan Rasulullah? Berkata Mu`adz, aku ber-Ijtihad dengan
pendapatku. Rasulullah bersabda, Alhamdulillah, yang telah menyepakati utusan
dari Rasul-Nya.”[12]
2.
Hukum
Ijtihad
Ulama berpendapat, jika seorang
muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum syara`, maka hukum Ijtihad bagi orang
itu bias wajib `ain, wajib kifayah, sunnah atau bahkan haram.
Ini bergantung kepada kapasitas orang tersebut. Adapun penjelasannya sebagai
berikut:
a.
Wajib
`ain, yaitu bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid
yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir
peristiwa itu akan hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri
mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam nash.
b.
Wajib
kifayah, yaitu bagi seorang muslim yang
memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa hukum atas suatu peristiwa
yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap dan selain dia
masih ada mujtahid lainnya.
c.
Sunnah, yaitu apabila dilakukan pada persoalan-persoalan yang tidak atau
belum terjadi.
d.
Haram, yaitu apabila dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang sudah jelas
hukumnya secara qath`i, baik dalam Al-Qur`an maupun As-Sunnah
atau bahkan atas persoalan-persoalan yang sudah ada hasil Ijma` para
ulama.[13]
Menjadi jelas apa hukum Ijtihad dalam Islam. Sebab Ijtihad
merupakan satu aktifitas yang memang disebabkan masalah baru banyak bermunculan
di dalam kehidupan sehari-hari, dan ini yang membuat para ulama mengerahkan
segenap kemampuannya dalam memberikan pendapat terhadap peristiwa yang terjadi.
C.
Syarat-Syarat Mujtahid
Peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam kehidupan memang sudah menjadi kewajiban bagi para ulama untuk dapat
memperhatikannya secara seksama. Sebab kaum muslimin tidak bisa hidup bebas
layaknya burung yang dilepas dari kandang, melainkan senantiasa terikat dengan
aturan agar dapat menjadi makhluk yang seimbang.
Peristiwa-peristiwa dan medan yang
menjadi perhatian penting bagi ulama untuk dicarikan hasil hukum melalui Ijtihad
adalah sebagai berikut:
1.
Masalah-masalah
baru, yang hukumnya belum ditegaskan dalam Al-Qur`an atau As-Sunnah
secara jelas.
2.
Masalah-masalah
baru, yang hukumnya belum diijma`i oleh para ulama atau aimmatul mujtahidin.
3.
Nash-nash
zhanni dan dalil-dalil hukum yang
diperselisihkan.
4.
Hukum
Islam yang ma`qulu `l-ma`na/ta`aqquly (kausalitas hukumnya/`illat-nya
dapat diketahui mujtahid).[14]
Maka, jelas tida semua peristiwa
atau persoalan dapat dilakukan Ijtihad di dalamnya, melainkan
persoalan-persoalan tertentu yang telah diuraikan di atas.
Namun, tidak semua ulama dapat
dengan mudah mengeluarkan Ijtihadnya, sebab harus memenuhi terlebih
dahulu kriteria mujtahid menurut Islam. Adapun mengenai kualifikasi atau
syarat-syarat mujtahid itu sendiri diuraikan oleh Khoiriyah sebagai
berikut:
1.
Memiliki
pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan
masalah hukum. Dalam arti, membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.
Memiliki
pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Nabi SAW yang berhubungan dengan
masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadits-hadits tersebut untuk
menggali hukum.
3.
Menguasai
seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar dalam
menentukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’.
4.
Memiliki
pengetahuan yang luas tentang qiyas dan dapat mempergunakannya dalam
istinbath hukum.
5.
Mengetahui
ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar teentang hukum dan
sanggup mempertahankannya.
6.
Menguasai
bahasa arab secara mendalam, sebab Al-Qur`an dan As-Sunnah
sebagai sumber asal hukum Islam yang tersusun dalam gaya bahasa arab yang
sangat tinggi. Di dalam ketinggian gaya bahasa inilah, antara lain terletak
segi kemukjizatan Al-Qur`an.
7.
Mengetahui
mendalam tentang nasakh-mansukh dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah
agar dalam menggali hukum tidak menggunakan ayat Al-Qur`an dan As-Sunnah
yang telah dinasakh (hapus).
8.
Mengetahui
latar belakang turunnya ayat (asbabul nuzul) dan sebab-sebab keluarnya
hadits (asbabul wurud) agar dapat menggali hukum secara tepat.
9.
Mengetahui
sejarah para perawi hadits, agar dapat menilai suatu hadits apakah diterima
atau ditolak. Penentuan derajat atau penilaian suatu hadits bergantung sekali
pada ihwal suatu perawi, yang lazim disebut sanad. Tanpa
menngetahui sejarah para perawi hadits tidak mungkin ta’dil dan tarjih
dapat dilakukan.
10.
Menguasai
kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqh) sehingga mampu mengolah dan
menganalisis dalil-dalil hukum untuk menghasilkan sebuah hukum suatu
permasalahn yang akan digali hukumnya.[15]
D.
Klasifikasi Mujtahid
Setelah mengetahui kualifikasi mujtahid,
selanjutnya adalah uraian tentang tingkatan mujtahid. Menurut Imam
Nawawi Ibnu Shalah, tingkatan tersebut terbagi menjadi:
1.
Mujtahid
Mustaqil
Adalah seorang mujtahid yang
bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fikihnya
sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi,
tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2.
Mujtahid
Mutlhaq Ghoiru Mustaqil
Adalah
orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil. Namun dia tidak
menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab.
Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib, tidak mustaqil.
Tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada
imamnya, melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Di antaranya Abu
Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3.
Mujtahid
Muqayad / Mujtahid Takhrij
Adalah
mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi
kebebasan dalam menentukkan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi
tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Mujtahid semacam
ini misalanya, Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab
dari golongan Maliki dan Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi`i.
4.
Mujtahid
Tarjih
Adalah
mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij,
tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu`, mujtahid ini
sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya,
cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana mencari dalil yang
lebih kuat dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid
di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang.
Mujtahid ini misalnya, Al-Qaduri dan pengarang Kitab Al-Hidayah dari madzhab
Syafi`i.
5.
Mujtahid
Fatwa
Adalah
orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu
menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah
dalam menetapkan suatu keputusan berdasarkan dalil dan lemah dalam menetapkan
qiyas. Menurut Imam Nawawi tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung
kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai
cabang yang ada dalam madzzhab tersebut.[16]
BAB III
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A.
Produk-Produk Ijtihad
Aktivitas para ulama dalam menggali
hukum untuk menetapkan hukum suatu kejadian dilakukan dengan banyak cara. Dalam
pandangan ulama ushul setidaknya ada 9 cara atau metode Ijtihad yang
bisa digunakan, metode-metode Ijtihad yang dimaksud yaitu:
1.
Ijma`
Kata ijma’ berasal dari kata jama’a
yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai makna yaitu
menyusun dan mengatur suatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti
menetapkan dan memutuskan suatu perkara dan berarti pula sepakat atau bersatu
dalam pendapat. Persetujuan pendapat berdasarkan hasil ijma` ini contohnya
adalah permasalahan KB (Keluarga Berencana) yang merupakan hasil kesepakatan
ulama (dalam Majelis Ulama Indonesia) di Indonesia.[17]
Definisi ijma` menurut ulama ushul
sebagai berikut:
الإِجْمَاعُ فِي اِصْطِلَاحِ
الْأُصُوْلِيِّيْنَ: هُوَ إِتِّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ عَصْرٍ مِنَ الْعُصُوْرِ بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُوْلِ ص.م.
عَلَى حُكْمٍ شَرْعِيٍّ فِيْ وَاقِعَةٍ.[18]
Artinya: “Ijma` dalam istilah ushul ialah kesepakatan
para imam mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah
Rasulullah SAW wafat terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau
kejadian.”[19]
Dari definisi di atas, dapat
dipahami beberapa hal tentang ijma` yaitu:
a.
Terdapat
beberapa mujtahid karena kesepakatan baru terjadi apabila ada beberapa mujtahid.
b.
Kebulatan
pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatan, perkataan maupun fatwa.
c.
Kebulatan
pendapat orang-orang yang bukan mujtahid tidak disebut ijma`.[20]
Adapun mengenai kehujjahan ijma`,
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Allah
SWT memerintahkan di dalam Al-Qur`an untuk taat kepada ulil amri
di antara umat Islam, sebagaimana perintah kepada kaum beriman untuk taat
kepada Allah dan Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad) dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa: 59).[21]
Lafazh al-amr berarti perkara
atau kejadian. Lafazh tersebut umum, bisa menyangkut masalah agama dan dunia. Ulil
amri dalam urusan dunia adalah raja, pemimpin dan penguasa. Ulil amri
dalam kaitannya dengan urusan agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa.
Beberapa ulama tafsir, terutama Ibnu
Abbad menafsirkan kata ulil amri pada ayat tersebut sebagai ulama. Ulama
tafsir lain menafsirkan umara’ dan penguasa. Namun demikian, penafsiran
kata tersebut meliputi semuanya, termasuk kewajiban taat bagi semua kelompok
yang menafsirkan tentang berbagai masalah yang harus ditaati. Karenanya, jika ulil
amri dalam hal ini adalah mujtahidin telah sepakat mengadakan ijma’
terhadap suatu hukum, maka wajib diikuti
dan dilaksanakan hukumnya itu berdasarkan al-Quran.
b.
Semua
hukum yang telah disepakati para mujtahid umat Islam, pada dasarnya
merupakan hukum umat Islam yang diolah oleh para mujtahid. Dalam hal
ini, terdapat hadits Rasulullah dan beberapa atsar sahabat, bahwa umat
akan terpelihara dari kesalahan. Sabda Nabi SAW yang dimaksud yaitu:
لاَ
تَجْتَمِعُ أُمَّتِيْ عَلَى خَطَإٍ
Artinya:
“Umatku tidak akan berkumpul melakukan kesalahan.”
Atau
sabda Nabi SAW berikut ini.
لَمْ
يَكُنِ اللهُ لِيَجْمَعَ أُمَّتِيْ عَلَى الضَّلاَلَةِ
Artinya: “Allah
tidak akan mengumpulkan umatku untuk berbuat kesalahan.”
c.
Bahwa
ijma` terhadap hukum syara’ itu harus didirikan pada landasan
umum syara’, karena mujtahid itu mempunyai batas-batas yang tidak
boleh dilanggar. Jika di dalam melakukan Ijtihad mengenai hal-hal yang
tidak ada nash, maka Ijtihadnya tidak diperkenankan melanggar
batas-batas di dalam memahami nash dan dalil. Jika pada suatu kejadian
tidak terdapat nash, maka Ijtihad tidak dapat dilakukan dengan
melanggar batas pengambilan hukum walaupun dengan jalan qiyas terhadap
hukum yang terdapat nash-nya atau dengan menerapkan kaidah-kaidah syar’iyah
dan prinsip-prinsip umumnya, atau dengan jalan mengambil dalil-dalil yang
ditetapkan syari’ah seperti Istihsan, Istishab, ‘Uruf, atau Maslahah Mursalah.
Adapun macam-macam ijma`
ditinjau dari segi melakukan Ijtihad, terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Ijma’
sharih, kesepakatan para mujtahid
pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan
pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa
atau memberi keputusan.
b.
Ijma’
sukuti, sebagian mujtahid pada
suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang
dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid
lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuainnya atau
perbedaannya.[22]
2.
Qiyas
Qiyas (analogi) mempunyai makna asli
yaitu mengukur atau membandingkan atau menimbang dengan membandingkan sesuatu.
Secara istilah, qiyas adalah menentukan suatu hukum berdasarkan hukum
yang sudah ada karena persamaan illat (motivasi hukum).[23]
Definisi
qiyas menurut ulama ushul sebagai berikut:
الْقِيَاسُ فِي
اِصْطِلَاحِ الْأُصُوْلِيِّيْنَ: هُوَ إِلْحَاقٌ وَاقِعَةٌ لاَ نَصَّ عَلَى
حُكْمِهَا بِوَاقِعَةٍ وَرَدَ نَصٌّ بِحُكْمِهَا فِيْ الْحُكْمِ الَّذِي وَرَدَ بِهِ النّصُّ.[24]
Artinya: “Menurut ulama ushul, al-qiyas berarti
menyamakan suatu kejadian yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang
ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya
kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya)
hukumnya.”
Berikut ini contoh qiyas
yaitu masalah minuman khamr, yang merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah
jelas ditetapkan dalam nash. Hukumnya adalah haram, berdasarkan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [٥:٩٠]
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi
nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. Al-Ma`idah:
90).[25]
Dalam ayat
tersebut, ada illat memabukkan. Oleh karena itu, setiap minuman yang
terdapat illat memabukkan, hukumnya sama dengan khamr dan haram
meminumnya. Adapun rukun-rukun qiyas sebagai berikut:
a.
Al-Ashl, ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash, biasa
disebut sebagai maqis ‘alaih (yang dipakai sebagai ukuran), atau mahmul
‘alaih (yang dipakai sebagai tanggungan), atau musyabbah bih (yang
dipakai sebagai penyerupaan).
b.
Al-Far’u, ialah sesuatu yang hukumnya tidak terdapat di dalam nash,
dan hukumnya disamakan kepada Al-Ashl. Al-Far’u ini biasa disebut
sebagai al-maqis (yang diukur) atau al-mahmul (yang dibawa) atau musyabbah
(yang disamakan).
c.
Hukmul
Ashl, ialah hukum syara’ yang terdapat nash-nya menurut Al-Ashl,
dan dipakai sebagai hukum asal bagi cabang (Al-Far’u).
d.
Al-Illat, ialah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl
(asal), kemudian cabang (Al-Far`u) itu disamakan kepada asal dalam hal
hukumnya.[26]
3.
Istihsan
Istihsan adalah menjelaskan keputusan
pribadi, yang tidak didasarkan atas qiyas, melainkan didasarkan atas
kepentingan umum atau kepentingan keadilan.[27]
Adapun definisi menurut ulama ushul, yaitu:
الإِسْتِحْسَانُ
فِي اِصْطِلَاحِ الْأُصُوْلِيِّيْنَ: هُوَ عَدُوْلُ الْمُجْتَهِدُ عَنْ مُقْتَضَى
قِيَاسٍ جَلِيٍّ إِلَى مُقْتَضَى قِيَاسٍ خَفِيٍّ, أَوْ عَنْ حُكْمٍ كُلِّيٍّ
إِلَى حُكْمٍ إسْتِثْنَائِيٍّ لِدلِيْلٍ إِنْقَدَحَ فِيْ عَقْلِهِ رَجَّهَ
لَدَيْهِ هذَا الْعَدُوْلُ.[28]
Artinya:
“Menurut istilah ulama ushul, Istihsan adalah pindahnya seorang mujtahid
dari tuntutan qiyas ajli (nyata) kepada qiyas kahfi (samar), atau
dari dalil qully kepada hukum takhshish lantaran terdapat dalil
yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil pikirannya dan mementingkan
perpindahan hukum.”[29]
Contoh
Istihsan adalah sikap yang ditunjukkan oleh Umar bin Khattab terhadap
orang yang mencuri pada saat musim paceklik, dengan tidak memberikan hukuman
potong tangan kepadanya.[30]
4.
Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya
keputusan yang dasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan hukum syara’.
Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahah mursalah
menolak mafsadat atau mengambil suatu manfaat dari suatu perkara.[31]
Adapun definisi menurut ulama ushul tentang maslahah mursalah,
yaitu:
المصلحة المرسلة فِي اِصْطِلَاحِ
الْأُصُوْلِيِّيْنَ: المصْلَحَةُ الَّتِي لَمْ يَشْرَعْ الشَّارِعُ حُكْمًا
لِتَحْقِيْقِهَا, وَ لَمْ يَدُلُّ دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ عَلَى إِعْتِبَارِهَا أَوْ
إِلغَائِهَا. وَسُمِيَتْ مُطْلَقَةً لِأَنَّهَا لَمْ تُقَيِّدْ بِدَلِيْلٍ
إِعْتِبَارٍ أَوْ إلْغَاءٍ.[32]
Artinya: “Menurut istilah ahli ushul, maslahah mursalah
adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh syar’i dalam wujud
hukum, dalam rangka menciptakan kemaslahatan, disamping tidak terdapat dalil
yang membenarkan atau menyalahkan.”[33]
Contohnya adalah dalam ketentuan
khamr dan judi terdapat manfaat, tetapi bahanya lebih besar dari pada
manfaatnya. Suatu masalah yang mengandung maslahat dan mafsadat,
maka didahulukan menolak mafsadat.[34]
5.
`Urf
Definisi
`urf menurut ulama ushul, yaitu:
العُرْفُ هُوَ مَا تَعَارَفُهُ النَّاسُ
وَ سَارُوْ عَلَيْهِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَرْكٍ أوْ يُسَمَّى الْعادَةُ.[35]
Artinya: “`Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh
manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan,
perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu,
sekaligus disebut sebagai adat.”[36]
Menurut ahli syara, `urf bermakna
adat. Dengan kata lain `urf dan adat itu tidak ada perbedaan. `Urf
tentang perbuatan manusia, misalnya jual beli yang dilakukan berdasarkan saling
pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk `urf yang
bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad
yang lafazh tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan wanita. Juga
pengertian tentang kata al-lahmu yang tidak termasuk di dalamnya as-samak
(ikan). Dengan kata lain `urf itu merupakan saling pengertian manusia
terhadap tingkatan mereka yang berbeda, tentang keumuman dan kekhususannya.
Dalam hal ini memang sangat berbeda dengan ijma`. Sebab, ijma`
merupakan kebiasaan kesepakatan para mujtahid baik yang bersifat khusus
atau umum dan tidak menciptakan adanya `urf.
Dalam kenyataannya `urf terbagi
menjadi dua, yaitu:
a.
`Urf
Shahih yaitu segala sesuatu yang sudah
dikenal umat manusia dan tidak berlawanan dengan dalil syara`, serta
tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Misalnya,
manusia saling mengerti tentang jual beli yang tidak perlu menyebutkan sighatnya.
Hukumnya, boleh dan perlu dilestarikan.
b.
`Urf
Fasid segala sesuatu yang sudah dikenal
oleh manusia, tetapi berlawanan dengan hukum syara` atau menghalalkan
yang haram dan menggugurkan kewajiban. Misalnya, manusia saling mengerti dalam
melakukan hal yang negative, seperti saling mengerti tentang perjanjian
perjudian, hubungan riba dan sebagainya. Hukumnya, jelas haram dan tidak boleh
dilestarikan.[37]
6.
Istishhab
Definisi Istishhab menurut
ulama ushul, yaitu:
الإِسْتِصْحَابُ فِي اِصْطِلَاحِ
الْأُصُوْلِيِّيْنَ: هُوَ الْحُكْمُ عَلَى الشَّيْءِ بِالْحَالِ الَّتِي كَانَ
عَلَيْهَا مِنْ قَبْلُ حَتَّى يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى تَغَيِّرِ تِلْكَ الْحَالُ
أَوْ هُوَ جَعَلَ الْحُكْمُ الَّذِي كَانَ ثَابِتًا فِي الْمَاضِى بَاقِيًا فِي
الْحَالِ حَتَّى يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى تَغَيِّرِهِ.[38]
Artinya: “Menurut istilah ulama ushul, Istishhab ialah
menetapkan sesuatu keadaan yang berlaku sebelumnya hingga adanya dalil yang
menunjukkan adanya perubahan keadaan itu. Atau menetapkan berdasarkan hukum
yang ditetapkan pada masa lalu secara abadi berdasarkan keadaan, hingga
terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan.”[39]
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid
ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya
dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka hukumnya adalah boleh.
Demikian juga apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang,
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman atau suatu amal yang hukumnya
tidak ditemukan dalam suatu dalil syara`, maka hukumnya adalah boleh.
Hal ini sesuai dengan kaidah:
الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ أَلإِبَاحَةُ.
Artinya: “Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.”[40]
7.
Syar`u Man Qablana
Syar`u Man Qablana adalah syari`at-syari’at
yang telah diberlakukan pada masa para Nabi terdahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad
SAW.[41] Apabila
Al-Qur`an dan As-Sunnah yang benar itu mengisahkan syari’at
atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita melalui utusan-Nya, dan
juga dalam nash ditetapkan sebagai syari’at seperti utusan-Nya,
dan juga dalam nash ditetapkan sebagai syari’at itu merupakan syari’at
dan undang-undang yang wajib ditaati dengan menetapkan sebagai syari’at.
Misalnya firman Allah SWT sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ [٢:١٨٣]
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (Q.S.
Al-Baqarah: 183).[42]
Jumhur
ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Malikiyah serta sebagian ulama Syafi`iyah
mengatakan bahwa hukum itu sebagai syari`at untuk kita dan kita
berkewajiban mengikuti dan melaksanakan, karena hukum itu telah dikisahkan
kepada kita dan tidak ada syari`at yang menghapuskannya.
Contoh
lain mengenai syari`at yang diberlakukan dari masa sebelumnya sampai
berlaku untuk yang sekarang adalah sebagai berikut:
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا
تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى
الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ
اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ [٤٢:١٣]
Artinya: “Dia (Allah) telah mensyari`atkan kepadamu agama yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad)
dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu
tegakkanlah agama (keimanan dan ketaqwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di
dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang yang musyrik (untuk mengikuti) agama
yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada
agama tauhid dan memberi petunjuk kepada agamanya bagi orang yang kembali
(kepada-Nya).” (Q.S. Asy-Syura: 13).[43]
8.
Madzhab Shahabi
Sepeninggalan
Rasulullah SAW., maka pemberi fatwa dan pembentukan hukum-hukum Islam untuk
kepentingan umat Islam adalah para sahabat yang benar-benar sudah lekat dengan fiqh
dan ilmu agama serta karena akrabnya mereka dengan Rasulullah dalam pergaulan
sehingga mampu memahami Al-Qur`an dan hukum-hukumnya.
Menurut
Imam Syafi’i, beliau tidak melihat pendapat seorang sahabat tertentu yang
dipakai sebagai hujjah. Imam Syafi’i membolehkan pendapat para sahabat
secara keseluruhan serta membolehkan menolak pendapat para sahabat secara
keseluruhan serta melakukan Ijtihad untuk mengistinbatkan hukum. Hal ini
dikarenakan pendapat mereka juga merupakan Ijtihad secara individual
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak ma’shum. Karena Imam Syafi’i
menyatakan bahwa tidak diperkenankan memberi hukum atau fatwa melainkan
berdasarkan berita yang benar, yang datang dari Al-Qur`an dan As-Sunnah,
atau apa-apa yang disepakati ahli ilmu yang tidak berbeda, atau berqias dalam
sebagiannya.[44]
9.
Sadd Adz-Dzari`ah
Sebelum menjelaskan apa itu sadd
adz-dzari`ah, terlebih dahulu perlu diurai tentang dzari`ah itu
sendiri. Pengertian dzari`ah ditinjau dari segi bahasa adalah jalan menuju
sesuatu. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari`ah dengan
“sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemudharatan”.
Akan tetapi, pendapat tersebut
ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzari`ah itu tidak hanya menyangkut
sesuatu yang dilarang, melainkan ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian,
lebih tepat kalau dzari`ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sad
adz-dzari`ah (yang dilarang) dan fath adz-dzari`ah (yang
dianjurkan).
Adapun pengertian sad
adz-dzari`ah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah:
التَّوَصُّلُ بِمَا هُوَ مَصْلَحَةٌ
إِلَى مَفْسَدَةٍ
Artinya: “Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).”
Dari pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa sad adz-dzari`ah adalah perbuatan yang dilakukan
seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan
sesuatu kerusakan. Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat,
namun sebelum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada
anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibah (memberikan sesuatu kepada orang
lain, tanpa ikatan apapun)[45]
dalam syari`at Islam merupakan perbuatan baik yang mengandung
kemaslahatan. Akan tetapi, bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindar
dari kewajiban zakat, maka hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada
pertimbangan bahwa hukum zakat adalah wajib, sedangkah hibah adalah
sunnah.[46]
B.
Ijtihad Sebagai Sumber
Dinamika
Dewasa ini umat Islam dihadapkan
kepada sejumlah peristiwa kekinian yang menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Peristiwa-peristiwa itu memerlukan penyelesaian yang seksama, lebih-lebih untuk
kasus yang tidak tegas ditunjukkan oleh nash. Selain itu, tantangan umat
sekarang ada dua macam, taqlid kepada barat dan taqlid kepada
masa lalu. Taqlid kepada barat muncul karena ketidakmampuan dalam
membedakan antara modernisasi dan cara hidup barat. Sedangkan taqlid kepada
masa lalu muncul karena ketidakmampuan dalam membedakan antara syari`a yang
merupakan wahyu dan pandangan fuqaha masa lalu tentang syari`at itu.
Melihat persoalan-persoalan di atas,
umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu, yaitu dengan melakukan Ijtihad.
Oleh karena itu, Ijtihad menjadi sangat penting meskipun tidak bisa
dilakukan oleh setiap orang. Adapun kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal
berikut.
1.
Jarak
antara kita dengan masa tasyri semakin jauh. Jarak yang jauh ini
memungkinkan terlupakannya beberapa nash, khususnya dalam As-Sunnah,
yaitu masuknya hadits-hadits palsu dan perubahan pemahaman terhadap nash.
Oleh karena itu, para mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh
menggali ajaran Islam yang sebenarnya melalui kerja Ijtihad.
2.
Syari`at
disampaikan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah secara
komprehensif memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh. Di
dalamnya terdapat yang `am dan khas, muthlaq dan muqayad,
muhkamat dan mutasyabihat, nasikh dan mansukh serta
yang lainnya yang memerlukan penjelasan para mujtahid.
Dilihat dari fungsinya, Ijtihad berperan
sebagai penyalur kreatifitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa
yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Disamping itu, Ijtihad pun
memberi tafsiran kembali atas perundang-undangan yang sifatnya sesuai dengan
syarat-syarat yang berlaku pada masanya dengan tidak melanggar prinsip-prinsip
umum, dalil-dalil kully dan muqasid al-syari`ah yang merupakan
aturan-aturan pengaruh dalam hidup.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni
al-wurud dan zhanni ad-dalalah. Penjelasan terhadap dalil-dalil
tersebut merupakan kerja Ijtihad dalam rangka menyelesaikan persoalan
kehidupan manusia yang senantiasa berubah dalam nuansa perkembangan. Ijtihad
diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos
kejumudan dan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajaran
Islam, mencari pemecahan Islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer. Ijtihad
juga saksi bagi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya (ya`lu walaa
yu`la `alaihi).[47]
Salah satu tokoh pembaharu dalam
Islam yakni Muhammad Iqbal yang mengajarkan dinamisme mengatakan bahwa
Al-Qur`an senantiasa mengajarkan pemakaian akal terhadap tanda-tanda alam,
seperti matahari, bulan, pertukaran siang dan malam dan sebagainya. Orang yang
tidak peduli untuk memperhatikan gejala alam ini akan buta terhadap masa depan.
Konsep Islam mengenai ilmu adalah
dinamis dan senantiasa berkembang. Pergantian kemajuan bangsa dan kemundurannya
dibuat oleh Tuhan. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya
pergerakan dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Prinsip yang dipakai dalam
persoalan gerak dan perubahan ialah Ijtihad. Ijtihad, menurutnya
mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam. Paham dinamismenya ia
simpulkan dalam kata-kata sederhananya yaitu Kafir yang aktif lebih baik
daripada Muslim yang suka tidur.[48]
Menurut hemat penulis sendiri, Islam
sebenarnya merupakan agama dinamis yang menuntut umatnya untuk senantiasa hidup
maju dan berkembang. Maka, untuk mencapai kemajuan yang dimaksud umat Islam
harus keluar dari kemelut taqlid dan harus melakukan perubahan besar
dalam bingkai Islam. Hal tersebut dapat dilakukan dengan jalan Ijtihad. Akan
tetapi, tentu saja akan dapat dilaksanakan apabila memenuhi kriteria mujtahid
yang sudah dijelaskan di atas.
BAB IV
KESIMPULAN
بَذْلُ
الْفَقِيْهِ وُسْعَهُ فِي اسْتِنْبَاطِ الْأَحْكَامِ الْعَمَلِيَّةِ مِنْ
أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
Artinya: “Upaya seorang ahli fikih
dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci.” Demikianlah definisi Ijtihad menurut para
fuqaha.
Sumber hukum Ijtihad,
diantaranya:
إِنَّا
أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا
أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَائِنِينَ
خَصِيمًا [٤:١٠٥]
Artinya:
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad)
membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang
tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. An-Nisa: 105).
Hukum Ijtihad,
sebagai berikut:
a.
Wajib
`ain
b.
Wajib
kifayah
c.
Sunnah
d.
Haram
Syarat-Syarat Mujtahid,
sebagai berikut:
a.
Penguasaan
Ilmu Al-Qur`an
b.
Penguasaan
Ilmu Hadits
c.
Menguasai
seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar dalam
menentukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’
d.
Memiliki
pengetahuan yang luas tentang qiyas dan dapat mempergunakannya dalam
istinbath hukum
e.
Mengetahui
ilmu logika
f.
Menguasai
bahasa arab secara mendalam
g.
Mengetahui
mendalam tentang nasakh-mansukh dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah
agar dalam menggali hukum tidak menggunakan ayat Al-Qur`an dan As-Sunnah
yang telah dinasakh (hapus)
h.
Mengetahui
latar belakang turunnya ayat (asbabul nuzul) dan sebab-sebab keluarnya
hadits (asbabul wurud)
i.
Mengetahui
sejarah para perawi hadits
j.
Menguasai
kaidah-kaidah istinbath hukum (ushul fiqh)
Adapun
produk-produk Ijtihad, yaitu:
a.
Ijma`
b.
Qiyas
c.
Istihsan
d.
Maslahah Mursalah
e.
`Urf
f.
Istishhab
g.
Syar`u Man Qablana
h.
Madzhab Shahabi
i.
Sadd Adz-Dzari`ah
[1] Muhammad Ali
Ash-Shabuniiy, Studi Ilmu Al-Qur`ani, Diterjemahkan oleh
Aminuddin, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 15.
[2]
Atang Abd.
Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014), Cetakan XV, hlm. 105.
[3] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, (Jakarta: Gema
Risalah Press, 1998), hlm. 89-90.
[4] Ibid.,
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy,
hlm. 90.
[5] Rachmat
Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2010), Cetakan IV, hlm. 97-98.
[6] Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005), hlm. 3.
[7] Atang Abd.
Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Op.Cit., hlm. 97.
[8] Khoiriyah, Memahami
Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm. 77.
[9] Jaih Mubarok, Op.Cit.,
hlm. 4.
[10] Atang Abd.
Hakim dan Jaih Mubarok, Op.Cit., hlm. 97.
[11] Ahmad Hatta, Tafsir
Qur`an Per Kata Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah, (Jakarta:
Maghfiroh Pustaka, 2011), Cetakan V, hlm. 95.
[12] Rachmat
Syafe`i, Op.Cit., hlm. 103.
[13] Atang Abd.
Hakim dan Jaih Mubarok, Op.Cit., hlm. 105.
[14] Syahrul Anwar,
Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 89.
[15] Khoiriyah, Op.Cit.,
hlm. 79-80.
[16] Rachmat
Syafe`i, Op.Cit., hlm. 108-109.
[17] Khoiriyah, Op.Cit.,
hlm. 81.
[18] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Al-Qalam, 1978), hlm. 40.
[19] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit.,
hlm. 82.
[20] Syahrul Anwar,
Op.Cit., hlm. 89.
[21] Ahmad Hatta, Op.Cit.,
hlm. 88.
[22] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit.,
hlm. 90-91.
[23] Khoiriyah, Op.Cit.,
hlm. 81.
[24] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 47.
[25] Ahmad Hatta, Op.Cit.,
hlm. 123.
[26] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit.,
hlm. 106.
[27] Khoiriyah, Op.Cit.,
hlm. 82.
[28] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 70.
[29] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit.,
hlm. 136.
[30] Khoiriyah, Op.Cit.,
hlm. 82.
[31] Ibid.,
Khoiriyah.
[32] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 74.
[33] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit.,
hlm. 142.
[34] Khoiriyah, Op.Cit.,
hlm. 82.
[35] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 79.
[36] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit.,
hlm. 149.
[37] Ibid., Abdul
Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, hlm.
149.
[38] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Op.Cit., hlm. 81.
[39] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit.,
hlm. 152.
[40] Rachmat
Syafe`i, Op.Cit., hlm. 125.
[41] Khoiriyah, Op.Cit.,
hlm. 84.
[42] Ahmad Hatta, Op.Cit.,
hlm. 28.
[43] Ibid.,
Ahmad Hatta, hlm. 484.
[44] Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Op.Cit.,
hlm. 158.
[45] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), hlm. 326.
[46] Rachmat
Syafe`i, Op.Cit., hlm. 132.
[47] Atang Abd.
Hakim dan Jaih Mubarok, Op.Cit., hlm. 107.
[48] Abdul Hamid
dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010), hlm. 161.
barokalloh..pencerahannya
BalasHapus