BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Akal merupakan
salah satu anugerah Allah SWT yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat
bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk
dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir
karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.[1]
Dengan demikian
akal menjadi bagian yang sangat penting dalam diri manusia, bahkan tanpa akal
manusia tidak ubahnya seperti binatang. Dalam filsafat, penggunaan akal menjadi
ciri khas yang menunjukkan aktivitas pemikiran yang dilakukan. Di dunia ini,
banyak sekali filosof-filosof yang menuangkan pemikirannya kedalam bentuk
tulisan maupun ucapan dari hasil pengalamannya maupun aktivitas berpikir
mendalam yang dilakukannya.
Tidak hanya
barat, Islam pun memiliki para filosof handal yang memiliki kualitas berpikir
yang luar biasa. Namun, seorang muslim yang memperdalam filsafat tidak boleh
terlepas dari aturan syari`at yaitu ketentuan Al-Qur`an dan Al-Hadits. Hal ini
dimaksudkan agar apa yang nanti akan dituangkan dari hasil filsafatnya tersebut
tidak menyesatkan umat Islam lainnya, karena tentunya para filosof tersebut
mendapat perhatian yang lebih bahkan hasil pemikiran mereka dipelajari oleh
umat selanjutnya.
Salah satu kajian filsafat yang
terkenal adalah tentang teori emanasi, yang mengatakan bahwa penciptaan alam
ini merupakan pancaran dari Yang Satu. Banyak filosof yang memberikan
pandangannya mengenai filsafat ini, mengingat jika diperhatikan sekilas teori
emanasi sangatlah membingungkan bahkan bagi yang mendalami tetapi belum begitu
dalam tetap akan terasa bingung, karena memang begitulah filsafat. Oleh
karenanya, sangat perlu sekiranya dalam perkuliahan Filsafat Islam juga dibahas
mengenai teori emanasi ini. Agar cakrawala berpikir dan pengetahuan kita
menjadi luas.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat diambil rumusan
masalahnya sebagai berikut.
a.
Apa yang
dimaksud dengan teori emanasi?
b.
Bagaimana
teori emanasi menurut Plotinus?
c.
Bagaimana
teori emanasi menurut para filosof muslim?
3.
Tujuan
Adapun tujuannya, yaitu:
a.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan teori emanasi,
b.
Untuk
mengetahui tentang teori emanasi menurut Plotinus, dan
c.
Untuk
memperoleh data teori emanasi menurut para filosof muslim.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Teori Emanasi
Dalam penciptaan alam semesta
banyak para ahli berbeda pandangan, perbedaan pandangan itu terletak pada dua
persoalan yakni apakah alam ini ada
karena memang sudah ada? ataukah ada karena
ada yang menciptakan?. Apabila ada yang menciptakan bagaimanakah proses penciptaannya itu?, tentu ini menjadi hal yang
menarik dikalangan para pemikir filsafat, sebab hal ini menjadi satu soal yang
harus dikaji kebenarannya.
Banyak para filosof barat yang
memberikan pandangannya mengenai penciptaan alam semesta ini, hingga muncul-lah
beberapa teori salah satunya yang paling menarik dan terkenal dalam dunia
filsafat adalah teori emanasi. Teori ini, menarik banyak perhatian para filosof
muslim, karena konsep sederhananya tidaklah menyimpang dari ajaran Islam
meskipun argumennya sangat sulit dipahami bagi manusia awam.
Kata emanasi, dalam bahasa Inggris
disebut emanation yang berarti proses
munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan substansinya sama
dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses
terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung,
bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala
sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap
wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.[2]
Jadi, dalam teori ini, ditegaskan
bahwa Allah sebagai Tuhan memberikan pancaran, sehingga terwujudlah alam ini
sebagai hasil dari pancaran tersebut. Dan itu terjadi dengan beberapa proses.
B.
Teori
Emanasi Menurut Plotinus
Plotinus dilahirkan pada tahun 204
M di Mesir, di daerah Licopolis. Pada tahun 232 M ia pergi ke Alexandria untuk
belajar filsafat, kepada seorang guru bernama Animonius Saccas selama 11 tahun.
Pada tahun 243 M ia mengikuti Raja Gordianus III berperang melawan Persia. Ia
ingin menggunakan kesempatan itu untuk mempelajari kebudayaan Parsi dan India.
Akan tetapi, sebelum sempat mempelajarinya, Raja Gordianus terbunuh pada tahun
244 M. Plotinus dengan susah payah dapat melarikan ke Antioch. Kemudian, pada
tahun 270 M Plotinus meninggal di Minturnae, Campania, Italia.[3]
Plotinus merupakan salah satu
filosof barat yang filsafat memiliki pengaruh kepada para filosof muslim.
Diantara filsafatnya, satu diantaranya adalah tentang penciptaan. Plotinus
berpendapat bahwa Yang Esa adalah Yang Paling Awal, sebab pertama. Dari sinilah
mulai teori penciptaan yang terkenal yaitu teori emanasi, suatu teori
penciptaan yang belum pernah diajukan oleh para filosof lain. Tujuan utama
teori ini adalah untuk menjelaskan bahwa yang banyak (makhluk) ini tidak
menimbulkan pengertian bahwa didalam Yang Esa ada pengertian yang banyak.
Maksudnya, teori emanasi tidak menimbulkan pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak
makhluk.
Menurut Plotinus, alam semesta ini
diciptakan melalui proses emanasi. Emanasi itu berlangsung tidak didalam waktu.
Emanasi itu laksana cahaya yang beremanasi dari matahari. Dengan beremanasi itu
The One tidak mengalami perubahan.
Untuk memahami emanasi itu ada baiknya diikuti uraian Hatta sebagai berikut “Yang
Esa itu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung didalamnya satupun dari barang
yang banyak (makhluk) dasar yang banyak tidak mungkin yang banyak itu sendiri,
dasar yang banyak adalah Yang Esa.
Didalam Yang Esa itu yang banyak
itu belum ada, sebab didalam-Nya yang banyak itu tidak ada, tetapi yang banyak
itu datang dari Dia. Karena Yang Esa itu sempurna, tidak memerlukan apa-apa,
tidak memiliki apa-apa, maka beremanasilah dari Dia yang banyak itu. Dalam
filsafat klasik Yang Asal itu dikatakan sebagai Yang Bekerja atau sebagai
Penggerak Pertama. Disitu selalu dikemukakan dua hal yang bertentangan, seperti
yang bekerja dan yang dikerjakan, idea dan benda, pencipta dan ciptaan.
Penggerak Pertama itu berada
didalam alam nyata, sifatnya transedens.
Pada Plotinus terdapat pandangan yang lain, paham ini berasal dari filsafat
Timur. Padanya tidak ada yang bertentangan. Padanya alam ini terjadi dari Yang
Melimpah, yang mengalir itu tetap menjadi bagian dari Yang Melimpah itu. Bukan
Tuhan berada didalam alam, melainkan alam berada didalam Tuhan. Hubungannya
sama dengan hubungan benda dengan bayangannya. Makin jauh yang mengalir itu
dari Yang Asal, makin tidak sempurna ia. Alam ini bayangan Yang Asal, tetapi
tidak sempurna, tidak lengkap, tidak cukup, tidak sama dengan Yang Asal.
Kesempurnaan bayangan itu bertingkat menurut jaraknya dari yang Asal. Sama
dengan cahaya, semakin jauh dari sumber cahaya, semakin kurang terangnya,
akhirnya ujung cahaya akan lenyap dalam kegelapan.[4]
Perlu dicatat bahwa emanasi itu terjadi tidak
didalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu terletak pada tingkat yang paling
bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu adalah suatu pengertian tentang
dunia benda. Untuk menjaadikan alam, Soul
mula-mula menghamparkan sebagian dari kekelannya, lalu membungkusnya dengan
waktu. Selanjutnya energinya bekerja terus, menyempurnakan alam semesta itu.
Waktu berisi kehidupan yang bermacam-macam, waktu bergerak terus sehingga
menghasilkan waktu lalu, sekarang dan yang akan datang.
C.
Teori
Emanasi Menurut Para Filosof Muslim
Sebagaimana yang diketahui diawal
pembelajaran Filsafat Islam, bahwa pemikiran para filosof Islam sangat
dipengaruhi oleh pemikiran para filosof barat (para filosof Yunani). Diantara
para filosof Islam yang terkenal dalam pemikirannya mengenai teori emanasi,
yaitu:
1. Al-Farabi
Al-Farabi mempunyai nama lain yaitu
Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi. Sebenarnya nama Al-Farabi diambil
dari nama kota Farab, tempat beliau dilahirkan yakni di desa Wasij di kota
Farab pada tahun 257 H (870 M). kadang-kadang ia mendapat sebutan orang Turki,
sebab ayahnya adalah orang Iran yang menikahi wanita Turki. Banyak karya yang
telah beliau hasilkan dari proses mencari dan menggali pengetahuannya melalui
filsafat.[5]
Mengenai penciptaan alam, Al-Farabi
setuju dengan teori emanasi yang menetapkan bahwa alam ini baru, yang merupakan
hasil pancaran. Al-Farabi menyebut teori emanasi sebagai Nadhariyatul Faidl,[6]
Sebenarnya, Al-Farabi menemui
kesulitan bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi dari
Yang Esa (Allah) jauh dari arti materi dan Maha Sempurna. Dalam filsafat
Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan penggerak pertama (Prime Cause), seperti yang dikemukakan
Aristoteles. Sementara dalam Islam, Allah adalah Pencipta, yang menciptakan
dari tidak ada menjadi ada (Creito ex
Nihilo). Untuk meng-Islamkan doktrin ini, Al-Farabi mencari bantuan pada
doktrin Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan Penggerak
Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari
bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan maksud, Allah menciptakan alam
semenjak azali, materi alam berasal dari energy yang qadim, sedangkan susunan
materi yang menjadi alam adalah baharu. Oleh karenanya, menurut Filosof Muslim,
kun Allah yang termaktub dalam
Al-Qur`an ditujukkan kepada syai’ (sesuatu)
bukan kepada la syai’ (tidak ada
sesuatu).[7]
Emanasi dalam pemikiran Al-Farabi
adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran itu
timbul suatu maujud lain. Tuhan itu adalah wujud pertama dan dengan pemikiran
itu timbul wujud kedua yang juga mempunya substansi. Itu disebut dengan Akal
Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud
pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga. Proses ini terus
berlangsung hingga pada akal X.[8]
Emanasi melahirkan alam qadim dari
segi zaman (taqaddum zamany) bukan
dari segi zat (taqaddum zaty). Oleh
karena alam dijadikan Allah secara emanasi sejak azali tanpa diselangi oleh
waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti ia adalah baru. Berikut adalah
tabel emanasi, agar lebih dapat memahami uraian tentang teori emanasi
Al-Farabi.[9]
(Subjek) Akal Yang Ke
|
Sifat
|
Berpikir Tentang
|
Keterangan
|
|
Allah sebagai Wajib al-Wujud menghasilkan
|
Dirinya sendiri sebagai mumkin al-Wujud, menghasilkan
|
|
||
I
|
Mumkin Wujud
|
Akal II
|
Langit Pertama
|
Masing-masing akal
mengurusi satu planet
|
II
|
sda
|
Akal III
|
Bintang-Bintang
|
|
III
|
sda
|
Akal IV
|
Saturnus
|
|
IV
|
sda
|
Akal V
|
Yupiter
|
|
V
|
sda
|
Akal VI
|
Mars
|
|
VI
|
sda
|
Akal VII
|
Matahari
|
|
VII
|
sda
|
Akal VIII
|
Venus
|
|
VIII
|
sda
|
Akal IX
|
Merkuri
|
|
IX
|
sda
|
Akal X
|
Bulan
|
|
X
|
sda
|
|
Bumi, roh, materi
pertama yang menjadi keempat unsur: udara, api, air dan tanah.
|
Akal ke X tidak lagi
memancarkan akal-akal berikutnya, karena kekuatannya sudah lemah.
|
2. Ibnu
Sina
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali
Al-Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa, beliau lebih dikenal dengan nama
Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun
340H./980M. Beliau lahir saat kondisi kekuasaan Abbasiyah sedang kacau dan
mengalami kemunduran. Beliau meninggal pada tahun 428H./1037M. pada usia 57
tahun.[10]
Dalam filsafatnya mengenai
penciptaan alam, Ibnu Sina tidaklah jauh berbeda dengan Al-Farabi, sehingga
kesulitan yang dirasakan dalam menjelaskan maksud emanasi keduanya sama saja.
Sebagaimana yang diketahui bahwa emanasi merupakan ramuan dari seorang filosof
barat yakni Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran
dari Yang Esa.
Namun, kemudian pandangan Plotinus
di Islamkan oleh Ibnu Sina. Sehingga dari Yang Esa Plotinus sebagai penyebab
yang pasif bergeser menjadi Allah Pencipta yang aktif. Dia menciptakan alam
dari materi yang sudah ada secara pancaran. Adapun proses terjadinya pancaran
tersebut adalah ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai Akal langsung
memikirkan (berta`aqqul) terhadap
zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah Akal Pertama. Begitu
seterusnya hingga proses ke-10.
Berlainan dengan Al-Farabi, bagi
Ibnu Sina Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu sifat Wajib Wujud-Nya sebagai
pancaran dari Allah dan sifat Mumkin Wujud-Nya jika ditinjau dari hakikat
diri-Nya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi
tiga yaitu Allah (Wajib Al-Wujud Li
Dzatihi), dirinya akal-akal (Wajib
Al-Wujud Li Ghairihi) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (Mumkin Al-Wujud) ditinjau dari hakikat
dirinya.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
tabel emanasi Ibnu Sina dibawah ini.[11]
Subjek Akal Yang Ke
|
Sifat
|
Allah sebagai Wajib
al-Wujud menghasilkan
|
Dirinya sendiri
sebagai wajib wujud lighairihi, menghasilkan
|
Dirinya sendiri mumkin
wujud lizatihi
|
Keterangan
|
|
I
|
Wajib Al-Wujud
|
Akal II
|
Jiwa I yang menggerakan
|
Langit Pertama
|
Masing-masing akal mengurusi satu planet
|
|
II
|
Mumkin Wujud
|
Akal III
|
Jiwa II yang menggerakan
|
Bintang-Bintang
|
||
III
|
sda
|
Akal IV
|
Jiwa III yang menggerakan
|
Saturnus
|
||
IV
|
sda
|
Akal V
|
Jiwa IV yang menggerakan
|
Yupiter
|
||
V
|
sda
|
Akal VI
|
Jiwa V yang menggerakan
|
Mars
|
||
VI
|
sda
|
Akal VII
|
Jiwa I yang menggerakan
|
Matahari
|
||
VII
|
sda
|
Akal VIII
|
Jiwa VII yang menggerakan
|
Venus
|
||
VIII
|
sda
|
Akal IX
|
Jiwa IX yang menggerakan
|
Merkuri
|
||
IX
|
sda
|
Akal X
|
Jiwa I yang menggerakan
|
Bulan
|
||
X
|
sda
|
|
|
Bumi, roh, materi pertama yang menjadi keempat unsur: udara,
api, air dan tanah.
|
Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya, karena
kekuatannya sudah lemah.
|
3. Ibnu
Maskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali
Al-Khasim Ahmad bin Ya`qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah
Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama itu adalah nama kakeknya yang semula
seorang Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Ibnu Maskawaih lahir di Ray
(Teheran sekarang). Mengenai tahun lahir, para penulis menyebutkannya
berbeda-beda, salah satunya M.M Syarif mengatakan tahun 320H./932M. Sedangkan
wafatnya semua sepakat pada tanggal 9 Shafar 421H./16 Februari 1030M.[12]
Sebagaimana Al-Farabi dan Ibnu
Sina, Ibnu Maskawaih juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam
secara pancaran. Namun, emanasinya berbeda (bertentangan) dengan emanasi
Al-Farabi. Menurut Ibnu Maskawaih, entitas pertama yang memancarkan dari Allah
ialah ‘Aql dan Fa`al (Akal Aktif). Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatupum. Ia
qadim, Sempurna dan tak berubah.
Dari Akal Aktif ini timbullah jiwa
dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet. Pelimpahan atau pemancaran
yang terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan didalam alam ini.
Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan berhenti kemaujudan dalam alam
ini. Berikut perbedaan emanasi antara Al-Farabi dan Ibnu Maskawaih, yaitu:[13]
a. Bagi
Ibnu Maskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi
ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari
sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b. Bagi
Ibnu Maskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara itu,
bagai Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Pertama dan Akal Aktif
adalah Akal yang ke-10.
4. Ikhwan
Ash-Shafa’
Ikhwan Ash-Shafa’ adalah nama
sekelompok pemikir muslim rahasia berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang
lahir ditengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H / 10 M di Basrah.
Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat
berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya dikalangan pengikutnya.[14]
Filsafat emanasi Ikhwan Ash-Shafa’
terpengaruhi oleh Pythagoras dan Plotinus. Menurut Ikhwan Ash-Shafa’, Allah
adalah Pencipta dan Mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan Akal
Pertama atau Akal Aktif secara emanasi. Kemudian, Allah menciptakan jiwa dengan
perantaraan akal. Selanjutnya, Allah menciptakan materi pertama. Dengan
demikian, kalau Allah qadim, lengkap dan sempurna, maka Akal Pertama ini juga demikian halnya. Pada
Akal Pertama lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya.
Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaraan akal, maka jiwa
qadim dan lengkap tetapi tidak sempurna.
Demikian juga halnya materi pertama
karena terciptanya secara emanasi dengan perantaraan jiwa, maka materi pertama
adalah qadim, tidak lengkap dan tidak sempurna. Jadi, Allah tidak berhubungan
dengan alam materi secara langsung sehingga kemurnian tauhid dapat terpelihara
dengan sebaik-baiknya. Ringkasnya rangkaian proses emanasi tersebut sebagai
berikut.[15]
a. Akal
Aktif atau Akal Pertama (Al-‘Aql
Al-Fa’al)
b. Jiwa
Universal (An-Nafs Al-Kulliyyat)
c. Materi
Pertama (Al-Hayula Al-Ula)
d. Alam
Aktif (At-Thabi’at Al-Fa’ilat)
e. Materi
Absolut dan Materi kedua (Al-Jism
Al-Muthlaq)
f. Alam
Planet-Planet (‘Alam Al-Aflak)
g. Unsur-Unsur
alam terendah (‘Anashir Al-‘Alam
As-Sufla) yaitu air, tanah, udara dan api.
h. Materi gabungan, yang
terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sementara itu manusia termasuk
kedalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kata emanasi, dalam
bahasa Inggris disebut emanation yang
berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan
substansinya sama dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi
adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak
langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber
dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada,
karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
Menurut Plotinus, alam
semesta ini diciptakan melalui proses emanasi. Emanasi itu berlangsung tidak
didalam waktu. Emanasi itu laksana cahaya yang beremanasi dari matahari. Dengan
beremanasi itu The One tidak
mengalami perubahan. Untuk memahami emanasi itu ada baiknya diikuti uraian
Hatta sebagai berikut “Yang Esa itu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung
didalamnya satupun dari barang yang banyak (makhluk) dasar yang banyak tidak
mungkin yang banyak itu sendiri, dasar yang banyak adalah Yang Esa.
Para filosof muslim
yang sependapat dengan teori emanasi, yaitu:
a.
Al-Farabi
b.
Ibnu Sina
c.
Ibnu Maskawaih
d.
Ikhwan Ash-Shafa’
Pandangan emanasi Plotinus, di Islamkan oleh keempat
orang diatas menjadi bahwa Allah lah yang menciptakan. Allah lah yang
memberikan pancarannya kemudia terwujudlah sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA
A., Mustofa. 1991. Filsafat
Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Hafizh,
Mushlihin. 2012. Pengertian Emanasi.
Diunduh pada 20
Oktober 2013 pkl. 21.00 WIB dari website http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-emanasi-pengantar.html
Nasution, Harun. 1995. Falsafat
dan Mistisisme dalam Islam. Cetakan ke-9. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsfat
Umum (Akal dan Hati Sejak Thales sampai James). Cetakan ke-2. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Zar, Sirajuddin. 2012. Filsafat
Islam (Filosof dan Filsafatnya). Cetakan ke-5. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
[1] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar,
M.A., Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Cetakan ke-5, 2012, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, hlm. 1
[2] Mushlihin Al-Hafizh, 2012,
Pengertian Emanasi, http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-emanasi-pengantar.html
[3] Dr. Ahmad Tafsir, 1992, Filsafat
Umum (Akal dan Hati sejak Thales sampai James), Cetakan ke-2, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, hlm. 58
[4] Ibid. hlm. 61
[5] Drs. A. Mustofa, 1997, Filsafat
Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 125-126
[6] Ibid. hlm. 129
[7] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar,
M.A., Op. Cit., hlm. 74
[8] Prof. Dr. Harun Nasution, 1995,
Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Cetakan ke-9, Jakarta: PT Bulan Bintang,
hlm. 27
[9] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar,
M.A., Op. Cit., hlm. 77
[10] Drs. H. A. Mustofa, Op. Cit.,
hlm. 188-189
[11] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar,
M.A., Op. Cit., hlm. 99-101
[12] Drs. H. A. Mustofa, Op. Cit.,
hlm. 166
[13] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar,
M.A., Op. Cit., hlm. 131
[14] Ibid., hlm. 138
[15] Ibid. hlm. 148-149
saya izin copy artikelnya y mas
BalasHapusbagus mas
BalasHapusmakasih tuliannya, mohon izin ngopy.
BalasHapus