Home » » Teori Emanasi (Filsafat Islam)

Teori Emanasi (Filsafat Islam)

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Akal merupakan salah satu anugerah Allah SWT yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.[1]
Dengan demikian akal menjadi bagian yang sangat penting dalam diri manusia, bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang. Dalam filsafat, penggunaan akal menjadi ciri khas yang menunjukkan aktivitas pemikiran yang dilakukan. Di dunia ini, banyak sekali filosof-filosof yang menuangkan pemikirannya kedalam bentuk tulisan maupun ucapan dari hasil pengalamannya maupun aktivitas berpikir mendalam yang dilakukannya.
Tidak hanya barat, Islam pun memiliki para filosof handal yang memiliki kualitas berpikir yang luar biasa. Namun, seorang muslim yang memperdalam filsafat tidak boleh terlepas dari aturan syari`at yaitu ketentuan Al-Qur`an dan Al-Hadits. Hal ini dimaksudkan agar apa yang nanti akan dituangkan dari hasil filsafatnya tersebut tidak menyesatkan umat Islam lainnya, karena tentunya para filosof tersebut mendapat perhatian yang lebih bahkan hasil pemikiran mereka dipelajari oleh umat selanjutnya.
Salah satu kajian filsafat yang terkenal adalah tentang teori emanasi, yang mengatakan bahwa penciptaan alam ini merupakan pancaran dari Yang Satu. Banyak filosof yang memberikan pandangannya mengenai filsafat ini, mengingat jika diperhatikan sekilas teori emanasi sangatlah membingungkan bahkan bagi yang mendalami tetapi belum begitu dalam tetap akan terasa bingung, karena memang begitulah filsafat. Oleh karenanya, sangat perlu sekiranya dalam perkuliahan Filsafat Islam juga dibahas mengenai teori emanasi ini. Agar cakrawala berpikir dan pengetahuan kita menjadi luas.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat diambil rumusan masalahnya sebagai berikut.
a.       Apa yang dimaksud dengan teori emanasi?
b.      Bagaimana teori emanasi menurut Plotinus?
c.       Bagaimana teori emanasi menurut para filosof muslim? 
3.      Tujuan
Adapun tujuannya, yaitu:
a.       Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan teori emanasi,
b.      Untuk mengetahui tentang teori emanasi menurut Plotinus, dan
c.       Untuk memperoleh data teori emanasi menurut para filosof muslim.
  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teori Emanasi
Dalam penciptaan alam semesta banyak para ahli berbeda pandangan, perbedaan pandangan itu terletak pada dua persoalan yakni apakah alam ini ada karena memang sudah ada? ataukah ada karena ada yang menciptakan?. Apabila ada yang menciptakan bagaimanakah proses penciptaannya itu?, tentu ini menjadi hal yang menarik dikalangan para pemikir filsafat, sebab hal ini menjadi satu soal yang harus dikaji kebenarannya.
Banyak para filosof barat yang memberikan pandangannya mengenai penciptaan alam semesta ini, hingga muncul-lah beberapa teori salah satunya yang paling menarik dan terkenal dalam dunia filsafat adalah teori emanasi. Teori ini, menarik banyak perhatian para filosof muslim, karena konsep sederhananya tidaklah menyimpang dari ajaran Islam meskipun argumennya sangat sulit dipahami bagi manusia awam.
Kata emanasi, dalam bahasa Inggris disebut emanation yang berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan substansinya sama dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.[2]
Jadi, dalam teori ini, ditegaskan bahwa Allah sebagai Tuhan memberikan pancaran, sehingga terwujudlah alam ini sebagai hasil dari pancaran tersebut. Dan itu terjadi dengan beberapa proses.
B.     Teori Emanasi Menurut Plotinus
Plotinus dilahirkan pada tahun 204 M di Mesir, di daerah Licopolis. Pada tahun 232 M ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat, kepada seorang guru bernama Animonius Saccas selama 11 tahun. Pada tahun 243 M ia mengikuti Raja Gordianus III berperang melawan Persia. Ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk mempelajari kebudayaan Parsi dan India. Akan tetapi, sebelum sempat mempelajarinya, Raja Gordianus terbunuh pada tahun 244 M. Plotinus dengan susah payah dapat melarikan ke Antioch. Kemudian, pada tahun 270 M Plotinus meninggal di Minturnae, Campania, Italia.[3]
Plotinus merupakan salah satu filosof barat yang filsafat memiliki pengaruh kepada para filosof muslim. Diantara filsafatnya, satu diantaranya adalah tentang penciptaan. Plotinus berpendapat bahwa Yang Esa adalah Yang Paling Awal, sebab pertama. Dari sinilah mulai teori penciptaan yang terkenal yaitu teori emanasi, suatu teori penciptaan yang belum pernah diajukan oleh para filosof lain. Tujuan utama teori ini adalah untuk menjelaskan bahwa yang banyak (makhluk) ini tidak menimbulkan pengertian bahwa didalam Yang Esa ada pengertian yang banyak. Maksudnya, teori emanasi tidak menimbulkan pengertian bahwa Tuhan itu sebanyak makhluk.
Menurut Plotinus, alam semesta ini diciptakan melalui proses emanasi. Emanasi itu berlangsung tidak didalam waktu. Emanasi itu laksana cahaya yang beremanasi dari matahari. Dengan beremanasi itu The One tidak mengalami perubahan. Untuk memahami emanasi itu ada baiknya diikuti uraian Hatta sebagai berikut “Yang Esa itu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung didalamnya satupun dari barang yang banyak (makhluk) dasar yang banyak tidak mungkin yang banyak itu sendiri, dasar yang banyak adalah Yang Esa.
Didalam Yang Esa itu yang banyak itu belum ada, sebab didalam-Nya yang banyak itu tidak ada, tetapi yang banyak itu datang dari Dia. Karena Yang Esa itu sempurna, tidak memerlukan apa-apa, tidak memiliki apa-apa, maka beremanasilah dari Dia yang banyak itu. Dalam filsafat klasik Yang Asal itu dikatakan sebagai Yang Bekerja atau sebagai Penggerak Pertama. Disitu selalu dikemukakan dua hal yang bertentangan, seperti yang bekerja dan yang dikerjakan, idea dan benda, pencipta dan ciptaan.
Penggerak Pertama itu berada didalam alam nyata, sifatnya transedens. Pada Plotinus terdapat pandangan yang lain, paham ini berasal dari filsafat Timur. Padanya tidak ada yang bertentangan. Padanya alam ini terjadi dari Yang Melimpah, yang mengalir itu tetap menjadi bagian dari Yang Melimpah itu. Bukan Tuhan berada didalam alam, melainkan alam berada didalam Tuhan. Hubungannya sama dengan hubungan benda dengan bayangannya. Makin jauh yang mengalir itu dari Yang Asal, makin tidak sempurna ia. Alam ini bayangan Yang Asal, tetapi tidak sempurna, tidak lengkap, tidak cukup, tidak sama dengan Yang Asal. Kesempurnaan bayangan itu bertingkat menurut jaraknya dari yang Asal. Sama dengan cahaya, semakin jauh dari sumber cahaya, semakin kurang terangnya, akhirnya ujung cahaya akan lenyap dalam kegelapan.[4]
 Perlu dicatat bahwa emanasi itu terjadi tidak didalam ruang dan waktu. Ruang dan waktu terletak pada tingkat yang paling bawah dalam proses emanasi. Ruang dan waktu adalah suatu pengertian tentang dunia benda. Untuk menjaadikan alam, Soul mula-mula menghamparkan sebagian dari kekelannya, lalu membungkusnya dengan waktu. Selanjutnya energinya bekerja terus, menyempurnakan alam semesta itu. Waktu berisi kehidupan yang bermacam-macam, waktu bergerak terus sehingga menghasilkan waktu lalu, sekarang dan yang akan datang. 
C.    Teori Emanasi Menurut Para Filosof Muslim
Sebagaimana yang diketahui diawal pembelajaran Filsafat Islam, bahwa pemikiran para filosof Islam sangat dipengaruhi oleh pemikiran para filosof barat (para filosof Yunani). Diantara para filosof Islam yang terkenal dalam pemikirannya mengenai teori emanasi, yaitu:
1.      Al-Farabi
Al-Farabi mempunyai nama lain yaitu Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi. Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat beliau dilahirkan yakni di desa Wasij di kota Farab pada tahun 257 H (870 M). kadang-kadang ia mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya adalah orang Iran yang menikahi wanita Turki. Banyak karya yang telah beliau hasilkan dari proses mencari dan menggali pengetahuannya melalui filsafat.[5]
Mengenai penciptaan alam, Al-Farabi setuju dengan teori emanasi yang menetapkan bahwa alam ini baru, yang merupakan hasil pancaran. Al-Farabi menyebut teori emanasi sebagai Nadhariyatul Faidl,[6]
Sebenarnya, Al-Farabi menemui kesulitan bagaimana terjadinya yang banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Esa (Allah) jauh dari arti materi dan Maha Sempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan penggerak pertama (Prime Cause), seperti yang dikemukakan Aristoteles. Sementara dalam Islam, Allah adalah Pencipta, yang menciptakan dari tidak ada menjadi ada (Creito ex Nihilo). Untuk meng-Islamkan doktrin ini, Al-Farabi mencari bantuan pada doktrin Neoplatonis monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan Penggerak Aristoteles bergeser menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dengan maksud, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energy yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Oleh karenanya, menurut Filosof Muslim, kun Allah yang termaktub dalam Al-Qur`an ditujukkan kepada syai’ (sesuatu) bukan kepada la syai’ (tidak ada sesuatu).[7]
Emanasi dalam pemikiran Al-Farabi adalah Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran itu timbul suatu maujud lain. Tuhan itu adalah wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunya substansi. Itu disebut dengan Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga. Proses ini terus berlangsung hingga pada akal X.[8]
Emanasi melahirkan alam qadim dari segi zaman (taqaddum zamany) bukan dari segi zat (taqaddum zaty). Oleh karena alam dijadikan Allah secara emanasi sejak azali tanpa diselangi oleh waktu, namun ia sebagai hasil ciptaan, berarti ia adalah baru. Berikut adalah tabel emanasi, agar lebih dapat memahami uraian tentang teori emanasi Al-Farabi.[9]
(Subjek) Akal Yang Ke
Sifat
Berpikir Tentang
Keterangan
Allah sebagai Wajib al-Wujud menghasilkan
Dirinya sendiri sebagai mumkin al-Wujud, menghasilkan

I
Mumkin Wujud
Akal II
Langit Pertama
Masing-masing akal mengurusi satu planet
II
sda
Akal III
Bintang-Bintang
III
sda
Akal IV
Saturnus
IV
sda
Akal V
Yupiter
V
sda
Akal VI
Mars
VI
sda
Akal VII
Matahari
VII
sda
Akal VIII
Venus
VIII
sda
Akal IX
Merkuri
IX
sda
Akal X
Bulan
X
sda

Bumi, roh, materi pertama yang menjadi keempat unsur: udara, api, air dan tanah.
Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya, karena kekuatannya sudah lemah.














2.      Ibnu Sina
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Al-Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa, beliau lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 340H./980M. Beliau lahir saat kondisi kekuasaan Abbasiyah sedang kacau dan mengalami kemunduran. Beliau meninggal pada tahun 428H./1037M. pada usia 57 tahun.[10]
Dalam filsafatnya mengenai penciptaan alam, Ibnu Sina tidaklah jauh berbeda dengan Al-Farabi, sehingga kesulitan yang dirasakan dalam menjelaskan maksud emanasi keduanya sama saja. Sebagaimana yang diketahui bahwa emanasi merupakan ramuan dari seorang filosof barat yakni Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa.
Namun, kemudian pandangan Plotinus di Islamkan oleh Ibnu Sina. Sehingga dari Yang Esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah Pencipta yang aktif. Dia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran. Adapun proses terjadinya pancaran tersebut adalah ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai Akal langsung memikirkan (berta`aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarlah Akal Pertama. Begitu seterusnya hingga proses ke-10.
Berlainan dengan Al-Farabi, bagi Ibnu Sina Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu sifat Wajib Wujud-Nya sebagai pancaran dari Allah dan sifat Mumkin Wujud-Nya jika ditinjau dari hakikat diri-Nya. Dengan demikian, Ibnu Sina membagi objek pemikiran akal-akal menjadi tiga yaitu Allah (Wajib Al-Wujud Li Dzatihi), dirinya akal-akal (Wajib Al-Wujud Li Ghairihi) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (Mumkin Al-Wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina dibawah ini.[11]
Subjek Akal Yang Ke
Sifat
Allah sebagai Wajib al-Wujud menghasilkan
Dirinya sendiri sebagai wajib wujud lighairihi, menghasilkan
Dirinya sendiri mumkin wujud lizatihi
Keterangan
I
Wajib Al-Wujud
Akal II
Jiwa I yang menggerakan
Langit Pertama
Masing-masing akal mengurusi satu planet
II
Mumkin Wujud
Akal III
Jiwa II yang menggerakan
Bintang-Bintang
III
sda
Akal IV
Jiwa III yang menggerakan
Saturnus
IV
sda
Akal V
Jiwa IV yang menggerakan
Yupiter
V
sda
Akal VI
Jiwa V yang menggerakan
Mars
VI
sda
Akal VII
Jiwa I yang menggerakan
Matahari
VII
sda
Akal VIII
Jiwa VII yang menggerakan
Venus
VIII
sda
Akal IX
Jiwa IX yang menggerakan
Merkuri
IX
sda
Akal X
Jiwa I yang menggerakan
Bulan
X
sda


Bumi, roh, materi pertama yang menjadi keempat unsur: udara, api, air dan tanah.
Akal ke X tidak lagi memancarkan akal-akal berikutnya, karena kekuatannya sudah lemah.


3.      Ibnu Maskawaih
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya`qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama itu adalah nama kakeknya yang semula seorang Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Ibnu Maskawaih lahir di Ray (Teheran sekarang). Mengenai tahun lahir, para penulis menyebutkannya berbeda-beda, salah satunya M.M Syarif mengatakan tahun 320H./932M. Sedangkan wafatnya semua sepakat pada tanggal 9 Shafar 421H./16 Februari 1030M.[12]
Sebagaimana Al-Farabi dan Ibnu Sina, Ibnu Maskawaih juga menganut paham emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun, emanasinya berbeda (bertentangan) dengan emanasi Al-Farabi. Menurut Ibnu Maskawaih, entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘Aql dan Fa`al (Akal Aktif). Akal Aktif ini tanpa perantara sesuatupum. Ia qadim,  Sempurna dan tak berubah.
Dari Akal Aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet. Pelimpahan atau pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan didalam alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan berhenti kemaujudan dalam alam ini. Berikut perbedaan emanasi antara Al-Farabi dan Ibnu Maskawaih, yaitu:[13]
a.       Bagi Ibnu Maskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.      Bagi Ibnu Maskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara itu, bagai Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Pertama dan Akal Aktif adalah Akal yang ke-10.
4.      Ikhwan Ash-Shafa’
Ikhwan Ash-Shafa’ adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia berasal dari sekte Syiah Ismailiyah yang lahir ditengah-tengah komunitas Sunni sekitar abad ke-4 H / 10 M di Basrah. Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya dikalangan pengikutnya.[14]
Filsafat emanasi Ikhwan Ash-Shafa’ terpengaruhi oleh Pythagoras dan Plotinus. Menurut Ikhwan Ash-Shafa’, Allah adalah Pencipta dan Mutlak Esa. Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif secara emanasi. Kemudian, Allah menciptakan jiwa dengan perantaraan akal. Selanjutnya, Allah menciptakan materi pertama. Dengan demikian, kalau Allah qadim, lengkap dan sempurna, maka  Akal Pertama ini juga demikian halnya. Pada Akal Pertama lengkap segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantaraan akal, maka jiwa qadim dan lengkap tetapi tidak sempurna.
Demikian juga halnya materi pertama karena terciptanya secara emanasi dengan perantaraan jiwa, maka materi pertama adalah qadim, tidak lengkap dan tidak sempurna. Jadi, Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemurnian tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Ringkasnya rangkaian proses emanasi tersebut sebagai berikut.[15]
a.       Akal Aktif atau Akal Pertama (Al-‘Aql Al-Fa’al)
b.      Jiwa Universal (An-Nafs Al-Kulliyyat)
c.       Materi Pertama (Al-Hayula Al-Ula)
d.      Alam Aktif (At-Thabi’at Al-Fa’ilat)
e.       Materi Absolut dan Materi kedua (Al-Jism Al-Muthlaq)
f.       Alam Planet-Planet (‘Alam Al-Aflak)
g.     Unsur-Unsur alam terendah (‘Anashir Al-‘Alam As-Sufla) yaitu air, tanah, udara dan api.
h. Materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan dan hewan. Sementara itu manusia termasuk kedalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kata emanasi, dalam bahasa Inggris disebut emanation yang berarti proses munculnya sesuatu dari pemancaran, bahwa yang dipancarkan substansinya sama dengan yang memancarkan. Sedangkan dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan.
Menurut Plotinus, alam semesta ini diciptakan melalui proses emanasi. Emanasi itu berlangsung tidak didalam waktu. Emanasi itu laksana cahaya yang beremanasi dari matahari. Dengan beremanasi itu The One tidak mengalami perubahan. Untuk memahami emanasi itu ada baiknya diikuti uraian Hatta sebagai berikut “Yang Esa itu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung didalamnya satupun dari barang yang banyak (makhluk) dasar yang banyak tidak mungkin yang banyak itu sendiri, dasar yang banyak adalah Yang Esa.
Para filosof muslim yang sependapat dengan teori emanasi, yaitu:
a.       Al-Farabi
b.      Ibnu Sina
c.       Ibnu Maskawaih
d.      Ikhwan Ash-Shafa’
Pandangan emanasi Plotinus, di Islamkan oleh keempat orang diatas menjadi bahwa Allah lah yang menciptakan. Allah lah yang memberikan pancarannya kemudia terwujudlah sesuatu.

DAFTAR PUSTAKA

A., Mustofa. 1991. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Hafizh, Mushlihin. 2012. Pengertian Emanasi. Diunduh pada 20 Oktober 2013 pkl. 21.00 WIB dari website http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-emanasi-pengantar.html
Nasution, Harun. 1995. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cetakan ke-9. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsfat Umum (Akal dan Hati Sejak Thales sampai James). Cetakan ke-2. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zar, Sirajuddin. 2012. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya). Cetakan ke-5. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.







[1] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya), Cetakan ke-5, 2012, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 1
[3] Dr. Ahmad Tafsir, 1992, Filsafat Umum (Akal dan Hati sejak Thales sampai James), Cetakan ke-2, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hlm. 58
[4] Ibid. hlm. 61
[5] Drs. A. Mustofa, 1997, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 125-126
[6] Ibid. hlm. 129
[7] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Op. Cit., hlm. 74
[8] Prof. Dr. Harun Nasution, 1995, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Cetakan ke-9, Jakarta: PT Bulan Bintang, hlm. 27
[9] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Op. Cit., hlm. 77
[10] Drs. H. A. Mustofa, Op. Cit., hlm. 188-189
[11] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Op. Cit., hlm. 99-101
[12] Drs. H. A. Mustofa, Op. Cit., hlm. 166
[13] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Op. Cit., hlm. 131
[14] Ibid., hlm. 138
[15] Ibid. hlm. 148-149
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

3 comments:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger