Guru dalam Sosiologi
Pendidikan
(Suatu Pekerjaan atau Profesi)
Oleh: Rudini[1]
NIM: 14166210018
Email: rudinialsawari9@gmail.com
A. Pendahuluan
Guru merupakan sosok penting dalam menciptakan suasana pendidikan yang
nyaman dan berkualitas. Oleh karenanya, seorang calon guru harus memiliki empat
kompetensi yaitu paedagogik, profesionalisme, kepribadian dan sosial, sebelum
kemudian ikut andil dalam dunia pendidikan. Hal ini sebagai usaha untuk
mempertahankan sosok guru yang ideal.
Dahulu, sebelum teknologi dan informasi berkembang dengan pesat, guru
dikenal sebagai sosok yang dihormati dan dipandang seperti para priyai. Dalam
berbagai upacara dan perayaan, para guru duduk sejajar dengan para demang atau
wedana. Secara ekonomis, penghasilan guru dahulu sangat memadai bahkan lebih.
Secara psikologis, harga diri dan wibawa para guru juga sangat tinggi.[2] Singkatnya,
dalam struktural masyarakat kedudukan guru sangat tinggi dan terhormat.
Namun, keadaan guru yang demikian sangat susah dijumpai di masa sekarang
ini. Kedudukan para guru dalam pandangan masyarakat sangat mengalami
kemerosotan. Salah satu faktornya adalah karena orientasi guru bukan lagi hanya
untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, tetapi lebih kepada
pemenuhan kebutuhan ekonomi saja. Penyebabnya, guru sekarang berpenghasilan
jauh di bawah rata-rata kalangan profesional lainnya.[3]
Selain itu, wibawa para guru di mata para peserta didik juga sangat jatuh.
Peserta didik sekarang, lebih khusus lagi pada sekolah-sekolah menengah yang
berada di perkotaan cenderung menghormati guru karena ingin mendapatkan nilai
tinggi.[4]
Hal ini tentu saja menjadi renungan bersama, sebab yang demikian itu
penyebabnya bukan hanya dari luar. Melainkan, pada diri guru itu sendiri, yang
memang ada di antara mereka yang tidak menjunjung tinggi nilai moralitas dan
kurang bisa memberikan teladan kepada peserta didik.
Tulisan ini bermaksud mengemukakan apa dan
bagaimana guru dalam kehidupan masyarakat.
B. Pengertian Guru
Banyak istilah yang digunakan dalam menyebutkan orang yang memberikan ilmu
kepada orang lain. Istilah tersebut di antaranya adalah Pendidik, Guru, Dosen,
Dosen Besar. Selain itu, ada juga istilah yang digunakan dalam pendidikan
Islam, yang diambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah yaitu al-Murabbi,
al-Mua’llim, al-Muzakki, al-‘Ulama, al-Rasikhun fi al-‘Ilm, Ahlu al-Dzikr,
al-Muaddib, al-Mursyid, al-Ustadz, Ulul al-Bab, Ulu al-Nuha, al-Faqih, dan al-Muwa’id.[5]
Namun, istilah-istilah tersebut tidak akan dijelaskan satu per satu untuk
membatasi pembahasan pada tulisan ini. Adapun istilah yang digunakan dalam
tulisan ini adalah Guru.
Alasan mengambil istilah guru adalah karena sudah terlegitimasi dalam
perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen dicantumkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.[6]
Hal ini menegaskan bahwa guru itu kompleks.
Adapun pengertian lain sebagaimana yang dijelaskan oleh NA. Ametembun bahwa
guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap
pendidikan murid-murid, baik secara individual maupun klasikal, di sekolah
maupun di luar sekolah.[7]
Sementara itu, Hadani Nawawi juga menjelaskan bahwa guru adalah orang yang
kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah/kelas. Secara khusus,
beliau menjelaskan bahwa guru adalah orang yang ikut bertanggung jawab dalam
membantu anak mencapai kedewasaan masing-masing. Guru bukanlah sekedar orang
yang berdiri di depan kelas menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan
tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa besar serta
kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota
masyarakat sebagai orang dewasa.[8]
Dalam pandangan masyarakat, guru adalah orang yang melaksanakan pendidikan
di tempat-tempat tertentu, tidak harus di pendidikan formal, melainkan juga
bisa di Masjid, Surau/Musholla, di rumah dan sebagainya.[9]
Hal ini menunjukan bahwa makna guru sangat kompleks dan tidak sesederhana
sebagaimana sebutannya.
Oleh karenanya, agar seseorang bisa menjadi seorang guru perlu memenuhi
beberapa persyaratan. Dalam pendidikan Islam, Zakiyah Darajat menyebutkan bahwa
syarat-syarat tersebut yaitu:[10]
1.
Taqwa kepada Allah
2.
Berilmu
3.
Sehat Jasmani
4.
Berkelakuan Baik (Sehat Ruhani)
Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, agar seseorang dapat
menjadi guru harus memenuhi persyaratan berikut:[11]
1.
Berijazah
2.
Profesional
3.
Sehat Jasmani dan Rohani
4.
Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berkepribadian yang luhur
5.
Bertanggung jawab
6.
Berjiwa nasional
Dengan adanya persyaratan tersebut
mengindikasikan bahwa tidak semua orang bisa melaksanakan tugas-tugas guru atau
berperan sebagai guru. Hal demikian juga menunjukan bahwa sosok guru bukan saja
sebagai penyalur ilmu pengetahuan, melainkan juga sebagai teladan yang akan
ditiru oleh anak-anak didiknya. Oleh karenanya, seorang guru harus menjunjung
tinggi nilai moralitas kapan dan di manapun berada.
C. Peranan Guru
Dalam pembahasan sosiologi, dikenal teori struktural fungsional dimana
kondisi masyarakat terstruktur berdasarkan peran individu masing-masing dengan
tugas yang diemban berbeda-beda. Guru merupakan bagian dari strutural sekolah
yang memiliki peran penting dalam mencapai tujuan pendidikan sekolah, bahkan
nasional. Maka, agar tercapainya tujuan pendidikan tersebut guru harus
benar-benar melaksanakan perannya di sekolah.
Namun, seringkali terjadi konflik antara peran utama sebagai guru dan
perannya sebagai individu yang hidup dalam keluarganya masing-masing, dalam hal
ini berlaku teori konflik dalam sosiologi. Konflik yang dimaksud terjadi pada
guru adalah pada satu sisi guru harus benar-benar maksimal mendedikasikan
dirinya sebagai tenaga pendidik di suatu sekolah, tetapi karena penghasilan
atau pendapatan yang diperoleh sebagai guru belum bisa menutupi kebutuhan
ekonominya, maka guru harus mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi
kebutuhannya itu. Oleh karenanya, perannya sebagai guru menjadi terbagi dan
tidak fokus mengakibatkan kurang maksimalnya dedikasi yang diberikan. Meskipun
dalam mindset tetap loyal menjadi guru, tetapi seringkali bercabang
pemikirannya kepada sesuatu yang lain.
Selanjutnya, akan diuraikan tentang peranan guru. Apabila ditelusuri konsep
peranan secara lebih detail, maka akan ditemukan konsep fungsi. Hal ini
dibuktikan sebagaimana penjelasan berikut. Setiap orang memiliki suatu posisi
dalam ruang sosial seperti kelompok, keluarga, komunitas atau masyarakat.
Posisi merupakan kedudukan seseorang dalam suatu kelompok atau kedudukan dalam
hubungannya dengan kelompok lain, misalnya posisi sebagai guru. Posisi sebagai
guru memiliki hak dan kewajiban yang dipikulnya, dikenal sebagai status.
Kemudian, perilaku dari orang yang memiliki status disebut peranan. Ketika
peranan ini dijalankan, ia memiliki konsekuensi terhadap penyesuaian atau
adaptif terhadap sistem. Inilah yang kemudian dikenal sebagai fungsi. Dalam
titik ini, guru dilihat sebagai kelembagaan, bukan sebagai posisi semata.
Fungsi memiliki dua dimensi, yaitu fungsi laten dan manifes. Fungsi laten
merupakan berbagai konsekuensi dari praktik kultural yang tidak sengaja atau
tidak disadari, membantu penyesuaian atau adaptasi sistem. Sedangkan fungsi
manifes merupakan berbagai konsekuensi dari praktik kultural yang disengaja
atau disadari, membantu penyesuaian atau adaptasi sistem.[12]
Melalui cara pandang ini, maka guru dapat dilihat dari dua fungsi tersebut,
yaitu fungsi manifes dan laten.
1.
Fungsi Manifes dari Guru
Fungsi yang diharapkan, disengaja dan disadari
dari guru oleh masyarakat pada suatu ruang terdiri dari:
a.
Guru sebagai Pengajar
Di belahan bumi manapun, baik pada masyarakat
maju atau berkembang, masyarakat menyadari dan mengharapkan agar guru menjadi
pengajar bagi anak-anaknya. Masyarakat mengharapkan guru dapat memberikan
pengetahuan dan keterampilan dasar yang dibutuhkan oleh anak-anaknya dalam
mengarungi kehidupan kelak seperti berhitung, membaca dan menulis.[13]
Pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan oleh guru harus disesuaikan dengan
kebutuhan geografis lingkungan sekitar dan kondisi masyarakatnya.
b.
Guru sebagai Pendidik
Dalam masyarakat, guru tidak hanya diharapkan
untuk sekedar mengajarkan pengetahuan dan keterampilan sebagaimana yang
dijelaskan di atas. Melainkan juga mendidik peserta didik agar menjadi manusia
yang berakhlak, berbudi pekerti luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
moralitas.[14]
c.
Guru sebagai Teladan
Guru dikonstruksi oleh para peserta didik,
terutama pada Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) sebagai makhluk
yang mulia, seperti makhluk “setengah dewa”. Oleh sebab itu, apa saja yang dikatakan,
dilakukan dan diperbuat oleh guru dipandang sebagai suatu kebenaran, dari sisi
manapun, baik dalam cara maupun substansi.[15] Oleh
karenanya, guru harus dapat menampilkan sesuatu yang dapat menjadi teladan bagi
peserta didiknya. Sehingga yang ditiru para peserta didik dari gurunya adalah
suatu hal positif yang dapat membantunya berkembang.
d.
Guru sebagai Motivator
Masyarakat mengharapkan guru dapat menjalankan
fungsinya sebagai motivator bagi para peserta didik. Guru diharapkan mampu
memberikan dorongan, kekuatan, motivasi, dan energi yang besar kepada para
peserta didik agar mereka mampu meraih cita-citanya masing-masing.[16]
2.
Fungsi Laten dari Guru
Fungsi yang tidak diharapkan, disengaja dan
disadari dari guru terhadap masyarakat pada suatu ruang terdiri dari:
a.
Guru sebagai Pelabel
Pelabelan di sini maksudnya adalah doktrin
sikap yang diberikan guru kepada peserta didiknya. Apabila guru salah
melabelkan sikap yang seharusnya kepada peserta didiknya, maka mereka akan
tumbuh sebagaimana yang dilabelkan kepadanya. Sebenarnya, apabila dilihat
sekilas hal ini mirip dengan keteladanan. Namun, yang membedakan adalah doktrin
atau pengaruh yang diberikan. Bila dalam keteladanan, penampilan sangat
penting. Maka, dalam pelabelan doktrin dan pengaruh dari penampilan itu yang
ditanamkan dalam diri anak merupakan salah satu yang jadi tolok ukur mendatang.
b.
Guru sebagai “Penyambung Lidah Kelas Menengah
Atas”
Dalam masyarakat, konstruksi sosial tentang
nilai dan norma tidaklah homogen atau seragam, tetapi sebaliknya heterogen atau
beragam. Keberagaman ini mencerminkan stratifikasi sosial dalam masyarakat, di
mana masyarakat dibagi ke dalam berbagai kelas yang berbeda; kelas atas,
menengah dan bawah. Apa yang disosialisasikan oleh guru dalam ruang kelas cenderung
merupakan nilai-nilai dan norma-norma dari kelas menengah atas ketimbang apa
yang dimiliki oleh kelas menengah bawah. Misalnya, konsep bersih yang
dideskripsikan oleh guru mengikuti pandangan kelas menengah atas, bukan kelas
menengah bawah. Dalam konteks inilah, maka guru dipandang sebagai “Penyambung
Lidah Kelas Menengah Atas”.[17]
c.
Guru sebagai Pengekal Status Quo
Keadaan status quo menunjukan pada suatu
keadaan yang relatif dalam situasi keseimbangan, tidak berubah, atau stagnan.
Keadaan seperti itu dikekalkan oleh guru melalui peranan yang dimilikinya.
Sebagaimana yang sudah dituliskan sebelumnya, guru senantiasa menanamkan
nilai-nilai dan norma-norma dari kelas menengah atas. Dengan demikian, peserta
didik dari kelas menengah atas memiliki keuntungan dan keunggulan dibandingkan
dari peserta didik kelas menengah bawah, sebab peserta didik kelas menengah
atas mempelajari apa yang telah mereka miliki, lakukan dan laksanakan.
Konsekuensinya adalah peserta didik kelas menengah bawah terus tertinggal
dalam persaingan dari peserta didik kelas menengah atas. Oleh sebab itu, ide
pendidikan sebagai alat mobilitas sosial menjadi “pepesan kosong” seperti
dilihat oleh teoritisi struktural konflik. Di sisi lain, pendidikan telah
mencabut akar nilai dan norma para peserta didik yang berasal dari kalangan
kelas menengah bawah. Akibatnya, apabila mereka gagal dalam kompetisi dengan
para peserta didik kelas menengah atas dalam lapangan pekerjaan, mereka
cenderung akan gagal pula dalam lapangan kehidupan secara lebih luas. Sebab,
akar nilai dan norma kelas menengah bawah telah tercabut dalam diri mereka,
sementara harapan kehidupan telah terbentuk sesuai dengan harapan yang dimiliki
oleh peserta didik kelas menengah atas.[18]
D. Guru sebagai
Pekerjaan
Setelah sedikit memahami apa dan bagaimana guru dalam pandangan masyarakat,
selanjutnya perlu dikaji kembali tentang apakah guru sebagai pekerjaan atau
sebagai profesi.
Pekerjaan merupakan suatu rangkaian aktivitas untuk memperoleh pendapatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Pekerjaan guru, dilihat dari perspektif
emik merupakan “pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan domestik, yang dilakukan
dalam rumah tangga. Aktifitas seperti mengasuh, membesarkan dan mendidik anak
di dalam keluarga dapat diperbesar cakupan, jangkauan dan kuantitasnya dengan
memperluas ruang dan memperpanjang waktu melalui memasuki pekerjaan guru.
Ketika guru dipandang sebagai “pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan domestik,
maka pekerjaan ini dilakukan seperti melakukan pekerjaan domestik. Maka guru
dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang monoton, karena hanya sebagai “pekerjaan
lanjutan” saja. Coba perhatikan contoh berikut ini:
Dalam masyarakat Minangkabau tradisional
mempersiapkan masakan dalam rumah tangga merupakan tugas perempuan, khususnya
isteri. Tugas ini dilakukan setiap hari dan terus menerus oleh isteri, sehingga
memasak dirasakan sebagai suatu pekerjaan yang monoton dan tidak jarang
membosankan. Berbeda jika seorang laki-laki yang bekerja sebagai “tukang
masak”, dikenal sebagai koki dalam konsep modern, pada suatu rumah makan atau
restoran, tidak akan melihat apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang monoton
dan membosankan, karena dia melihat apa yang dia lakukan sebagai profesi.[19]
E. Guru sebagai
Profesi
Sesuatu itu dapat dikatakan sebagai profesi apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:[20]
1.
Sumber Pendapatan Utama
Apabila seorang guru melakukan sesuatu dengan
baik dan optimal diperkirakan sang guru bisa meraih kompetensi yang seharusnya
dimiliki. Selanjutnya, bila kompetensi ini telah menjadi bagian dari apa yang
menjadi kegiatannya sebagai guru, maka diperkirakan dia akan lulus sertifikasi
guru. Konsekuensi logis dari seorang guru yang lolos sertifikasi adalah
peningkatan penerimaan pendapatan.
2.
Curahan Waktu Kerja Terbesar
Oleh karena sikap profesional yang harus
senantiasa dipupuk dan dipelihara, maka seorang guru harus benar-benar
mencurahkan waktu kerja yang terbesarnya sebagai guru. Meskipun guru tersebut
memiliki pekerjaan lain di luar.
3.
Keahlian dan Kompetensi Khusus
Keahlian guru meliputi; mengajar, mendidik,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik.
Sedangkan kompetensi guru meliputi; kompetensi paedagogik, profesional,
kepribadian dan sosial.
4.
Pendidikan dan Pelatihan Khusus
Guru sebagai suatu profesi tentu saja melalui
pendidikan terlebih dahulu. Seorang calon guru harus menyelesaikan pendidikan
S1 keguruan yang berhubungan dengan isi dan substansi yang akan diajarkan
seperti Matematika, IPS, IPA, PAI dan sebagainya.
5.
Standarisasi
Dalam profesi guru, standarisasi dilakukan
melalui sertifikasi guru. Konsekuensi logisnya adalah adanya standarisasi
pendapatan guru. Namun, hal itu akan diperoleh dengan penguasaan standarisasi
keahlian dan kompetensi terlebih dahulu. Dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen dijelaskan bahwa guru yang telah lulus sertifikasi akan
memperoleh tunjangan profesi sebanyak satu bulan gaji pokok yang mereka miliki.
6.
Organisasi dan Kode Etik Profesi; Kode Etik
PGRI yaitu:
a.
Guru berbakti membimbing peserta didik untuk
membentuk manusia Indonesia seutuhnya berjiwa pancasila.
b.
Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran
profesional.
c.
Guru berusaha memperoleh informasi tentang
peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
d.
Guru menciptakan suasana sebaik-baiknya yang
menunjang berhasilnya proses pembelajaran.
e.
Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua
peserta didik dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa
tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
f.
Guru secara pribadi dan bersama-sama
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
g.
Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat
kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial.
h.
Guru secara bersama-sama memelihara dan
meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
i.
Guru melaksanakan segala kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang pendidikan.[21]
Berdasarkan kriteria tersebut, jelas terlihat
bahwa guru merupakan suatu profesi. Selain itu, di Indonesia, guru dipandang
sebagai suatu profesi juga telah terlegitimasi dalam UU RI No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Hal ini menguatkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa tidak semua orang dapat melaksanakan dan memerankan peran sebagai guru.
Namun, dalam hal mendidik dan menebarkan kebaikan semua orang dapat
melakukannya.
F. Kesimpulan
Dahulu, masyarakat sangat menghormati profesi guru. Bahkan profesi ini
dianggap terhormat dan tinggi. Namun pada masyarakat sekarang ini, sebagian
memang betul masih hormat pada profesi ini, tetapi terkadang dipandang rendah
karena penghasilan yang sangat minim, yang jauh dengan profesi lainnya. Bagi
sebagian guru yang merasakan tercekiknya kebutuhan ekonomi, mereka harus
mendapatkan penghasilan dari luar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga,
fokus pekerjaan tidak lagi menjadi guru melainkan bercabang kepada pekerjaan
lain. Hal ini, menurut hemat penulis tentu saja menjadi salah satu faktor
kurang maksimalnya proses pendidikan yang ada selama ini. Walaupun ada
sertifikasi dan semacamnya, tetapi tetap saja pada prakteknya hal ini masih
belum merata.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2014. Undang-undang Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Tahun 2005).
Cetakan VII. Jakarta: Sinar Grafika.
Damsar. 2015. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Cetakan III. Jakarta:
Kencana.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2014. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi
Edukatif. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Nata, Abuddin. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Cetakan II. Jakarta:
Kencana.
Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam. Cetakan IV. Jakarta:
Kalam Mulia.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
[1] Mahasiswa Psikologi Pendidikan Islam Semester II IAIN Syekh Nurjati Cirebon
[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 220
[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, hlm. 220
[4] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, hlm. 220
[5] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012),
Cetakan II, hlm. 159-160
[6] Anonim, Undang-undang Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Tahun 2005), (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014), Cetakan VII, hlm. 3
[7] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), hlm 26
[8] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015),
Cetakan IV, hlm. 208
[9] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
hlm. 26
[10] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
hlm. 27
[11] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif,
hlm. 28
[12] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2015),
Cetakan III, hlm. 155-156.
[13] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 156
[14] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 157
[15] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 157
[16] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 158
[17] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 161
[18] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 162
[19] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 149
[20] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 151-154
[21] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 154-155
0 comments:
Posting Komentar