Home » » Guru dalam Sosiologi Pendidikan (Suatu Pekerjaan atau Profesi)

Guru dalam Sosiologi Pendidikan (Suatu Pekerjaan atau Profesi)

 

Guru dalam Sosiologi Pendidikan

(Suatu Pekerjaan atau Profesi)

Oleh: Rudini[1]

NIM: 14166210018

Email: rudinialsawari9@gmail.com

A.      Pendahuluan

Guru merupakan sosok penting dalam menciptakan suasana pendidikan yang nyaman dan berkualitas. Oleh karenanya, seorang calon guru harus memiliki empat kompetensi yaitu paedagogik, profesionalisme, kepribadian dan sosial, sebelum kemudian ikut andil dalam dunia pendidikan. Hal ini sebagai usaha untuk mempertahankan sosok guru yang ideal.

Dahulu, sebelum teknologi dan informasi berkembang dengan pesat, guru dikenal sebagai sosok yang dihormati dan dipandang seperti para priyai. Dalam berbagai upacara dan perayaan, para guru duduk sejajar dengan para demang atau wedana. Secara ekonomis, penghasilan guru dahulu sangat memadai bahkan lebih. Secara psikologis, harga diri dan wibawa para guru juga sangat tinggi.[2] Singkatnya, dalam struktural masyarakat kedudukan guru sangat tinggi dan terhormat.

Namun, keadaan guru yang demikian sangat susah dijumpai di masa sekarang ini. Kedudukan para guru dalam pandangan masyarakat sangat mengalami kemerosotan. Salah satu faktornya adalah karena orientasi guru bukan lagi hanya untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan ekonomi saja. Penyebabnya, guru sekarang berpenghasilan jauh di bawah rata-rata kalangan profesional lainnya.[3]

Selain itu, wibawa para guru di mata para peserta didik juga sangat jatuh. Peserta didik sekarang, lebih khusus lagi pada sekolah-sekolah menengah yang berada di perkotaan cenderung menghormati guru karena ingin mendapatkan nilai tinggi.[4] Hal ini tentu saja menjadi renungan bersama, sebab yang demikian itu penyebabnya bukan hanya dari luar. Melainkan, pada diri guru itu sendiri, yang memang ada di antara mereka yang tidak menjunjung tinggi nilai moralitas dan kurang bisa memberikan teladan kepada peserta didik.

Tulisan ini bermaksud mengemukakan apa dan bagaimana guru dalam kehidupan masyarakat.

B.       Pengertian Guru

Banyak istilah yang digunakan dalam menyebutkan orang yang memberikan ilmu kepada orang lain. Istilah tersebut di antaranya adalah Pendidik, Guru, Dosen, Dosen Besar. Selain itu, ada juga istilah yang digunakan dalam pendidikan Islam, yang diambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah yaitu al-Murabbi, al-Mua’llim, al-Muzakki, al-‘Ulama, al-Rasikhun fi al-‘Ilm, Ahlu al-Dzikr, al-Muaddib, al-Mursyid, al-Ustadz, Ulul al-Bab, Ulu al-Nuha, al-Faqih, dan al-Muwa’id.[5] Namun, istilah-istilah tersebut tidak akan dijelaskan satu per satu untuk membatasi pembahasan pada tulisan ini. Adapun istilah yang digunakan dalam tulisan ini adalah Guru.

Alasan mengambil istilah guru adalah karena sudah terlegitimasi dalam perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dicantumkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.[6] Hal ini menegaskan bahwa guru itu kompleks.

Adapun pengertian lain sebagaimana yang dijelaskan oleh NA. Ametembun bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual maupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah.[7]

Sementara itu, Hadani Nawawi juga menjelaskan bahwa guru adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah/kelas. Secara khusus, beliau menjelaskan bahwa guru adalah orang yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak mencapai kedewasaan masing-masing. Guru bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa besar serta kreatif dalam mengarahkan perkembangan anak didiknya untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa.[8]

Dalam pandangan masyarakat, guru adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus di pendidikan formal, melainkan juga bisa di Masjid, Surau/Musholla, di rumah dan sebagainya.[9] Hal ini menunjukan bahwa makna guru sangat kompleks dan tidak sesederhana sebagaimana sebutannya.

Oleh karenanya, agar seseorang bisa menjadi seorang guru perlu memenuhi beberapa persyaratan. Dalam pendidikan Islam, Zakiyah Darajat menyebutkan bahwa syarat-syarat tersebut yaitu:[10]

1.         Taqwa kepada Allah

2.         Berilmu

3.         Sehat Jasmani

4.         Berkelakuan Baik (Sehat Ruhani)

Sedangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, agar seseorang dapat menjadi guru harus memenuhi persyaratan berikut:[11]

1.         Berijazah

2.         Profesional

3.         Sehat Jasmani dan Rohani

4.         Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkepribadian yang luhur

5.         Bertanggung jawab

6.         Berjiwa nasional

Dengan adanya persyaratan tersebut mengindikasikan bahwa tidak semua orang bisa melaksanakan tugas-tugas guru atau berperan sebagai guru. Hal demikian juga menunjukan bahwa sosok guru bukan saja sebagai penyalur ilmu pengetahuan, melainkan juga sebagai teladan yang akan ditiru oleh anak-anak didiknya. Oleh karenanya, seorang guru harus menjunjung tinggi nilai moralitas kapan dan di manapun berada.

C.      Peranan Guru

Dalam pembahasan sosiologi, dikenal teori struktural fungsional dimana kondisi masyarakat terstruktur berdasarkan peran individu masing-masing dengan tugas yang diemban berbeda-beda. Guru merupakan bagian dari strutural sekolah yang memiliki peran penting dalam mencapai tujuan pendidikan sekolah, bahkan nasional. Maka, agar tercapainya tujuan pendidikan tersebut guru harus benar-benar melaksanakan perannya di sekolah.

Namun, seringkali terjadi konflik antara peran utama sebagai guru dan perannya sebagai individu yang hidup dalam keluarganya masing-masing, dalam hal ini berlaku teori konflik dalam sosiologi. Konflik yang dimaksud terjadi pada guru adalah pada satu sisi guru harus benar-benar maksimal mendedikasikan dirinya sebagai tenaga pendidik di suatu sekolah, tetapi karena penghasilan atau pendapatan yang diperoleh sebagai guru belum bisa menutupi kebutuhan ekonominya, maka guru harus mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Oleh karenanya, perannya sebagai guru menjadi terbagi dan tidak fokus mengakibatkan kurang maksimalnya dedikasi yang diberikan. Meskipun dalam mindset tetap loyal menjadi guru, tetapi seringkali bercabang pemikirannya kepada sesuatu yang lain.

Selanjutnya, akan diuraikan tentang peranan guru. Apabila ditelusuri konsep peranan secara lebih detail, maka akan ditemukan konsep fungsi. Hal ini dibuktikan sebagaimana penjelasan berikut. Setiap orang memiliki suatu posisi dalam ruang sosial seperti kelompok, keluarga, komunitas atau masyarakat. Posisi merupakan kedudukan seseorang dalam suatu kelompok atau kedudukan dalam hubungannya dengan kelompok lain, misalnya posisi sebagai guru. Posisi sebagai guru memiliki hak dan kewajiban yang dipikulnya, dikenal sebagai status.

Kemudian, perilaku dari orang yang memiliki status disebut peranan. Ketika peranan ini dijalankan, ia memiliki konsekuensi terhadap penyesuaian atau adaptif terhadap sistem. Inilah yang kemudian dikenal sebagai fungsi. Dalam titik ini, guru dilihat sebagai kelembagaan, bukan sebagai posisi semata. Fungsi memiliki dua dimensi, yaitu fungsi laten dan manifes. Fungsi laten merupakan berbagai konsekuensi dari praktik kultural yang tidak sengaja atau tidak disadari, membantu penyesuaian atau adaptasi sistem. Sedangkan fungsi manifes merupakan berbagai konsekuensi dari praktik kultural yang disengaja atau disadari, membantu penyesuaian atau adaptasi sistem.[12] Melalui cara pandang ini, maka guru dapat dilihat dari dua fungsi tersebut, yaitu fungsi manifes dan laten.

1.         Fungsi Manifes dari Guru

Fungsi yang diharapkan, disengaja dan disadari dari guru oleh masyarakat pada suatu ruang terdiri dari:

a.        Guru sebagai Pengajar

Di belahan bumi manapun, baik pada masyarakat maju atau berkembang, masyarakat menyadari dan mengharapkan agar guru menjadi pengajar bagi anak-anaknya. Masyarakat mengharapkan guru dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang dibutuhkan oleh anak-anaknya dalam mengarungi kehidupan kelak seperti berhitung, membaca dan menulis.[13] Pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan oleh guru harus disesuaikan dengan kebutuhan geografis lingkungan sekitar dan kondisi masyarakatnya.

b.        Guru sebagai Pendidik

Dalam masyarakat, guru tidak hanya diharapkan untuk sekedar mengajarkan pengetahuan dan keterampilan sebagaimana yang dijelaskan di atas. Melainkan juga mendidik peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak, berbudi pekerti luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas.[14]

c.         Guru sebagai Teladan

Guru dikonstruksi oleh para peserta didik, terutama pada Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) sebagai makhluk yang mulia, seperti makhluk “setengah dewa”. Oleh sebab itu, apa saja yang dikatakan, dilakukan dan diperbuat oleh guru dipandang sebagai suatu kebenaran, dari sisi manapun, baik dalam cara maupun substansi.[15] Oleh karenanya, guru harus dapat menampilkan sesuatu yang dapat menjadi teladan bagi peserta didiknya. Sehingga yang ditiru para peserta didik dari gurunya adalah suatu hal positif yang dapat membantunya berkembang.

d.        Guru sebagai Motivator

Masyarakat mengharapkan guru dapat menjalankan fungsinya sebagai motivator bagi para peserta didik. Guru diharapkan mampu memberikan dorongan, kekuatan, motivasi, dan energi yang besar kepada para peserta didik agar mereka mampu meraih cita-citanya masing-masing.[16]

2.         Fungsi Laten dari Guru

Fungsi yang tidak diharapkan, disengaja dan disadari dari guru terhadap masyarakat pada suatu ruang terdiri dari:

a.        Guru sebagai Pelabel

Pelabelan di sini maksudnya adalah doktrin sikap yang diberikan guru kepada peserta didiknya. Apabila guru salah melabelkan sikap yang seharusnya kepada peserta didiknya, maka mereka akan tumbuh sebagaimana yang dilabelkan kepadanya. Sebenarnya, apabila dilihat sekilas hal ini mirip dengan keteladanan. Namun, yang membedakan adalah doktrin atau pengaruh yang diberikan. Bila dalam keteladanan, penampilan sangat penting. Maka, dalam pelabelan doktrin dan pengaruh dari penampilan itu yang ditanamkan dalam diri anak merupakan salah satu yang jadi tolok ukur mendatang.

b.        Guru sebagai “Penyambung Lidah Kelas Menengah Atas”

Dalam masyarakat, konstruksi sosial tentang nilai dan norma tidaklah homogen atau seragam, tetapi sebaliknya heterogen atau beragam. Keberagaman ini mencerminkan stratifikasi sosial dalam masyarakat, di mana masyarakat dibagi ke dalam berbagai kelas yang berbeda; kelas atas, menengah dan bawah. Apa yang disosialisasikan oleh guru dalam ruang kelas cenderung merupakan nilai-nilai dan norma-norma dari kelas menengah atas ketimbang apa yang dimiliki oleh kelas menengah bawah. Misalnya, konsep bersih yang dideskripsikan oleh guru mengikuti pandangan kelas menengah atas, bukan kelas menengah bawah. Dalam konteks inilah, maka guru dipandang sebagai “Penyambung Lidah Kelas Menengah Atas”.[17]

c.         Guru sebagai Pengekal Status Quo

Keadaan status quo menunjukan pada suatu keadaan yang relatif dalam situasi keseimbangan, tidak berubah, atau stagnan. Keadaan seperti itu dikekalkan oleh guru melalui peranan yang dimilikinya. Sebagaimana yang sudah dituliskan sebelumnya, guru senantiasa menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari kelas menengah atas. Dengan demikian, peserta didik dari kelas menengah atas memiliki keuntungan dan keunggulan dibandingkan dari peserta didik kelas menengah bawah, sebab peserta didik kelas menengah atas mempelajari apa yang telah mereka miliki, lakukan dan laksanakan.

Konsekuensinya adalah peserta didik kelas menengah bawah terus tertinggal dalam persaingan dari peserta didik kelas menengah atas. Oleh sebab itu, ide pendidikan sebagai alat mobilitas sosial menjadi “pepesan kosong” seperti dilihat oleh teoritisi struktural konflik. Di sisi lain, pendidikan telah mencabut akar nilai dan norma para peserta didik yang berasal dari kalangan kelas menengah bawah. Akibatnya, apabila mereka gagal dalam kompetisi dengan para peserta didik kelas menengah atas dalam lapangan pekerjaan, mereka cenderung akan gagal pula dalam lapangan kehidupan secara lebih luas. Sebab, akar nilai dan norma kelas menengah bawah telah tercabut dalam diri mereka, sementara harapan kehidupan telah terbentuk sesuai dengan harapan yang dimiliki oleh peserta didik kelas menengah atas.[18]

D.      Guru sebagai Pekerjaan

Setelah sedikit memahami apa dan bagaimana guru dalam pandangan masyarakat, selanjutnya perlu dikaji kembali tentang apakah guru sebagai pekerjaan atau sebagai profesi.

Pekerjaan merupakan suatu rangkaian aktivitas untuk memperoleh pendapatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Pekerjaan guru, dilihat dari perspektif emik merupakan “pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan domestik, yang dilakukan dalam rumah tangga. Aktifitas seperti mengasuh, membesarkan dan mendidik anak di dalam keluarga dapat diperbesar cakupan, jangkauan dan kuantitasnya dengan memperluas ruang dan memperpanjang waktu melalui memasuki pekerjaan guru.

Ketika guru dipandang sebagai “pekerjaan lanjutan” dari pekerjaan domestik, maka pekerjaan ini dilakukan seperti melakukan pekerjaan domestik. Maka guru dapat dikatakan sebagai pekerjaan yang monoton, karena hanya sebagai “pekerjaan lanjutan” saja. Coba perhatikan contoh berikut ini:

Dalam masyarakat Minangkabau tradisional mempersiapkan masakan dalam rumah tangga merupakan tugas perempuan, khususnya isteri. Tugas ini dilakukan setiap hari dan terus menerus oleh isteri, sehingga memasak dirasakan sebagai suatu pekerjaan yang monoton dan tidak jarang membosankan. Berbeda jika seorang laki-laki yang bekerja sebagai “tukang masak”, dikenal sebagai koki dalam konsep modern, pada suatu rumah makan atau restoran, tidak akan melihat apa yang dilakukannya sebagai sesuatu yang monoton dan membosankan, karena dia melihat apa yang dia lakukan sebagai profesi.[19]

E.       Guru sebagai Profesi

Sesuatu itu dapat dikatakan sebagai profesi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:[20]

1.         Sumber Pendapatan Utama

Apabila seorang guru melakukan sesuatu dengan baik dan optimal diperkirakan sang guru bisa meraih kompetensi yang seharusnya dimiliki. Selanjutnya, bila kompetensi ini telah menjadi bagian dari apa yang menjadi kegiatannya sebagai guru, maka diperkirakan dia akan lulus sertifikasi guru. Konsekuensi logis dari seorang guru yang lolos sertifikasi adalah peningkatan penerimaan pendapatan.

2.         Curahan Waktu Kerja Terbesar

Oleh karena sikap profesional yang harus senantiasa dipupuk dan dipelihara, maka seorang guru harus benar-benar mencurahkan waktu kerja yang terbesarnya sebagai guru. Meskipun guru tersebut memiliki pekerjaan lain di luar.

3.         Keahlian dan Kompetensi Khusus

Keahlian guru meliputi; mengajar, mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Sedangkan kompetensi guru meliputi; kompetensi paedagogik, profesional, kepribadian dan sosial.

4.         Pendidikan dan Pelatihan Khusus

Guru sebagai suatu profesi tentu saja melalui pendidikan terlebih dahulu. Seorang calon guru harus menyelesaikan pendidikan S1 keguruan yang berhubungan dengan isi dan substansi yang akan diajarkan seperti Matematika, IPS, IPA, PAI dan sebagainya.

5.         Standarisasi

Dalam profesi guru, standarisasi dilakukan melalui sertifikasi guru. Konsekuensi logisnya adalah adanya standarisasi pendapatan guru. Namun, hal itu akan diperoleh dengan penguasaan standarisasi keahlian dan kompetensi terlebih dahulu. Dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa guru yang telah lulus sertifikasi akan memperoleh tunjangan profesi sebanyak satu bulan gaji pokok yang mereka miliki.

6.         Organisasi dan Kode Etik Profesi; Kode Etik PGRI yaitu:

a.         Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya berjiwa pancasila.

b.        Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.

c.         Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.

d.        Guru menciptakan suasana sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses pembelajaran.

e.         Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua peserta didik dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.

f.          Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.

g.        Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial.

h.        Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.

i.          Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.[21]

Berdasarkan kriteria tersebut, jelas terlihat bahwa guru merupakan suatu profesi. Selain itu, di Indonesia, guru dipandang sebagai suatu profesi juga telah terlegitimasi dalam UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini menguatkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak semua orang dapat melaksanakan dan memerankan peran sebagai guru. Namun, dalam hal mendidik dan menebarkan kebaikan semua orang dapat melakukannya.

F.       Kesimpulan

Dahulu, masyarakat sangat menghormati profesi guru. Bahkan profesi ini dianggap terhormat dan tinggi. Namun pada masyarakat sekarang ini, sebagian memang betul masih hormat pada profesi ini, tetapi terkadang dipandang rendah karena penghasilan yang sangat minim, yang jauh dengan profesi lainnya. Bagi sebagian guru yang merasakan tercekiknya kebutuhan ekonomi, mereka harus mendapatkan penghasilan dari luar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga, fokus pekerjaan tidak lagi menjadi guru melainkan bercabang kepada pekerjaan lain. Hal ini, menurut hemat penulis tentu saja menjadi salah satu faktor kurang maksimalnya proses pendidikan yang ada selama ini. Walaupun ada sertifikasi dan semacamnya, tetapi tetap saja pada prakteknya hal ini masih belum merata.   

DAFTAR PUSTAKA

 

Anonim. 2014. Undang-undang Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Tahun 2005). Cetakan VII. Jakarta: Sinar Grafika.

Damsar. 2015. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Cetakan III. Jakarta: Kencana.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2014. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nata, Abuddin. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Cetakan II. Jakarta: Kencana.

Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam. Cetakan IV. Jakarta: Kalam Mulia.

Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

 

 



[1] Mahasiswa Psikologi Pendidikan Islam Semester II IAIN Syekh Nurjati Cirebon

[2] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 220

[3] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, hlm. 220

[4] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, hlm. 220

[5] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2012), Cetakan II, hlm. 159-160

[6] Anonim, Undang-undang Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Tahun 2005), (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cetakan VII, hlm. 3

[7] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), hlm 26

[8] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), Cetakan IV, hlm. 208

[9] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, hlm. 26

[10] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, hlm. 27

[11] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, hlm. 28

[12] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2015), Cetakan III, hlm. 155-156.

[13] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 156

[14] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 157

[15] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 157

[16] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 158

[17] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 161

[18] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 162

[19] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 149

[20] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 151-154

[21] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, hlm. 154-155

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 comments:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger