BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aliran modernisme berkembang di dunia
barat dalam dua tahap. Pertama dengan munculnya orthodox modernism yang hanya memberkan perhatian kepada persolan
teologi.[1]
Baru pada zaman kontemporer aliran ini menjangkau persoalan keduniaan dan
kehidupan, seperti ekonomi, pendidikan, politik dan sosial. Dalam hal ini,
modernisme dibagi dalam dua jenis, yaitu modernisme tradisional dan
neomodernisme. Adapun yang menjadi fokus dalam pembahasan ini adalah mengenai
aliran modernisme tradisional.
Ciri utama teologi aliran modernisme
tradisional adalah rasionalisme. Dalam Islam, aliran modernisme atau
tradisional ini diwakili oleh mazhab Mu’tazilah.[2]
Sebagai aliran klasik, mazhab ini dipengaruhi oleh rasionalisme Yunani dalam
berbagai aspek doktrinnya. Pengaruh rasionalisme Yunani yang dibahas di sini
adalah mengenai sifat-sifat Tuhan, khususnya konsep keadilan Tuhan dari
falasafah Plato.
Menurut Plato, Tuhan hanya bertanggung jawab
pada hal-hal yang bersifat baik. Kekuasaan Tuhan terbatas dalam soal kebaikan
saja, sehingga kemudian Plato menamakan Tuhannya “The Good”. Pemahaman tentang
keterbatasan Tuhan ini mempengaruhi mazhab Mu’tazilah dalam perspektifnya
tentang keadilan Tuhan. Menurut ajaran Mu’tazilah, Tuhan tidak melakukan
keburukan terhadap manusia karena perbuatan tersebut termasuk kelemahan.
Bahkan, menurut sebagian pendukung Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat (la yaqdir) melakukan keburukan karena
perbuatan demikian hanya lahir dari yang tidak sempurna, padahal Tuhan bersifat
Maha Sempurna.[3]
Di Malaysia, pengaruh mazhab Mu’tazilah
dapat dilihat pada pemikiran Zainal Abidin bin Ahmad atau Za’ba (1895-1973).
Sebagai penulis, ia banyak menggunakan nama samaran, di antaranya adalah Abi
al-Murtadha al-Mu`tazili. Murtadha ialah nama anaknya yang kedua, lahir di
Juasseh, Negeri Sembilan.[4]
Jika diterjemahkan nama samaran tersebut bermakna “ayah murtadha yang beraliran
Mu’tazilah”.
Keterbatasan kekuasaan Tuhan versi
Plato yang menjadi prinsip Mu`tazila membuat pemikiran Za’ba semakin berkembang
di Malaysia. Sehingga, untuk meluruskan kekeliruan musuh-musuh Islam yang
menganggap Tuhan bertindak sesuka hati, termasuk bertindak zalim kepada manusia
dan menyesatkannya, Za’ba menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan
kekuasaan yang tidak terbatas.[5] Za’ba
menyerang mereka yang mempunyai pandangan seperti di atas dengan mengatakan:
“Tetapi jika Allah Ta`ala
sendiri menunjukkan dan menyesatkan siapa yang Ia kehendaki, apakah faedahnya
lagi diturunkan al-Qur’an dan dibangkitkan Rasul untuk menyeru kepada
kebenaran? Kehendak Allah Ta`ala biarlah orang mengikuti jalan yang betul,
tetapi tiada dipaksakan kehendaknya itu di atas manusia. Itulah sebabnya diturunkan
al-Qur’an dan disuruhlah Rasul-Nya menyeru manusia agar mereka dapat berpikir
dan memilih jalan yang betul. Tidaklah sekali-kali munasabah (patut) dengan
sifat kesempurnaan Allah Ta`ala jika perbuatannya berlawanan, artinya Ia
menurunkan pedoman bagi manusia, tetapi Dia sendiri yang menyesatkan manusia!
Maka bertambah jatuhlah sifat kesempurnaan Tuhan disebabkan perbuatan-Nya
menyesatkan manusia.”[6]
Selanjutnya, Za’ba juga mengatakan:
“Tetapi jika dalam
perkara menyesatkanpun hendaklah kita hubungkan juga kepada Allah Ta`ala.
Termasuk orang yang mukminin, muslimin, muttakin, yang sempurna padanya
sepenuh-penuh makna perkataan itu. Sesungguhnya sekali-kali tidak patut karena
itu setengah dari sifat-sifat kehinaan dan kekurangan yang tidak layak bagi
Allah SWT.”[7]
Dalam perkataannya tersebut, menurut Za’ba,
Allah SWT yang bersifat Maha Sempurna tidak patut menyesatkan manusia karena
tindakan itu merupakan sifat hina dan cermin kekurangan diri-Nya. Sepatutnya
Allah Ta`ala dihubungkan dengan perkara-perkara yang baik saja, sebagaimana
pandangan Plato tentang “The Good”.
Demikianlah
sekilas mengenai pemikiran Zainal Abidin bin Ahmad alias Za’ba tentang keadilan
Tuhan. Sebagai seorang cendekiawan muslim, sebenarnya banyak sekali
pemikiran-pemikiran Za’ba yang bisa dipelajari. Namun, dalam tulisan ini
penulis lebih tertarik menguraikan tentang bagaimana pemikiran Za’ba mengenai
takdir, yang mana tentu saja dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai seorang
yang berpaham Mu’tazilah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang dijelaskan di atas, penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Siapa
itu Za’ba?
2.
Bagaimana
pemikiran Za’ba dalam falsafah takdir?
C.
Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini, yaitu:
1.
Untuk
mengetahui biografi Za’ba; dan
2.
Untuk
memahami pemikiran Za’ba dalam falsafah takdir.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Za’ba
Za'ba adalah tokoh Malaysia yang terkenal dalam bahasa
dan sastra. Hal ini terbukti dari gelar Pendeta (sarjana terpelajar) yang
dianugerahkan kepadanya pada tahun 1956 dan gelar kehormatan diberikan
kepadanya oleh universitas untuk karyanya dalam bahasa dan sastra Melayu.
Sebenarnya, ia mulai menulis pada tahun 1916 untuk memperbaiki bahasa Melayu
dan dia adalah anggota komite yang dibentuk untuk bekerja dalam bahasa Melayu
sebagai Bahasa Nasional Malaya dan juga untuk membakukan Bahasa Melayu dan
Bahasa Indonesia pada tahun 1959. Namun, Tidak baik bila hanya melihat peran
Za'ba seperti itu saja, sementara sebenarnya ia juga telah memberikan banyak
pemikiran dan kontribusi mengenai hal-hal lain seperti pendidikan, ekonomi,
agama dan politik.
Perjuangannya untuk bahasa Melayu hanyalah satu aspek
dari misi nasionalistiknya "untuk memperbaiki rakyatnya dan negaranya".
Pena dan media massa cetak menjadi arena di mana ia membahas masalah dan
tantangan masyarakatnya. Dia ingin bangsanya menjadi progresif seperti tuan
kolonial mereka, Inggris.
Menyadari kelemahan dan keterbelakangan bangsanya, Za’ba
ingin mereka diberi pendidikan yang layak dan memadai yang memberi perhatian pada
dunia sekarang dan akhirat. Dia menekankan agama dan bukan hanya pengembangan
material. Dia menyerukan pembentukan "madrasah besar yang disebut
universitas", yang menggabungkan Oxford dan al-Azhar terbaik bagi
orang-orang Melayu sebagai puncak sistem pendidikan yang menjadi impiannya pada
tahun 1917.[8]
Secara politis, ia memiliki pengaruh pada the United Malays National Organisation
(UMNO) dalam menghadapi tantangan Serikat Malaya pada tahun 1946. Secara
ekonomi, ia menulis secara analitis mengenai kemiskinan orang-orang Melayu
untuk meningkatkan kesadaran mereka dan pemerintah dan juga menyarankan sarana
untuk keselamatan orang Melayu. Secara religius, ia membawa gagasan baru
mengenai reformasi Islam ke masyarakat Melayu yang menantang konsepsi lama
sehingga dinamisme agama dapat dihidupkan kembali.
Ia adalah salah seorang Melayu yang langka, yang
menerima pendidikan bahasa Inggris. Kemudian bersedia berjuang secara
intelektual untuk menyoroti nasib rakyat Melayu, untuk mengkritik ketidakadilan
yang dibawa oleh penguasa kolonial Inggris dan juga bangsawan feodal Melayu.
Dan ia juga menyarankan untuk memperbaiki kondisi massa Melayu melalui peningkatan pendidikan mereka.
Adapun mengenai identitas Za’ba, ia lahir pada 16
September 1895, di Kampung Kerdas, Batu Kikir, Negeri Sembilan. Za’ba adalah
anak tertua dalam keluarganya dari enam bersaudara. Ia merupakan keturunan dari
keluarga Bugis yang menetap di Linggi, Negeri Sembilan. Ayahnya berpendidikan
tinggi dan berpengetahuan luas dalam agama, yang mendapatkan pengajaran dari
kakeknya. Ayahnya juga giat dan berhasil melakukan bisnis dengan Inggris
sebagai kontraktor. Dia menetap di Batu Kikir, Kuala Pilah, tempat di mana
Za’ba dilahirkan.
Ayahnya selalu menginginkan Za’ba untuk menjadi
sarjana agama. Kemudian, dia mengajarkan Za’ba al-Qur'an, dari mulai membaca
dan menghafalnya, mengajarkan barzanji, dan pengetahuan dasar Islam pada usia
lima tahun. Kemampuan membaca al-Qur’an Za’ba sangat baik, ia sering membaca
al-Qur’an di masjid sekaligus pernah mengikuti kompetisi membaca al-Qur`an.
Sebagai seorang anak, Za’ba penasaran dan memiliki
kecenderungan untuk belajar. Dia belajar menulis beberapa kata Jawi sejak usia
dini. Ayahnya tercengang mendapati dia menulis Jawi dengan koper pisang, maka
dia membelikannya batu tulis hijau dan memberinya pelajaran formal tentang
Jawi.[9]
Ayahnya mulai mengajarkan Za’ba untuk membaca
buku-buku yang digunakan di sekolah seperti Pemimpin Pengetahuan, Pohon
Pelajaran (Dasar-Dasar Pembelajaran), dan Jalan Kepandaian (Jalan menuju
Intelijen), karena rumahnya jauh dari sekolah terdekat. Kemudian pada usia
sembilan tahun, Za’ba mulai membaca buku-buku klasik seperti Hikayat Siti
Zubaidah, Kisah Hikayat Abdullah, Hikayat si Miskin, Hikayat Abu Nawas (The
Story of a Poor Man), Hikayat Abu Nawas (The Story of the Poor Man), Hikayat
Abu Nawas (The Story of Siti Zubaidah) Kisah Abu Nawas) dan Sejarah Melayu
(Sejarah Melayu).
Dia juga mulai membaca buku-buku keagamaan milik
ayahnya seperti Majmu 'al-Fawa'id wal
Khawais, Taj'ul Mulk al-Murassa' bil
Duran dan Kashfy Ghaibiyah.
Ayahnya juga mengajari dia aritmatika sederhana. Za’ba mulai belajar Bahasa
Melayu dari sepupu ayahnya, Muhammad bin Datuk Muda yang mengunjungi mereka
selama akhir pekan dan menguasainya dalam waktu enam bulan.
Adapun ibunya, meninggal ketika usianya 12 tahun. Kala
itu ia sudah sekolah formal di Sekolah Malay pada tahun 1907. Oleh karena
kecerdasannya dalam belajar, hanya kurun waktu 6 bulan di sekolah tersebut,
ayahnya langsung mengirimnya ke Linggi untuk belajar Bahasa Arab dan Pendidikan
Agama. Masa kecil Za’ba banyak dihabiskan untuk belajar, inilah yang menjadikannya
mempunyai wawasan yang luas.
Ketika menginjak remaja, Za’ba pernah menjadi seorang
asisten guru di Sekolah Pemerintah Inggris Bukit Zaharah, Johor.[10]
Di tempat tersebut, dia berhasil mengembangkan potensi dirinya dengan banyak
membaca majalah, jurnal dan buku-buku, yang ia lakukan di setiap waktu
senggangnya. Namun, banyak sekali kata-kata yang bagi Za’ba itu baru, tetapi
justru membuat Za’ba semakin tertarik mempelajarinya.
Kemudian, ia pun mencari seorang guru yang bisa
mengajarkannya kosa kata Arab dan Inggris. Lalu, Za’ba bertemu dengan Syekh
Tahir Jalaluddin seorang guru yang juga mengajarkannya agama selama tujuh
bulan. Karena kekagumannya kepada gurunya tersebut, Za’ba memiliki keinginan
untuk menjadi guru yang hebat seperti Syekh Tahir Jalaluddin, yang mana Syekh
Tahir juga merupakan tokoh reformis Islam waktu itu. Melalui Syekh Tahir juga,
Za’ba berhasil mempelajari lebih banyak mengenai gerakan reformis yang dipimpin
oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Za’ba mempunyai minat yang sangat tinggi dalam bidang
penulisan. Sejak masih muda, Za’ba sudah menulis berbagai tulisan yang
berkaitan dengan kelemahan pendidikan, kemunduran dan kelemahan orang Melayu.
Selain itu, beliau juga menulis tentang budaya, bahasa, sastra, akhlak dan hal
ihwal agama. Tulisan-tulisannya tersiar dalam majalah dan berita berbahasa
Melayu dan Inggris, seperti Utusan Melayu,
Lembaga Melayu, Pengasuh, The Malay Mail,
The Straits Times, Journal of The Malayan Branch of The Royal
Society, Islamic Review, The Muslim dan sebagainya.[11]
Selama hidupnya, sebagaimana tercatat dalam wikipedia[12]
Za’ba berhasil membuat karya yang cukup banyak dan mendapatkan beberapa macam
penghargaan, yaitu:
1.
Gelar
“Pendeta” di Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu Ketiga pada tahun 1956.
2.
Ijazah
Kehormatan dan Persuratan dari Universiti Malaya pada tahun 1959.
3.
Ijazah
Kehormatan dan Persuratan dari Universiti Kebangsaan Malaya pada tahun 1973.
4.
Panglima
Mangku Negara yang memakai gelar “Tan Sri” pada tahun 1962.
Adapun karya-karya yang sudah ditulis oleh Za’ba,
yaitu:
1.
Temasya
Mandi Safar di Tanjung Kling
2.
Ilmu Bahasa
Melayu (1926)
3.
Rahsia Ejaan
Jawi (1929)
4.
Umbi
Kemajuan (1932)
5.
Falsafah
Takdir (1932)
6.
Pendapatan
Perbahasan Ulama pada Kejadian Perbuatan dan Perusahaan Hamba (1934)
7.
Pelita
Mengarang: Ilmu Mengarang Melayu (1934)
8.
Daftar Ejaan
Melayu: Jawa-Rumi (1938)
9.
Pelita
Bahasa Melayu Jilid I (1940)
10.
Pelita
Bahasa Melayu Jilid II (1946)
11.
Pelita
Bahasa Melayu Jilid III (1949)
12.
Asuhan Budi
Menerusi Islam (1958)
Semua karya di atas menunjukkan bahwa Za’ba merupakan
tokoh muslim yang produktif dengan tulisan dan pemikirannya. Namun, bukan hal
yang tidak mungkin apabila masih terdapat karya-karyanya yang belum tertuliskan
dalam tulisan ini.
Adapun mengenai waktu meninggalnya, tercatat bahwa
Za’ba meninggal pada usia 78 tahun, yaitu pada 23 Oktober 1973.
Kemudian, sebagai
seorang yang berpaham Mu’tazilah, yang terkenal di Malaysia, Za’ba merupakan
sosok yang begitu rasionalis. Hal ini dibuktikan dengan pendapatnya sebagaimana
yang dituliskan pada latar belakang. Hal ini juga, tentu saja mempengaruhi
pemikirannya mengenai takdir, yang akan diuraikan dalam tulisan ini.
B. Pemikiran
Za’ba dalam Falsafah Takdir
Pemikiran Islam Za’ba mengenai takdir[13]
dalam hubungannya dengan kondisi pemikiran keagamaan yang ada waktu itu dan
kehidupan orang melayu khususnya serta umat Islam pada umumnya. Lesu dan layu[14]
dalam segenap dimensi kehidupan serta menjadi mangsa jajahan “kaum kafir”.
Perlu ditegaskan bahwa Falsafah Takdir itu sendiri secara khusus sangat penting dalam
konteks kajian ini karena peranannya sebagai perangkat terpenting yang
merangkum secara keseluruhan pemikiran Za’ba mengenai iktikad nasib dan iktikad
takdir. Beberapa tulisannya mengenai iktikad takdir pernah tersiar dalam
majalah al-Ikhwan[15] merupakan karya terjemahan dan oleh
karena itu, Falsafah Takdir tidak
wajar bila disamakan dengan tulisannya yang awal tadi karena menurut Za’ba
sendiri, Falsafah Takdir merupakan “sebuah
kitab yang tersendiri”.[16]
Falsafah
Takdir merupakan karya terpenting Za’ba mengenai gagasannya
tentang hakikat takdir dan nasib. Pada masanya, masyarakat Melayu mengalami
kerancuan dalam pemikiran keagamaan dan menanahi kehidupan duniawi masyarakat.[17]
Hal ini terjadi karena sikap pasrah yang tidak jelas arahnya, sehingga membuat masyarakat
miskin dan terjajah. Sehingga menurut Za’ba, hal ini perlu diluruskan kepada
pemahaman yang benar mengenai pemaknaan “takdir”.
Terkait takdir menurut Za’ba, dengan melanjutkan
penjelasan pada latar belakang bahwa berhubungan dengan keadilan Tuhan, muncul
perdebatan tentang kebebasan tindakan atau ikhtiar manusia. Dalam Ilmu Kalam,
ini merupakan masalah takdir atau qada’ dan
qadar yang merupakan rukun iman yang
keenam.
Dalam persoalan takdir, terdapat berbagai aliran
mazhab yang saling bertentang satu dengan yang lainnya. Mazhab Jabariyah
berpegang pada doktrin fatalisme.
Menurut doktrin ini, nasib manusia dapat diibaratkan seperti kapas yang
diterbangkan angin karena segala sesuatu sudah disuratkan sejak azali. Sebaliknya,
mazhab Qadariyah, khususnya mazhab Mu’tazilah, berpegang pada doktrin free-will yang menganggap kebebasan,
kemauan, dan tindakan manusia tidak ditentukan oleh Allah. Adapun mazhab
Asy’ariyah dan Maturidiah, yang membentuk mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berpegang teguh pada suratan takdir dalam segala sesuatu, namun tidak menafikan
ikhtiar manusia.[18]
Awal pengaruh Mu’tazilah dalam persoalan qada’ dan qadar terdapat pada sosok Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin (1869-1957).[19]
Dalam konteks ini, pemikirannya memiliki kecenderungan kepada aliran
modernisme.[20]
Tulisannya tentang qada’ dan qadar adalah terjemahan dari majalah al-‘Urwath al-Wutsqo, tepatnya dari
pemikiran Syekh Muhammad Abduh[21].
Masalah ini memerlukan penjelasan untuk menghindari
kontroversi yang mungkin timbul. Apabila disebutkan bahwa konsep qada’ dan qadar berasal dari pemikiran Muhammad Abduh, hal ini tidak berarti
bahwa ia adalah seorang modernis. Barangsiapa meneliti riwayat perjuangan dan
pemikiran Muhammad Abduh, tidak diragukan lagi akan menemukan bahwa ia adalah
seorang reformis terkemuka abad ini. Namun, ia tidak dapat menghindari pengaruh
aliran modernisme, khususnya aliran rasionalisme dan saintisme. Khusus mengenai
takdir, Muhammad Abduh menekankan kebebasan berpikir dan kemauan manusia,
seperti dipahami Qadariah dan Mu’tazilah.
Lantas bagaimana sikap Za’ba tentang takdir ini? Tentu
saja bahwa dengan melihat background Za’ba
sebagai seorang Mu’tazilah, yang mana Mu’tazilah memiliki kesepahaman mengenai
takdir dengan penganut Qadariah, maka sudah bisa dipastikan bahwa Za’ba jelas
bertentangan dengan Jabariah. Penolakannya tersebut ia ungkapkan sebagai
berikut:
“Bahwa sesungguhnya segala keadaan
inilah yang telah menarik perhatian ahli “nasib” (Jabariyah) itu mengatakan
bahwa tiap-tiap hal adalah karena terpaksa berlaku dengan tidak dapat disalahi
atau dihindarkan lagi... Agama Islam mencibir pemikiran yang bodoh dan palsu
ini.”[22]
Pernyataan Za’ba di atas menunjukkan bahwa secara
tegas dan jelas ia menolak bahkan menentang pemikiran orang tentang takdir
sebagaimana di atas. Hal itu bukan menjadikan individu yang aktif, melainkan
pasif. Bukan menunjukkan muslim yang cerdas melainkan bodoh. Seorang muslim itu
seharusnya jangan sampai menjadi pribadi yang malas, pasrah dengan keadaan dan
tidak produktif.
Selain itu, Za’ba juga menolak mazhab Ahlus Sunnah wal
Jama’ah dengan mengatakan:
“Nampak nyata dalam kitab ini, ada
uraian-uraian yang tidak sependapat dengan pandangan al-Imam Abu Hasan
al-Asy’ari rahimahullah yang jadi pengasas mazhab Ahli Sunnah... Masih banyak
perselisihan yang lain, dapat diperhatikan dalam kitab ini.”[23]
Penolakan Za’ba terhadap mazhab Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, yang merupakan ajaran al-Imam
Abu Hasan al-Asy’ari, yang menjadi pegangan golongan tradisional di Malaysia
sejak dahulu, tentu saja menimbulkan berbagai reaksi. Salah satunya, seorang
penulis menyambut penuh gembira buku Za’ba yang menolak ajaran-ajaran
al-Asy’ari tersebut. Maka, dari uraian ini nampak jelas bahwa Za’ba adalah
seorang Mu’tazilah tulen. Bahkan tercatat pada tahun 1927, ia pernah
menerjemahkan sebuah kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu dengan judul Pendapatan Perbahasan Ulama Berkenaan dengan
Kadha dan Kadar. Walau akhirnya, buku yang mendukung paham Mu’tazilah ini
dilarang oleh Mufti Perak pada masa itu.[24]
Namun, terlepas dari semua itu perlu diketahui bahwa
Za’ba bukanlah anti takdir. Ia tidak mengkritik ajaran ketakdiran dalam Islam
yang diimani sampai akhir hayat. Za’ba justru serius menekuni tekstur
keterpesongan pemahaman umat Islam terhadap iktikad takdir. Sebagai antagonis
“iktikad nasib”, Za’ba sadar kelemahan-kelemahan itulah yang turut memasung
kehidupan duniawi orang Melayu, sehingga mereka tenggelam dalam aib kemiskinan
dan cemar penjajahan. Ketika terdapatnya sebahagian orang Melayu menganggap
segala “nasib malang” yang tertimpa ke atas mereka sebagai takdir Allah,
anggapan yang nyata terbabas daripada gerabak Islam hakiki, Za’ba pula nekad
mengikishapuskan anggapan yang sesat lagi menyesatkan itu dengan nafas-nafas
keyakinan hujjahnya.[25]
Bila dipahami dari pernyataan di atas, nampak terlihat
bahwa sebenarnya Za’ba tidak bermaksud menyoalkan takdir yang merupakan bagian
rukun iman. Melainkan, lebih kepada aplikasi dari pemahaman itu yang membuatnya
tidak setuju dan menolak dengan tegas. Za’ba mengkhawatirkan kondisi umat Islam
kala itu yang terperangkap pada kemiskinan dan keterjajahan. Menurutnya, semua
itu disebabkan oleh aplikasi pemahaman “takdir” yang salah.
Pemikiran Za’ba bukan sahaja realistik, malah
praktikal pada prinsip dan gagasan kemajuan dalam tradisi Islam dari zaman
kerasulan Muhammad SAW sampai zaman kegemilangan Khalifah Turki Utsmani.
Dahulu, Islam menjadi kiblat kemajuan bagi peradaban manusia, hal itu bisa
dilihat dari catatan-catatan sejarah. Namun, kejayaan dan kemajuan itu lenyap
sudah direbut oleh kekuasaan kolonial Barat. Menurut Za’ba, apabila umat Islam
memahami betul mengenai ajaran ketakdiran yang terdapat dalam al-Qur`an dan
al-Sunnah, maka bukan hal yang mustahil mereka termasuk golongan umat terbaik
yang diutus kepada manusia.[26]
Gagasan mengenai takdir dalam Falsafah Takdir Za’ba adalah penolakan dengan tegas bahwa semua
yang terjadi sudah ada dan tercipta sejak zaman azali, utamanya mengenai nasib
dan takdir manusia. Penegasan itu Za’ba kuatkan dengan mengatakan bahwa untuk
apa diturunkannya al-Qur’an, diutusnya Rasul? Apabila Allah sudah menghendaki
keburukan itu sejak zaman azali tersebut. Menurutnya, justru karena Allah
memberikan pedoman dan utusan itu agar manusia dapat menjemput takdirnya.
Namun, dalam perjalanannya membawa dan menyebarkan
gagasan itu, Za’ba bukan tidak sedikit mendapatkan tekanan-tekanan. Tekanan-tekanan
itu seperti datang dari pihak Inggris, Aristokrat Feudal Melayu dan Ulama Kaum
Tua.[27]
Keterpurukan, nasib malang dan sejenisnya yang diklaim
sebagai takdir, menurut Za’ba itulah yang membuat miskin masyarakat Melayu kala
itu. Maksud miskin oleh Za’ba, diungkapkannya sebagai berikut:
“Orang-orang kita Melayu ini pada
hitungan am atau jumlahnya ialah suatu kaum yang tersangat miskin. Kemiskinan
itulah yang sifatnya terlebih sangat lengkap dan nyata daripada lain-lain sifat
kebangsaannya dan ialah juga sebesar-besar kekurangan menjadikan mereka kalah
atau ketinggalan di belakang dalam perlumbaan kemajuan. Miskin pada wang
ringgit dan harta benda, miskin pada hemat dan cita-cita, miskin pada pelajaran
dan latihan pengetahuan, miskin pada alat-alat kelengkapan otak dan pada
beberapa sifat keperangaian yang tinggi dan mulia maka jadilah mereka tak dapat
tidak daripada tersangkut dan ketinggalan daripada perjalanan bangsa-bangsa.”[28]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama aslinya adalah Zainal Abidin bin Ahmad, terkenal
dengan sebutan Pendeta Za’ba. Kata “Pendeta” pada nama depannya bukan
menunjukkan bahwa ia seorang nasrani, melainkan sebuah gelar yang diperolehnya
pada Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu Ketiga pada tahun 1956.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa
Za’ba bermaksud membawa pemikiran umat Islam lebih dinamis dan progresif,
sehingga tidak mudah dibodohi, ditipu atau bahkan dijajah. Banyak umat Islam
pada masanya, menurutnya salah mengartikan soal takdir, yang mana setiap
keadaan buruk dan terpuruk dianggapnya sebagai takdir dari Allah SWT tanpa
memikirkan kembali caranya bangkit, sehingga dapat memperbaiki kondisi hidupnya
di tengah-tengah masyarakat.
Pemikiran
Za’ba ini tentu saja dipengaruhi oleh aliran modernisme, mengingat gurunya
adalah Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin, yang seorang reformis terkenal, yang
juga terpengaruh oleh aliran modernisme. Selain itu juga, background nya sebagai seorang Mu’tazilah tentunya memberikan
pengaruh yang besar terhadap cara pandanganya, terkhususnya persoalan takdir
ini. Sehingga gagasannya tentang Falsafah
Takdir, yang membuang pemikiran bahwa Allah memberikan nasib buruk kepada
manusia, banyak sekali mendapat tekanan dari orang-orang yang tidak sepaham
dengannya.
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, kemungkinan
salah itu besar baik dalam penulisan maupun struktur bahasa yang digunakan.
Oleh karenanya, penulis berharap mendapatkan kritik yang bersifat membangun
agar dapat memperbaiki penulisan berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
Husain & Khalid Hussain. 1974. Pendita
Za’ba dalam Kenangan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Abdullah, Abdul
Rahman Haji. 1997. Pemikiran Islam di
Malaysia: Sejaran dan Aliran. Kuala Lumpur: Gema Insani.
Achie,
Nordi. 2006. Pemikiran Za’ba dalam
Falsafah Takdir. Kinabalu: Universiti Malaysia Sabah.
Ahmad,
Zainal Abidin bin Ahmad. 16 Mac 1927. Kemiskinan
Melayu. al-Ikhwan. Dalam Jurnal Ermy Azziaty Rozali dan Mohammad Redzuan
Othman, Jalan Keselamatan bagi
Orang-orang Melayu: Pemikiran Za’ba bagi Memajukan Pendidikan dan Ekonomi pada
Tahun 1920-an.
Hashim,
Rosnani. 2010. Islamic Intellectual
Tradition in the Malay. Selangor: The Other Press Sdn. Bhd.
https://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_bin_Ahmad
diakses pada 17 April 2017
Nasution,
Harun. 1974. Teologi Islam:
Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Noor,
Arba’iyah Mohd. 2000. Pemikiran
Pendidikan Za’ba. Jurnal Purba. Bil. 19.
Za’ba.
1980. Falsafah Takdir. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
[1] Lihat Abdul Rahman Haji
Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia:
Sejaran dan Aliran, (Kuala Lumpur: Gema Insani, 1997), hlm. 133. Selanjutnya
ditulis Abdullah.
[2] Abdullah, hlm. 133.
(Dikutip dari Muhammad Muslehuddin, Islam
its Theology and The Greek Philosophy, (Lahore: Islamic Publication Ltd.,
1974), hlm. 69-78.)
[3] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa
dan Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), hlm. 43.
[4] Lihat Abdullah Husain
& Khalid Hussain, Pendita Za’ba dalam
Kenangan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1974), hlm. 43.
Selanjutnya ditulis Husain & Hussain.
[5] Lihat Za’ba, Falsafah Takdir (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1980), hlm. 104-106. Selanjutnya ditulis Za’ba. Edisi
awalnya berjudul Umbi Kemajuan atau
Falsafah Takdir dalam Agama Islam (Sukatan Azali) (Pulau Pinang: Jelutong
Press, 1932).
[6] Za’ba, hlm. 109.
[7] Za’ba, hlm. 112.
[8] Lihat Rosnani Hashim, Islamic Intellectual Tradition in the Malay,
(Selangor: The Other Press Sdn. Bhd., 2010), hlm. 115-116. Selanjutnya ditulis
Hashim.
[9] Hashim, 117.
[10] Hashim, hlm. 119.
[11] Arba’iyah Mohd Noor, Pemikiran Pendidikan Za’ba, (Jurnal
Purba), Bil. 19, 2000, hlm. 17.
[12]
https://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_bin_Ahmad diakses pada 17 April
2017
[13] Secara umum, takdir
berarti ketentuan dan ketetapan dari Allah SWT. Takdir berhubungan erat dengan
konsep qada’ dan qadar. Sesuatu yang dikehendaki Allah akan pasti terjadi atau
diperoleh. Seseorang yang menginginkan sesuatu dan berusaha mencapainya, tetapi
gagal mendapatkannya, inilah yang dinamakan takdir. Qada’ dan Qadar dari
Allah mempunyai hikamahnya tersendiri. Sebagai seorang muslim, kita harus
bersabar dan ridho menerima yang ditakdirkan Allah SWT kepada kita.
[14] Menurut Ismail al-Faruqi,
puncak kelemahan dan kelesuan umat Islam antara lain disebabkan oleh tiga asas
utama: Dari segi politik, “umat Islam sendiri berpecah belah kepada 42 buah
negara bangsa dan mudah diperkotak-katikkan oleh kuasa-kuasa besar.” Dari segi
ekonomi, “dunia Islam menjadi tempat import barang-barang asing dan teknologi
siap pakai.” Dari segi budaya, “umat Islam dijadikan cemuhan orang-orang barat
dan umat Islam terpisah dari jiwa Islamnya dan alpa dengan warisan Islamnya.
Lihat Nordi Achie, Pemikiran Za’ba dalam
Falsafah Takdir. (Kinabalu: Universiti Malaysia Sabah, 2006), hlm. xviii.
Selanjutnya ditulis Nordi.
[15] Terdapat 15 tulisan Za’ba
berjudul “Takdir (sukatan azali) dalam Islam” yang disiarkan oleh al-Ikhwan (pada dasarnya merupakan karya
terjemahan hasil tulisan Dr. Basharat). Lihat Nordi, hlm. xi.
[16] Za’ba, hlm. 26. Lihat juga
Nordi, hlm. xix.
[17] Nordi, hlm. xiv-xv.
[18] Abdullah, hlm. 135.
[19] Seorang tokoh reformis,
yang juga guru yang mengajarkan Za’ba Bahasa Arab dan Ilmu-ilmu ke-Islaman.
[20] Menurut Roger Garaudy, modernisme tidak lain adalah weternisme, yakni aliran yang
berdasarkan kebudayaan dan pemikiran Barat Modern yang timbul dari pengalaman
sejarah mereka selama empat abad terakhir. Ciri modernisme yaitu nasionalisme, kapitalisme, dan sistem parlemen.
Adapun ciri modernisme menurut Susanne dan Lloyd Rudolph, yaitu menolak
soal-soal emosi, kekudusan dan tindakan yang tidak rasional. Lihat Abdullah,
hlm. 18.
[21] Seorang reformis Islam
asal Mesir yang banyak mempengaruh para reformis selanjutnya.
[22] Za’ba, hlm. 67-68.
[23] Za’ba, hlm. 28. Lihat
Muhammad Abdul Hadi al-Misri, Ahli Sunnah
wal Jama’ah Petunjuk Jalan yang Benar, (Kuala Lumpur: Kintan, 1994).
[24] Abdullah, hlm. 137.
[25] Nordi, hlm. xv.
[26] Nordi, hlm. xv.
[27] Mereka bertaklid buta
dengan ulama-ulama mujtahidin dan fanatik pula dengan mazhab tertentu yang
mereka anuti serta tidak berpemikiran dinamik dan progresif, malah tidak
membawa perubahan apa-apa dan kemajuan kepada orang Melayu. Ulama Kaum Tua juga
bermakna mereka golongan tua. Ukurannya ialah dari aspek pemikiran terhadap
Islam. Sebahagian daripada mereka berperanan sebagai birokrat agama dan
mempunyai hubungan rapat dengan pihak Istana. Sesetengah sarjana, melabelkan
“Kaum Tua” sebagai ulama konservatif atau ortodoks. Lihat Nordi, hlm. xxi.
[28] Zainal Abidin bin Ahmad, Kemiskinan Melayu, al-Ikhwan, 16 Mac
1927, hlm. 132. Lihat Jurnal Ermy Azziaty Rozali dan Mohammad Redzuan Othman, Jalan Keselamatan bagi Orang-orang Melayu:
Pemikiran Za’ba bagi Memajukan Pendidikan dan Ekonomi pada Tahun 1920-an.
0 comments:
Posting Komentar