Home » » Pemikiran Za'ba (Makalah Filsafat)

Pemikiran Za'ba (Makalah Filsafat)

                                                                            BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Aliran modernisme berkembang di dunia barat dalam dua tahap. Pertama dengan munculnya orthodox modernism yang hanya memberkan perhatian kepada persolan teologi.[1] Baru pada zaman kontemporer aliran ini menjangkau persoalan keduniaan dan kehidupan, seperti ekonomi, pendidikan, politik dan sosial. Dalam hal ini, modernisme dibagi dalam dua jenis, yaitu modernisme tradisional dan neomodernisme. Adapun yang menjadi fokus dalam pembahasan ini adalah mengenai aliran modernisme tradisional.

Ciri utama teologi aliran modernisme tradisional adalah rasionalisme. Dalam Islam, aliran modernisme atau tradisional ini diwakili oleh mazhab Mu’tazilah.[2] Sebagai aliran klasik, mazhab ini dipengaruhi oleh rasionalisme Yunani dalam berbagai aspek doktrinnya. Pengaruh rasionalisme Yunani yang dibahas di sini adalah mengenai sifat-sifat Tuhan, khususnya konsep keadilan Tuhan dari falasafah Plato.

 Menurut Plato, Tuhan hanya bertanggung jawab pada hal-hal yang bersifat baik. Kekuasaan Tuhan terbatas dalam soal kebaikan saja, sehingga kemudian Plato menamakan Tuhannya “The Good”. Pemahaman tentang keterbatasan Tuhan ini mempengaruhi mazhab Mu’tazilah dalam perspektifnya tentang keadilan Tuhan. Menurut ajaran Mu’tazilah, Tuhan tidak melakukan keburukan terhadap manusia karena perbuatan tersebut termasuk kelemahan. Bahkan, menurut sebagian pendukung Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat (la yaqdir) melakukan keburukan karena perbuatan demikian hanya lahir dari yang tidak sempurna, padahal Tuhan bersifat Maha Sempurna.[3]

Di Malaysia, pengaruh mazhab Mu’tazilah dapat dilihat pada pemikiran Zainal Abidin bin Ahmad atau Za’ba (1895-1973). Sebagai penulis, ia banyak menggunakan nama samaran, di antaranya adalah Abi al-Murtadha al-Mu`tazili. Murtadha ialah nama anaknya yang kedua, lahir di Juasseh, Negeri Sembilan.[4] Jika diterjemahkan nama samaran tersebut bermakna “ayah murtadha yang beraliran Mu’tazilah”.

Keterbatasan kekuasaan Tuhan versi Plato yang menjadi prinsip Mu`tazila membuat pemikiran Za’ba semakin berkembang di Malaysia. Sehingga, untuk meluruskan kekeliruan musuh-musuh Islam yang menganggap Tuhan bertindak sesuka hati, termasuk bertindak zalim kepada manusia dan menyesatkannya, Za’ba menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan kekuasaan yang tidak terbatas.[5] Za’ba menyerang mereka yang mempunyai pandangan seperti di atas dengan mengatakan:

“Tetapi jika Allah Ta`ala sendiri menunjukkan dan menyesatkan siapa yang Ia kehendaki, apakah faedahnya lagi diturunkan al-Qur’an dan dibangkitkan Rasul untuk menyeru kepada kebenaran? Kehendak Allah Ta`ala biarlah orang mengikuti jalan yang betul, tetapi tiada dipaksakan kehendaknya itu di atas manusia. Itulah sebabnya diturunkan al-Qur’an dan disuruhlah Rasul-Nya menyeru manusia agar mereka dapat berpikir dan memilih jalan yang betul. Tidaklah sekali-kali munasabah (patut) dengan sifat kesempurnaan Allah Ta`ala jika perbuatannya berlawanan, artinya Ia menurunkan pedoman bagi manusia, tetapi Dia sendiri yang menyesatkan manusia! Maka bertambah jatuhlah sifat kesempurnaan Tuhan disebabkan perbuatan-Nya menyesatkan manusia.”[6]

Selanjutnya, Za’ba juga mengatakan:

“Tetapi jika dalam perkara menyesatkanpun hendaklah kita hubungkan juga kepada Allah Ta`ala. Termasuk orang yang mukminin, muslimin, muttakin, yang sempurna padanya sepenuh-penuh makna perkataan itu. Sesungguhnya sekali-kali tidak patut karena itu setengah dari sifat-sifat kehinaan dan kekurangan yang tidak layak bagi Allah SWT.”[7]

Dalam perkataannya tersebut, menurut Za’ba, Allah SWT yang bersifat Maha Sempurna tidak patut menyesatkan manusia karena tindakan itu merupakan sifat hina dan cermin kekurangan diri-Nya. Sepatutnya Allah Ta`ala dihubungkan dengan perkara-perkara yang baik saja, sebagaimana pandangan Plato tentang “The Good”.

Demikianlah sekilas mengenai pemikiran Zainal Abidin bin Ahmad alias Za’ba tentang keadilan Tuhan. Sebagai seorang cendekiawan muslim, sebenarnya banyak sekali pemikiran-pemikiran Za’ba yang bisa dipelajari. Namun, dalam tulisan ini penulis lebih tertarik menguraikan tentang bagaimana pemikiran Za’ba mengenai takdir, yang mana tentu saja dipengaruhi oleh latar belakangnya sebagai seorang yang berpaham Mu’tazilah.

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas, penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:

1.         Siapa itu Za’ba?

2.         Bagaimana pemikiran Za’ba dalam falsafah takdir?

C.      Tujuan

Adapun tujuan penulisan ini, yaitu:

1.         Untuk mengetahui biografi Za’ba; dan

2.         Untuk memahami pemikiran Za’ba dalam falsafah takdir.


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Biografi Za’ba

Za'ba adalah tokoh Malaysia yang terkenal dalam bahasa dan sastra. Hal ini terbukti dari gelar Pendeta (sarjana terpelajar) yang dianugerahkan kepadanya pada tahun 1956 dan gelar kehormatan diberikan kepadanya oleh universitas untuk karyanya dalam bahasa dan sastra Melayu. Sebenarnya, ia mulai menulis pada tahun 1916 untuk memperbaiki bahasa Melayu dan dia adalah anggota komite yang dibentuk untuk bekerja dalam bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional Malaya dan juga untuk membakukan Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia pada tahun 1959. Namun, Tidak baik bila hanya melihat peran Za'ba seperti itu saja, sementara sebenarnya ia juga telah memberikan banyak pemikiran dan kontribusi mengenai hal-hal lain seperti pendidikan, ekonomi, agama dan politik.

Perjuangannya untuk bahasa Melayu hanyalah satu aspek dari misi nasionalistiknya "untuk memperbaiki rakyatnya dan negaranya". Pena dan media massa cetak menjadi arena di mana ia membahas masalah dan tantangan masyarakatnya. Dia ingin bangsanya menjadi progresif seperti tuan kolonial mereka, Inggris.

Menyadari kelemahan dan keterbelakangan bangsanya, Za’ba ingin mereka diberi pendidikan yang layak dan memadai yang memberi perhatian pada dunia sekarang dan akhirat. Dia menekankan agama dan bukan hanya pengembangan material. Dia menyerukan pembentukan "madrasah besar yang disebut universitas", yang menggabungkan Oxford dan al-Azhar terbaik bagi orang-orang Melayu sebagai puncak sistem pendidikan yang menjadi impiannya pada tahun 1917.[8]

Secara politis, ia memiliki pengaruh pada the United Malays National Organisation (UMNO) dalam menghadapi tantangan Serikat Malaya pada tahun 1946. Secara ekonomi, ia menulis secara analitis mengenai kemiskinan orang-orang Melayu untuk meningkatkan kesadaran mereka dan pemerintah dan juga menyarankan sarana untuk keselamatan orang Melayu. Secara religius, ia membawa gagasan baru mengenai reformasi Islam ke masyarakat Melayu yang menantang konsepsi lama sehingga dinamisme agama dapat dihidupkan kembali.

Ia adalah salah seorang Melayu yang langka, yang menerima pendidikan bahasa Inggris. Kemudian bersedia berjuang secara intelektual untuk menyoroti nasib rakyat Melayu, untuk mengkritik ketidakadilan yang dibawa oleh penguasa kolonial Inggris dan juga bangsawan feodal Melayu. Dan ia juga menyarankan untuk memperbaiki kondisi massa Melayu melalui peningkatan pendidikan mereka.

Adapun mengenai identitas Za’ba, ia lahir pada 16 September 1895, di Kampung Kerdas, Batu Kikir, Negeri Sembilan. Za’ba adalah anak tertua dalam keluarganya dari enam bersaudara. Ia merupakan keturunan dari keluarga Bugis yang menetap di Linggi, Negeri Sembilan. Ayahnya berpendidikan tinggi dan berpengetahuan luas dalam agama, yang mendapatkan pengajaran dari kakeknya. Ayahnya juga giat dan berhasil melakukan bisnis dengan Inggris sebagai kontraktor. Dia menetap di Batu Kikir, Kuala Pilah, tempat di mana Za’ba dilahirkan.

Ayahnya selalu menginginkan Za’ba untuk menjadi sarjana agama. Kemudian, dia mengajarkan Za’ba al-Qur'an, dari mulai membaca dan menghafalnya, mengajarkan barzanji, dan pengetahuan dasar Islam pada usia lima tahun. Kemampuan membaca al-Qur’an Za’ba sangat baik, ia sering membaca al-Qur’an di masjid sekaligus pernah mengikuti kompetisi membaca al-Qur`an.

Sebagai seorang anak, Za’ba penasaran dan memiliki kecenderungan untuk belajar. Dia belajar menulis beberapa kata Jawi sejak usia dini. Ayahnya tercengang mendapati dia menulis Jawi dengan koper pisang, maka dia membelikannya batu tulis hijau dan memberinya pelajaran formal tentang Jawi.[9]

Ayahnya mulai mengajarkan Za’ba untuk membaca buku-buku yang digunakan di sekolah seperti Pemimpin Pengetahuan, Pohon Pelajaran (Dasar-Dasar Pembelajaran), dan Jalan Kepandaian (Jalan menuju Intelijen), karena rumahnya jauh dari sekolah terdekat. Kemudian pada usia sembilan tahun, Za’ba mulai membaca buku-buku klasik seperti Hikayat Siti Zubaidah, Kisah Hikayat Abdullah, Hikayat si Miskin, Hikayat Abu Nawas (The Story of a Poor Man), Hikayat Abu Nawas (The Story of the Poor Man), Hikayat Abu Nawas (The Story of Siti Zubaidah) Kisah Abu Nawas) dan Sejarah Melayu (Sejarah Melayu).

Dia juga mulai membaca buku-buku keagamaan milik ayahnya seperti Majmu 'al-Fawa'id wal Khawais, Taj'ul Mulk al-Murassa' bil Duran dan Kashfy Ghaibiyah. Ayahnya juga mengajari dia aritmatika sederhana. Za’ba mulai belajar Bahasa Melayu dari sepupu ayahnya, Muhammad bin Datuk Muda yang mengunjungi mereka selama akhir pekan dan menguasainya dalam waktu enam bulan.

Adapun ibunya, meninggal ketika usianya 12 tahun. Kala itu ia sudah sekolah formal di Sekolah Malay pada tahun 1907. Oleh karena kecerdasannya dalam belajar, hanya kurun waktu 6 bulan di sekolah tersebut, ayahnya langsung mengirimnya ke Linggi untuk belajar Bahasa Arab dan Pendidikan Agama. Masa kecil Za’ba banyak dihabiskan untuk belajar, inilah yang menjadikannya mempunyai wawasan yang luas.

Ketika menginjak remaja, Za’ba pernah menjadi seorang asisten guru di Sekolah Pemerintah Inggris Bukit Zaharah, Johor.[10] Di tempat tersebut, dia berhasil mengembangkan potensi dirinya dengan banyak membaca majalah, jurnal dan buku-buku, yang ia lakukan di setiap waktu senggangnya. Namun, banyak sekali kata-kata yang bagi Za’ba itu baru, tetapi justru membuat Za’ba semakin tertarik mempelajarinya.

Kemudian, ia pun mencari seorang guru yang bisa mengajarkannya kosa kata Arab dan Inggris. Lalu, Za’ba bertemu dengan Syekh Tahir Jalaluddin seorang guru yang juga mengajarkannya agama selama tujuh bulan. Karena kekagumannya kepada gurunya tersebut, Za’ba memiliki keinginan untuk menjadi guru yang hebat seperti Syekh Tahir Jalaluddin, yang mana Syekh Tahir juga merupakan tokoh reformis Islam waktu itu. Melalui Syekh Tahir juga, Za’ba berhasil mempelajari lebih banyak mengenai gerakan reformis yang dipimpin oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Za’ba mempunyai minat yang sangat tinggi dalam bidang penulisan. Sejak masih muda, Za’ba sudah menulis berbagai tulisan yang berkaitan dengan kelemahan pendidikan, kemunduran dan kelemahan orang Melayu. Selain itu, beliau juga menulis tentang budaya, bahasa, sastra, akhlak dan hal ihwal agama. Tulisan-tulisannya tersiar dalam majalah dan berita berbahasa Melayu dan Inggris, seperti Utusan Melayu, Lembaga Melayu, Pengasuh, The Malay Mail, The Straits Times, Journal of The Malayan Branch of The Royal Society, Islamic Review, The Muslim dan sebagainya.[11]

Selama hidupnya, sebagaimana tercatat dalam wikipedia[12] Za’ba berhasil membuat karya yang cukup banyak dan mendapatkan beberapa macam penghargaan, yaitu:

1.         Gelar “Pendeta” di Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu Ketiga pada tahun 1956.

2.         Ijazah Kehormatan dan Persuratan dari Universiti Malaya pada tahun 1959.

3.         Ijazah Kehormatan dan Persuratan dari Universiti Kebangsaan Malaya pada tahun 1973.

4.         Panglima Mangku Negara yang memakai gelar “Tan Sri” pada tahun 1962.

Adapun karya-karya yang sudah ditulis oleh Za’ba, yaitu:

1.         Temasya Mandi Safar di Tanjung Kling

2.         Ilmu Bahasa Melayu (1926)

3.         Rahsia Ejaan Jawi (1929)

4.         Umbi Kemajuan (1932)

5.         Falsafah Takdir (1932)

6.         Pendapatan Perbahasan Ulama pada Kejadian Perbuatan dan Perusahaan Hamba (1934)

7.         Pelita Mengarang: Ilmu Mengarang Melayu (1934)

8.         Daftar Ejaan Melayu: Jawa-Rumi (1938)

9.         Pelita Bahasa Melayu Jilid I (1940)

10.     Pelita Bahasa Melayu Jilid II (1946)

11.     Pelita Bahasa Melayu Jilid III (1949)

12.     Asuhan Budi Menerusi Islam (1958)

Semua karya di atas menunjukkan bahwa Za’ba merupakan tokoh muslim yang produktif dengan tulisan dan pemikirannya. Namun, bukan hal yang tidak mungkin apabila masih terdapat karya-karyanya yang belum tertuliskan dalam tulisan ini.

Adapun mengenai waktu meninggalnya, tercatat bahwa Za’ba meninggal pada usia 78 tahun, yaitu pada 23 Oktober 1973.

Kemudian, sebagai seorang yang berpaham Mu’tazilah, yang terkenal di Malaysia, Za’ba merupakan sosok yang begitu rasionalis. Hal ini dibuktikan dengan pendapatnya sebagaimana yang dituliskan pada latar belakang. Hal ini juga, tentu saja mempengaruhi pemikirannya mengenai takdir, yang akan diuraikan dalam tulisan ini.

B.       Pemikiran Za’ba dalam Falsafah Takdir

Pemikiran Islam Za’ba mengenai takdir[13] dalam hubungannya dengan kondisi pemikiran keagamaan yang ada waktu itu dan kehidupan orang melayu khususnya serta umat Islam pada umumnya. Lesu dan layu[14] dalam segenap dimensi kehidupan serta menjadi mangsa jajahan “kaum kafir”.

Perlu ditegaskan bahwa Falsafah Takdir itu sendiri secara khusus sangat penting dalam konteks kajian ini karena peranannya sebagai perangkat terpenting yang merangkum secara keseluruhan pemikiran Za’ba mengenai iktikad nasib dan iktikad takdir. Beberapa tulisannya mengenai iktikad takdir pernah tersiar dalam majalah al-Ikhwan[15] merupakan karya terjemahan dan oleh karena itu, Falsafah Takdir tidak wajar bila disamakan dengan tulisannya yang awal tadi karena menurut Za’ba sendiri, Falsafah Takdir merupakan “sebuah kitab yang tersendiri”.[16]

Falsafah Takdir merupakan karya terpenting Za’ba mengenai gagasannya tentang hakikat takdir dan nasib. Pada masanya, masyarakat Melayu mengalami kerancuan dalam pemikiran keagamaan dan menanahi kehidupan duniawi masyarakat.[17] Hal ini terjadi karena sikap pasrah yang tidak jelas arahnya, sehingga membuat masyarakat miskin dan terjajah. Sehingga menurut Za’ba, hal ini perlu diluruskan kepada pemahaman yang benar mengenai pemaknaan “takdir”.

Terkait takdir menurut Za’ba, dengan melanjutkan penjelasan pada latar belakang bahwa berhubungan dengan keadilan Tuhan, muncul perdebatan tentang kebebasan tindakan atau ikhtiar manusia. Dalam Ilmu Kalam, ini merupakan masalah takdir atau qada’ dan qadar yang merupakan rukun iman yang keenam.

Dalam persoalan takdir, terdapat berbagai aliran mazhab yang saling bertentang satu dengan yang lainnya. Mazhab Jabariyah berpegang pada doktrin fatalisme. Menurut doktrin ini, nasib manusia dapat diibaratkan seperti kapas yang diterbangkan angin karena segala sesuatu sudah disuratkan sejak azali. Sebaliknya, mazhab Qadariyah, khususnya mazhab Mu’tazilah, berpegang pada doktrin free-will yang menganggap kebebasan, kemauan, dan tindakan manusia tidak ditentukan oleh Allah. Adapun mazhab Asy’ariyah dan Maturidiah, yang membentuk mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpegang teguh pada suratan takdir dalam segala sesuatu, namun tidak menafikan ikhtiar manusia.[18]

Awal pengaruh Mu’tazilah dalam persoalan qada’ dan qadar terdapat pada sosok Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin (1869-1957).[19] Dalam konteks ini, pemikirannya memiliki kecenderungan kepada aliran modernisme.[20] Tulisannya tentang qada’ dan qadar adalah terjemahan dari majalah al-‘Urwath al-Wutsqo, tepatnya dari pemikiran Syekh Muhammad Abduh[21].

Masalah ini memerlukan penjelasan untuk menghindari kontroversi yang mungkin timbul. Apabila disebutkan bahwa konsep qada’ dan qadar berasal dari pemikiran Muhammad Abduh, hal ini tidak berarti bahwa ia adalah seorang modernis. Barangsiapa meneliti riwayat perjuangan dan pemikiran Muhammad Abduh, tidak diragukan lagi akan menemukan bahwa ia adalah seorang reformis terkemuka abad ini. Namun, ia tidak dapat menghindari pengaruh aliran modernisme, khususnya aliran rasionalisme dan saintisme. Khusus mengenai takdir, Muhammad Abduh menekankan kebebasan berpikir dan kemauan manusia, seperti dipahami Qadariah dan Mu’tazilah.

Lantas bagaimana sikap Za’ba tentang takdir ini? Tentu saja bahwa dengan melihat background Za’ba sebagai seorang Mu’tazilah, yang mana Mu’tazilah memiliki kesepahaman mengenai takdir dengan penganut Qadariah, maka sudah bisa dipastikan bahwa Za’ba jelas bertentangan dengan Jabariah. Penolakannya tersebut ia ungkapkan sebagai berikut:

“Bahwa sesungguhnya segala keadaan inilah yang telah menarik perhatian ahli “nasib” (Jabariyah) itu mengatakan bahwa tiap-tiap hal adalah karena terpaksa berlaku dengan tidak dapat disalahi atau dihindarkan lagi... Agama Islam mencibir pemikiran yang bodoh dan palsu ini.”[22]

Pernyataan Za’ba di atas menunjukkan bahwa secara tegas dan jelas ia menolak bahkan menentang pemikiran orang tentang takdir sebagaimana di atas. Hal itu bukan menjadikan individu yang aktif, melainkan pasif. Bukan menunjukkan muslim yang cerdas melainkan bodoh. Seorang muslim itu seharusnya jangan sampai menjadi pribadi yang malas, pasrah dengan keadaan dan tidak produktif.

Selain itu, Za’ba juga menolak mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan mengatakan:

“Nampak nyata dalam kitab ini, ada uraian-uraian yang tidak sependapat dengan pandangan al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari rahimahullah yang jadi pengasas mazhab Ahli Sunnah... Masih banyak perselisihan yang lain, dapat diperhatikan dalam kitab ini.”[23]

Penolakan Za’ba terhadap mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang  merupakan ajaran al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari, yang menjadi pegangan golongan tradisional di Malaysia sejak dahulu, tentu saja menimbulkan berbagai reaksi. Salah satunya, seorang penulis menyambut penuh gembira buku Za’ba yang menolak ajaran-ajaran al-Asy’ari tersebut. Maka, dari uraian ini nampak jelas bahwa Za’ba adalah seorang Mu’tazilah tulen. Bahkan tercatat pada tahun 1927, ia pernah menerjemahkan sebuah kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu dengan judul Pendapatan Perbahasan Ulama Berkenaan dengan Kadha dan Kadar. Walau akhirnya, buku yang mendukung paham Mu’tazilah ini dilarang oleh Mufti Perak pada masa itu.[24]

Namun, terlepas dari semua itu perlu diketahui bahwa Za’ba bukanlah anti takdir. Ia tidak mengkritik ajaran ketakdiran dalam Islam yang diimani sampai akhir hayat. Za’ba justru serius menekuni tekstur keterpesongan pemahaman umat Islam terhadap iktikad takdir. Sebagai antagonis “iktikad nasib”, Za’ba sadar kelemahan-kelemahan itulah yang turut memasung kehidupan duniawi orang Melayu, sehingga mereka tenggelam dalam aib kemiskinan dan cemar penjajahan. Ketika terdapatnya sebahagian orang Melayu menganggap segala “nasib malang” yang tertimpa ke atas mereka sebagai takdir Allah, anggapan yang nyata terbabas daripada gerabak Islam hakiki, Za’ba pula nekad mengikishapuskan anggapan yang sesat lagi menyesatkan itu dengan nafas-nafas keyakinan hujjahnya.[25]

Bila dipahami dari pernyataan di atas, nampak terlihat bahwa sebenarnya Za’ba tidak bermaksud menyoalkan takdir yang merupakan bagian rukun iman. Melainkan, lebih kepada aplikasi dari pemahaman itu yang membuatnya tidak setuju dan menolak dengan tegas. Za’ba mengkhawatirkan kondisi umat Islam kala itu yang terperangkap pada kemiskinan dan keterjajahan. Menurutnya, semua itu disebabkan oleh aplikasi pemahaman “takdir” yang salah.

Pemikiran Za’ba bukan sahaja realistik, malah praktikal pada prinsip dan gagasan kemajuan dalam tradisi Islam dari zaman kerasulan Muhammad SAW sampai zaman kegemilangan Khalifah Turki Utsmani. Dahulu, Islam menjadi kiblat kemajuan bagi peradaban manusia, hal itu bisa dilihat dari catatan-catatan sejarah. Namun, kejayaan dan kemajuan itu lenyap sudah direbut oleh kekuasaan kolonial Barat. Menurut Za’ba, apabila umat Islam memahami betul mengenai ajaran ketakdiran yang terdapat dalam al-Qur`an dan al-Sunnah, maka bukan hal yang mustahil mereka termasuk golongan umat terbaik yang diutus kepada manusia.[26]

Gagasan mengenai takdir dalam Falsafah Takdir Za’ba adalah penolakan dengan tegas bahwa semua yang terjadi sudah ada dan tercipta sejak zaman azali, utamanya mengenai nasib dan takdir manusia. Penegasan itu Za’ba kuatkan dengan mengatakan bahwa untuk apa diturunkannya al-Qur’an, diutusnya Rasul? Apabila Allah sudah menghendaki keburukan itu sejak zaman azali tersebut. Menurutnya, justru karena Allah memberikan pedoman dan utusan itu agar manusia dapat menjemput takdirnya.

Namun, dalam perjalanannya membawa dan menyebarkan gagasan itu, Za’ba bukan tidak sedikit mendapatkan tekanan-tekanan. Tekanan-tekanan itu seperti datang dari pihak Inggris, Aristokrat Feudal Melayu dan Ulama Kaum Tua.[27]

Keterpurukan, nasib malang dan sejenisnya yang diklaim sebagai takdir, menurut Za’ba itulah yang membuat miskin masyarakat Melayu kala itu. Maksud miskin oleh Za’ba, diungkapkannya sebagai berikut:

“Orang-orang kita Melayu ini pada hitungan am atau jumlahnya ialah suatu kaum yang tersangat miskin. Kemiskinan itulah yang sifatnya terlebih sangat lengkap dan nyata daripada lain-lain sifat kebangsaannya dan ialah juga sebesar-besar kekurangan menjadikan mereka kalah atau ketinggalan di belakang dalam perlumbaan kemajuan. Miskin pada wang ringgit dan harta benda, miskin pada hemat dan cita-cita, miskin pada pelajaran dan latihan pengetahuan, miskin pada alat-alat kelengkapan otak dan pada beberapa sifat keperangaian yang tinggi dan mulia maka jadilah mereka tak dapat tidak daripada tersangkut dan ketinggalan daripada perjalanan bangsa-bangsa.”[28]


 

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Nama aslinya adalah Zainal Abidin bin Ahmad, terkenal dengan sebutan Pendeta Za’ba. Kata “Pendeta” pada nama depannya bukan menunjukkan bahwa ia seorang nasrani, melainkan sebuah gelar yang diperolehnya pada Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu Ketiga pada tahun 1956.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa Za’ba bermaksud membawa pemikiran umat Islam lebih dinamis dan progresif, sehingga tidak mudah dibodohi, ditipu atau bahkan dijajah. Banyak umat Islam pada masanya, menurutnya salah mengartikan soal takdir, yang mana setiap keadaan buruk dan terpuruk dianggapnya sebagai takdir dari Allah SWT tanpa memikirkan kembali caranya bangkit, sehingga dapat memperbaiki kondisi hidupnya di tengah-tengah masyarakat.

Pemikiran Za’ba ini tentu saja dipengaruhi oleh aliran modernisme, mengingat gurunya adalah Syekh Muhammad Tahir Jalaluddin, yang seorang reformis terkenal, yang juga terpengaruh oleh aliran modernisme. Selain itu juga, background nya sebagai seorang Mu’tazilah tentunya memberikan pengaruh yang besar terhadap cara pandanganya, terkhususnya persoalan takdir ini. Sehingga gagasannya tentang Falsafah Takdir, yang membuang pemikiran bahwa Allah memberikan nasib buruk kepada manusia, banyak sekali mendapat tekanan dari orang-orang yang tidak sepaham dengannya.

B.       Saran

Makalah ini masih jauh dari sempurna, kemungkinan salah itu besar baik dalam penulisan maupun struktur bahasa yang digunakan. Oleh karenanya, penulis berharap mendapatkan kritik yang bersifat membangun agar dapat memperbaiki penulisan berikutnya.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah Husain & Khalid Hussain. 1974. Pendita Za’ba dalam Kenangan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Abdullah, Abdul Rahman Haji. 1997. Pemikiran Islam di Malaysia: Sejaran dan Aliran. Kuala Lumpur: Gema Insani.

Achie, Nordi. 2006. Pemikiran Za’ba dalam Falsafah Takdir. Kinabalu: Universiti Malaysia Sabah.

Ahmad, Zainal Abidin bin Ahmad. 16 Mac 1927. Kemiskinan Melayu. al-Ikhwan. Dalam Jurnal Ermy Azziaty Rozali dan Mohammad Redzuan Othman, Jalan Keselamatan bagi Orang-orang Melayu: Pemikiran Za’ba bagi Memajukan Pendidikan dan Ekonomi pada Tahun 1920-an.

Hashim, Rosnani. 2010. Islamic Intellectual Tradition in the Malay. Selangor: The Other Press Sdn. Bhd.

https://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_bin_Ahmad diakses pada 17 April 2017

Nasution, Harun. 1974. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Noor, Arba’iyah Mohd. 2000. Pemikiran Pendidikan Za’ba. Jurnal Purba. Bil. 19.

Za’ba. 1980. Falsafah Takdir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

 





[1] Lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejaran dan Aliran, (Kuala Lumpur: Gema Insani, 1997), hlm. 133. Selanjutnya ditulis Abdullah.

[2] Abdullah, hlm. 133. (Dikutip dari Muhammad Muslehuddin, Islam its Theology and The Greek Philosophy, (Lahore: Islamic Publication Ltd., 1974), hlm. 69-78.)

[3] Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), hlm. 43.

[4] Lihat Abdullah Husain & Khalid Hussain, Pendita Za’ba dalam Kenangan (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1974), hlm. 43. Selanjutnya ditulis Husain & Hussain.

[5] Lihat Za’ba, Falsafah Takdir (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980), hlm. 104-106. Selanjutnya ditulis Za’ba. Edisi awalnya berjudul Umbi Kemajuan atau Falsafah Takdir dalam Agama Islam (Sukatan Azali) (Pulau Pinang: Jelutong Press, 1932).

[6] Za’ba, hlm. 109.

[7] Za’ba, hlm. 112.

[8] Lihat Rosnani Hashim, Islamic Intellectual Tradition in the Malay, (Selangor: The Other Press Sdn. Bhd., 2010), hlm. 115-116. Selanjutnya ditulis Hashim.

[9] Hashim, 117.

[10] Hashim, hlm. 119.

[11] Arba’iyah Mohd Noor, Pemikiran Pendidikan Za’ba, (Jurnal Purba), Bil. 19, 2000, hlm. 17.

[12] https://id.wikipedia.org/wiki/Zainal_Abidin_bin_Ahmad diakses pada 17 April 2017

[13] Secara umum, takdir berarti ketentuan dan ketetapan dari Allah SWT. Takdir berhubungan erat dengan konsep qada’ dan qadar. Sesuatu yang dikehendaki Allah akan pasti terjadi atau diperoleh. Seseorang yang menginginkan sesuatu dan berusaha mencapainya, tetapi gagal mendapatkannya, inilah yang dinamakan takdir. Qada’ dan Qadar dari Allah mempunyai hikamahnya tersendiri. Sebagai seorang muslim, kita harus bersabar dan ridho menerima yang ditakdirkan Allah SWT kepada kita.

[14] Menurut Ismail al-Faruqi, puncak kelemahan dan kelesuan umat Islam antara lain disebabkan oleh tiga asas utama: Dari segi politik, “umat Islam sendiri berpecah belah kepada 42 buah negara bangsa dan mudah diperkotak-katikkan oleh kuasa-kuasa besar.” Dari segi ekonomi, “dunia Islam menjadi tempat import barang-barang asing dan teknologi siap pakai.” Dari segi budaya, “umat Islam dijadikan cemuhan orang-orang barat dan umat Islam terpisah dari jiwa Islamnya dan alpa dengan warisan Islamnya. Lihat Nordi Achie, Pemikiran Za’ba dalam Falsafah Takdir. (Kinabalu: Universiti Malaysia Sabah, 2006), hlm. xviii. Selanjutnya ditulis Nordi.

[15] Terdapat 15 tulisan Za’ba berjudul “Takdir (sukatan azali) dalam Islam” yang disiarkan oleh al-Ikhwan (pada dasarnya merupakan karya terjemahan hasil tulisan Dr. Basharat). Lihat Nordi, hlm. xi.

[16] Za’ba, hlm. 26. Lihat juga Nordi, hlm. xix.

[17] Nordi, hlm. xiv-xv.

[18] Abdullah, hlm. 135.

[19] Seorang tokoh reformis, yang juga guru yang mengajarkan Za’ba Bahasa Arab dan Ilmu-ilmu ke-Islaman.

[20] Menurut Roger Garaudy, modernisme tidak lain adalah weternisme, yakni aliran yang berdasarkan kebudayaan dan pemikiran Barat Modern yang timbul dari pengalaman sejarah mereka selama empat abad terakhir. Ciri modernisme yaitu nasionalisme, kapitalisme, dan sistem parlemen. Adapun ciri modernisme menurut Susanne dan Lloyd Rudolph, yaitu menolak soal-soal emosi, kekudusan dan tindakan yang tidak rasional. Lihat Abdullah, hlm. 18.

[21] Seorang reformis Islam asal Mesir yang banyak mempengaruh para reformis selanjutnya.

[22] Za’ba, hlm. 67-68.

[23] Za’ba, hlm. 28. Lihat Muhammad Abdul Hadi al-Misri, Ahli Sunnah wal Jama’ah Petunjuk Jalan yang Benar, (Kuala Lumpur: Kintan, 1994).

[24] Abdullah, hlm. 137.

[25] Nordi, hlm. xv.

[26] Nordi, hlm. xv.

[27] Mereka bertaklid buta dengan ulama-ulama mujtahidin dan fanatik pula dengan mazhab tertentu yang mereka anuti serta tidak berpemikiran dinamik dan progresif, malah tidak membawa perubahan apa-apa dan kemajuan kepada orang Melayu. Ulama Kaum Tua juga bermakna mereka golongan tua. Ukurannya ialah dari aspek pemikiran terhadap Islam. Sebahagian daripada mereka berperanan sebagai birokrat agama dan mempunyai hubungan rapat dengan pihak Istana. Sesetengah sarjana, melabelkan “Kaum Tua” sebagai ulama konservatif atau ortodoks. Lihat Nordi, hlm. xxi.

[28] Zainal Abidin bin Ahmad, Kemiskinan Melayu, al-Ikhwan, 16 Mac 1927, hlm. 132. Lihat Jurnal Ermy Azziaty Rozali dan Mohammad Redzuan Othman, Jalan Keselamatan bagi Orang-orang Melayu: Pemikiran Za’ba bagi Memajukan Pendidikan dan Ekonomi pada Tahun 1920-an.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 comments:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger