Home » » Jual Beli Murobahah

Jual Beli Murobahah

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Hubungan antar manusia membuat mereka saling melakukan interaksi dan transaksi satu dengan lainnya. Tentu saja hal ini disebabkan karena kebutuhan manusia harus dipenuhi guna melanjutkan hidup mereka, dan untuk memenuhinya manusia tidak bisa segala sesuatunya dilakukan sendiri, melainkan memerlukan orang lain.
Salah satu interaksi yang dimaksud adalah jual beli. Sebagaimana dijelaskan oleh Ali Hasan (2013: 113) bahwa jual beli terdiri dari dua kata yaitu jual dan beli, namun dalam makna lebih dalam keduanya adalah satu kesatuan, maksudnya adalah di dalam ada penjualan di sanalah ada pembelian.
Sebenarnya pembahasan jual beli dalam Islam sangat banyak dan kompleks, hal itu karena ajaran Islam sangat serius dalam membimbing  para penganutnya. Sehingga pantas apabila persoalan jual beli dalam Islam diuraikan sedetail mungkin dengan harapan mampu menjadi pedoman bagi khalayak umum.
Adapun salah satu jual beli yang menjadi pembahasan penting dalam Islam adalah jual beli murobahah (deffered payment sale). Jual beli murobahah menurut Sri Nurhayati (2008: 176) adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Demikian dapat dengan mudahnya dipahami tentang jual beli murobahah ini dari penjelasan pengertian di atas, namun banyak sekali kaum muslimin belum memahami betul mengenai jual beli tersebut. Maka, dengan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penulis, berusaha menyajikan materi tentang jual beli murobahah dalam bentuk karya tulis yakni makalah.
Selain sebagai tugas pemenuhan mata kuliah terkait, juga sebagai tambahan pengetahuan wajib yang mesti dikuasai oleh para penegak agama Allah SWT. Agar sekiranya dengan penyajian yang sederhana ini semoga memberikan gambaran pengetahuan tentang jual beli murobahah.

B.  Rumusan Masalah    
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan jual beli murobahah?
2.    Apa saja persoalan-persoalan fiqih dalam murobahah?
3.    Seperti apakah murobahah dalam Lembaga Keuangan Syari`ah?
4.    Persoalan-persoalan hukum apa saja yang ada dalam murobahah?
5.    Bagaimanakah skema pembiayaan murobahah ?

C.  Tujuan Penulisan Makalah
Dari rumusan masalah yang sudah dijelaskan di atas, adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.    Untuk memahami pengertian jual beli murobahah;
2.    Untuk memahami persoalan-persoalan fiqih dalam murobahah;
3.    Untuk mengetahui seperti apa murobahah dalam Lembaga Keuangan Syari`ah?
4.    Untuk memahami persoalan hukum dalam murobahah; dan
5.    Untuk memahami skema proses pembiayaan murobahah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Jual Beli Murobahah
Jual beli merupakan salah cara manusia untuk menunjukkan satu sama lainnya bahwa mereka membutuhkan sesamanya. Jual beli juga merupakan warisan nenek moyang yang senantiasa di zaman sekarang ini banyak sekali bentuk dan cara yang dilakukan dalam jual beli itu sendiri. Keadaan yang seperti bukanlah hal negative yang harus diratapi, melainkan suatu pelajaran penting bahwa kehidupan manusia itu senantiasa bergerak dan berputar (dinamis), tidak diam (stagnan).
Dalam jual beli tidak semuanya akan dianggap sah, melainkan banyak sekali macamnya jual beli yang terlarang dan sejenisnya. Oleh karenanya Ibnu Rusyd (2007: 796) menjelaskan bahwa jual beli akan dianggap sah apabila memenuhi tiga syarat utama yaitu akad yang jelas, barang yang jelas dan orang-orang yang melakukan akad.
Jual beli terlarang salah satunya disebabkan karena barang yang dijualnya itu, namun para imam madzhab dalam suatu perkara seringkali berbeda pendapat terkait hal ini. Sebagaimana tentang hukum hasil penjualan anjing, Syekh Al-`Allamah Muhammad (2013: 227) menjelaskan bahwa Imam Malik membolehkan hukumnya, tetapi makruh. Demikian juga pendapat Imam Hanafi. Sedangkan menurut Imam Syafi`i dan Imam Hambali hukumnya tidak boleh sama sekali.
Sehingga terkait hukum-hukum jual beli berdasarkan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan oleh Sulaiman Rasjid (2012: 289-290) bahwa hukum-hukum jual beli sebagai berikut:
1.    Mubah
2.    Wajib
3.    Haram
4.    Sunnah
Adapun jenis jual beli yang diperbolehkan salah satunya adalah murobahah. Sebagaimana disebutkan oleh Fathurrohman Djamil (2012: 108-109) bahwa kata murobahah berasal dari rabbaha, yurobbihu dan murobahatan, yang berarti untung atau menguntungkan, seperti ungkapan “Tijaratun rabihah, wa baa’u asy-syai murabahatan” artinya perdagangan yang menguntungkan, dan menjual sesuatu barang yang memberi keberuntungan. Kata murobahah juga berasal dari kata ribhun atau rubhun yang berarti tumbuh, berkembang dan bertambah.
Menurut para ahli hukum (fuqaha), pengertian murobahah adalah “Al-ba’i bira’sil maal waribhun ma’lum” artinya jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui. Ibnu Jazi menggambarkan jenis transaksi ini “Penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang dan keuntungan yang akan diambil dari barang tersebut”. Para fuqaha mensifati murobahah sebagai bentuk jual beli atas dasar kepercayaan (dhaman buyu’ alamanah).
Pengertian murobahah dalam praktik adalah apa yang diistilahkan dengan bai al’murobahah liamir bisy-syira, yaitu permintaan seseorang atau pembeli terhadap orang lain untuk membelikan barang dengan cirri-ciri yang ditentukan. Bentuk ini dinamakan Murobahah Permintaan/Pesanan Pembeli (MPP). Menurut Yusuf Qardhawi, dalam MPP ini ada dua unsur utama yang perlu dipahami yaitu adanya wa’ad (janji), artinya janji untuk membelikan barang yang diminta pembeli dan janji penjual untuk meminta keuntungan dari barang tersebut. Disepakati pula oleh pembeli dan penjual bahwa janji ini bersifat mengikat (iltizam) yang kemudian akan dilakukan pembayaran dengan cara ditangguhkan (muajjal).
Berdasarkan penjelasan tersebut, unsure-unsur MPP bila diterapkan dalam perbankan syari`ah adalah sebagai berikut:
1.    Pembeli menentukkan barang yang dikehendaki disertai karakteristiknya dan meminta pihak bank untuk membeli dan menentukkan harganya.
2.    Pihak bank mencari barang yang sesuai dengan permintaan pembeli kepada pemasok/penyedia barang baik atas inisiatifnya atau atau rekomendasi dari pembeli.
3.    Pihak bank membeli barang dari pemasok/penyedia barang secara tunai sehingga barang tersebut menjadi milik bank.
4.    Setelah bank mendapatkan informasi barang yang dibutuhkan berikut harganya, kemudia menentukkan harga jual kepada pembeli berikut syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pembeli.
5.    Pihak pembeli memenuhi ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukkan oleh bank berikut tata cara pembayarannya.
6.    Pembeli menandatangani akad murobahah dengan bank atas barang/objek yang telah disepakati dengan harga jual bank yang terdiri dari harga pokok dan margin keuntungan, kemudian bank menyerahkan barang tersebut kepada nasabah sebagai pembeli.  
Dari definisi yang ada, dapat dipahami bahwa murobahah mempunyai ciri adanya margin (keuntungan/kelebihan), tetapi bukan yang bersifat jelas ribanya. Melainkan memberikan kejelasan informasi tentang harga barang yang akan dijual sampai keuntungan dari harga barang yang dijual tersebut.
Kemudian lebih lanjut Fathurrohman Djamil menjelaskan tentang rukun murabahah adalah sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu:
1.    Adanya penjual (al-ba’i);
2.    Pembeli (al-musytari’);
3.    Barang yang dibeli (al-mabi’);
4.    Harga (al-tsaman); dan
5.    Shighat (ijab-qabul).
Selanjutnya tentang dasar hukum murobahah Fathurrohman lebih lanjut menjelaskan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum murabahah sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada umumnya. Diantara dasar hukum yang digunakan jumhur ulama adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai tertuang dalam:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا [٤:٢٩]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka antara kamu dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S. An-Nisa: 29).
Sedangkan hadits Rasulullah SAW “Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka; ada tiga hal yang mengandung berkah jual beli tidak secara tunai, muraqadha, dan mencampur gandum dengan jawawut”.
Bagi jumhur ulama, murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang dihalalkan oleh syara. Secara umum ia tunduk kepada rukun dan syarat jual beli, terdapat beberapa syarat khusus untuk jual beli murabahah, yaitu :
1.    Penjual hendaknya menyatakan modal yang sebenarnya bagi barang yang hendak dijual.
2.    Pembeli setuju dengan keuntungan yang ditetapkan oleh penjual sebagai imbalan dari harga perolehan/harga beli barang, yang selanjutnya menjadi harga jual barang secara murabahah.
3.    Sekiranya ada ketidakjelasan/ketidakcocokan masalah harga jual barang maka pihak pembeli boleh membatalkan akad yang telah dijalankan sehingga bubarlah jual beli secara murabahah tersebut
4.    Barang yang dijual secara murabahah bukan barang ribawi.

B.  Persoalan-Persoalan Fiqih dalam Murobahah
Adapun persoalan-persoalan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.    Pembahasan tentang Wa`ad
Dalam perdata Islam, wa`ad berarti janji, yaitu ikhbaron insyail mukhbir ma`rufan lilmustaqbal, suatu pernyataan yang dimaksud oleh pemberi pernyataan untuk melakukan perbuatan baik di masa depan, (Fathurrohman Djamil, 2012: 1)
Lebih lanjut dijelaskan mengenai beberapa pandangan imam madzhab terkait wa`ad ini.
a.    Pendapat Jumhur Fuqaha dari Hanafiyah, Syafi`iyah, Hanabilah dan satu pendapat dari Malikiyah yang mengatakan bahwa janji merupakan kewajiban agama (mulzimun diyanah) dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan) karenanya wa`ad merupakan akad tabarru` (kebajikan/kedermawanan) dan akad ini tidaklah mengikat.
b.    Pendapat sebagian ulama, di antaranya Ibnu Syubrumah (144 H), Ishaq bin Rahawiyah (237 H), Hasan Basri (110 H) dan sebagian pendapat Malikiyah, yang menyatakan bahwa janji itu wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum.
c.    Pendapat sebagian fuqaha Malikiyah yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat secara hukum apabila janji itu berkaitan dengan suatu sebab, sekalipun sebab tersebut tidak menjadi bagian/disebutkan dari pernyataan janji tersebut.Misalnya, ungkapan aku hendak menikah, aku mau membeli barang ini, jika aku menyelesaikan utangku maka aku akan meminjamkan ini atau aku mau jalan-jalan besok maka pinjamkan binatangmu padaku dan seterusnya.
d.   Pendapat Malikiyah yang masyhur di antara mereka adalah pendapat Ibnu Qasim yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat untuk dipenuhi apabila berkaitan dengan sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji tersebut. Misalnya, jika seseorang membeli seorang budak untuk permintaan seseorang dengan seribu dirham, dia berkata kepada si fulan “saya beli anda dengan seribu dirham” maka terbelilah budak tersebut. Keadaan ini mengikat bagi si fulan.
2.    Menjual secara Cicilan/Angsuran
Murobahah dengan tambahan harga terhadap harga jual barang karena ada jangka waktu pembayaran atau jual beli angsuran, para ulama berbeda pendapat. Pendapat Pertama, merupakan pendapat Jumhur ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah yang membolehkan jual beli angsuran dengan meninggikan harga jual dibandingkan harga tunai. Mereka berlandaskan Q.S. Al-Baqarah: 275) dan hadits Rasulullah SAW.
“Apabila terjadi perbedaan antara dua jenis barang maka belilah olehmu yang kamu sukai” (H.R. Muslim).
Pendapat Kedua, sebagian pendapat Syi`ah seperti Al-Qosimiyah dan Imam Yahya serta pendapat Ibnu Sirrin, Syuraih dan Ibnu Hazm Adz-Dzohiri, yang menyatakan bahwa tidak boleh meninggikan/menaikkan harga jual barang terhadap jual beli terhadap tempo waktu. Mereka berlandaskan kepada hadist Nabi Muhammad SAW
Dari riwayat Abu Hurairah, “barangsiapa melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) di antara keduanya atau menjadi riba”.
Dari dua pendapat tersebut, menurut mayoritas ulama berpendapat yang paling rajah adalah pendapat yang pertama, yaitu membolehkan jual beli secara angsuran dengan menaikkan harga jual (Fathurrohman Djamil, 2012:112-114).
3.    Penggabungan akad (Al-Uqud Al-Murokkabah)
Penggabungan akad maksudnya adalah persetujuan antara dua pihak atau lebih untuk menyatukan dua akad atau lebih yang berbeda fitur dan konsekuensi hukumnya agar mencapai transaksi yang dapat berjalan sesuai yang diinginkan. Berkaitan dengan penggabungan akad, di kalangan ulama ada dua pendapat besar, yaitu:
a.    Menurut Jumhur Fuqaha dari Hanafiyah, Syafi`iyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah yang mengatakan bahwa tidak boleh menggabungkan beberapa akad dalam satu akad kecuali akad itu berdiri sendiri secara sah seperti penggabungan akad bai` dan ijarah.
b.    Menurut pengikut dari Maikiyah dan Ibnu Taimiyah dari Hanabilah yang menyatakan kebolehannya menyatukan/menggabungkan akad dan syarat dalam satu akad.

C.  Murobahah dalam Lembaga Keuangan Syari`ah (LKS)       
Dalam LKS, khususnya Perbankan Syari`ah, murobahah diterapkan sebagai produk pembiayaan untuk membiayai pembelian barang-barang consumer, kebutuhan modal kerja dan kebutuhan investasi.
Mekanisme penerapan murobahah di LKS, didasarkan pada asumsi bahwa nasabah membutuhkan barang atau objek tertentu, tetapi kemampuan financial tidak cukup untuk melakukan pembayaran secara tunai. Untuk itulah maka nasabah berhubungan dengan LKS.
Harga yang disepakati adalah harga jual yaitu harga beli plus margin dan biaya-biaya yang timbul dari proses pembelian barang tersebut. Apabila harga pembelian dari supplier atau pemasok yang dibeli oleh LKS mendapat potongan harga/diskon dan hal tersebut terjadi sebelum melakukan perjanjian dengan nasabah, maka potongan harga/diskon tersebut menjadi hak nasabah, sehingga harga jual adalah harga setelah diskon. Akan tetapi, apabila potongan harga itu terjadi setelah akad dilakukan, maka pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad antara LKS dan nasabah.
Pada saat harga jual disepakati, maka pihak LKS menyerahkan barang yang dipesan tersebut sesuai dengan kuantitas, kualitas, tempat dan waktu yang disepakati. Apabila aktiva/barang yang telah dibeli LKS (sebagai penjual) mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi beban LKS dan LKS mengganti barang tersebut atau mengurangi nilai jual sesuai dengan kesepakatan, sehingga yang diserahkan tersebut benar-benar sesuai permintaaan nasabah (pembeli) (Fathurrohman Djamil, 2012: 119-121).
D.  Persoalan-Persoalan Hukum dalam Murobahah     
Berikut ini akan diuraikan mengenai persoalan-persoalan hukum yang biasa terjadi dalam murobahah.
a.    Penyerahan Barang
Penyerahan benda yang diperjualbelikan dalam Islam merupakan kewajiban. Akad jual beli dinilai tidak memnuhi syarat dn dapat dibatalkan apabila benda yang menjadi objek akad tidak diserahkan. Akad yang tidak dibarengi dengan penyerahan objek akad dinilai sebagai gharar.
b.    Resiko atas Barang dan Pembayaran
Dalam pembiayaan bentuk bai`al murobahah, LKS menghadapi resiko dengan barang dan pembayaran. Resiko atas barang adalah adanya kerusakan atas barang sebagai objek pertukaran. Apabila kerusakan objek pertukaran itu terjadi sebelum diserahkan kepada pembeli dan bukan oleh pembeli maka pertukaran itu batal. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut oleh pembeli, maka pembeli bertanggung jawab untuk mengganti benda tersebut atau membayar harganya.
Adapun apabila kerusakan tersebut setelah diserahkan kepada pembeli dan kerusakan tersebut bukan oleh penjual, maka pertukaran telah terjadi, sedangkan apabila kerusakan tersebut oleh penjual, maka penjual harus mengganti benda itu atau pembeli membatalkan akadnya.
Sedangkan resiko berkaitan dengan pembayaran yaitu nasabah tidak melakukan pembayaran baik sebagian atau sepenuhnya sesuai dengan jadwal pembayaran. Syariah menghindari resiko ini antara lain dengan adanya agunan, penanggungan (jaminan pihak ketiga) dan syarat perjanjian yang menyatakan bahwa semua hasil barang murobahah yang dijual kepada pihak ketiga (baik tunai maupun angsuran) harus atas sepengetahuan bank hingga kewajiban pembayaran kepada bank dibayar secara penuh.
Jika tidak melakukan pembayaran dikarenakan faktor di luar kemampuan pengawasan nasabah, bank syari`ah secara moral berkewajiban untuk melakukan penjadwalan ulang bahkan me-restructuring piutang tersebut dan sebaliknya.
c.    Agunan
Mengambil agunan untuk menjamin utang, menurut Al-Qur`an dan Hadits pada dasarnya bukan sesuatu yang tercela. Agunan adalah cara untuk menjamin hak-hak kreditor/pembeli fasilitas agar tidak dilanggar dan menghindari memakan harta orang lain secara tidak benar.
d.   Pajak
Berdasarkan surat Dirjen Pajak kepada salah satu Unit Usaha Syari`ah Bank Swasta Nasional dikemukakan bahwa transaksi murobahah yang dilakukan oleh bank syari`ah termasuk dalam pengertian kena pajak yang terutang pajak pertambahan nilai (PPN) (Fathurrohman Djamil, 2012: 123-126).

E.  Skema Pembiayaan Murobahah  
Keterangan Skema:
1.    Bank Syari`ah dan Developer mengadakan perjanjian kerja sama (MoU) pemilik rumah. Bank akan menyediakan fasilitas pembayaran pemilikan rumah bagi calon pembeli rumah developer.
2.    Pembeli atau calon nasabah bermaksud membeli rumah di lokasi milik developer dan mengajukan Pembiayaan Pemilikan Rumah kepada Bank. Calon nasabah melengkapi persyaratan permohonan pembiayaan sesuai criteria yang dipersyaratkan. Jika persyaratan lengkap, bank selanjutnya melakukan analisa kelayakan pembiayaan terhadap calon nasabah.
3.    Apabila calon nasabah layak dibiayai, maka bank akan mengeluarkan surat persetujuan kepada calon nasabah (surat penawaran). Calon nasabah melakukan negosiasi dengan bank. Jika terjadi kesepakatan, calon nasabah menandatangani penawaran dan berjanji (wa`ad) untuk melakukan transaksi murobahah dengan bank.
4.    Bank melakukan transaksi rumah (berdasarkan Perjanjian Kerja Sama) dengan developer sesuai spesifikasi rumah yang diminta oleh calon nasabah, secara prinsip (fiqih) rumah menjadi milik bank (dokumentasi rumah dibuat atas nama nasabah). Dalam hal developer belum memiliki perjanjian kerja sama, bank dapat mewakilkan atau member kuasa (wakalah) kepada nasabah untuk melakukan transaksi/pemesanan rumah secara langsung ke developer yang dipilih nasabah.
5.    Nasabah dan bank melakukan perjanjian pembiayaan pemilikan rumah berdasarkan prinsip murobahah.
6.    Bank dapat member kuasa/mewakilkan kepada developer untuk menyerahkan rumah kepada nasabah (berdasarkan perjanjian kerja sama).
7.    Developer menyerahkan rumah kepada nasabah.
8.    Nasabah membayar secara tasqith (angsuran) atau ta`jil (tempo) ke bank sesuai jadwal angsuran yang disepakati.

BAB III
KESIMPULAN
Menurut para ahli hukum (fuqaha), pengertian muraobahah adalah “Al-ba’i bira’sil maal waribhun ma’lum” artinya jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui. Ibnu Jazi menggambarkan jenis transaksi ini “Penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang dan keuntungan yang akan diambil dari barang tersebut”. Para fuqaha mensifati muraobahah sebagai bentuk jual beli atas dasar kepercayaan (dhaman buyu’ alamanah).
Rukun murabahah adalah sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu adanya penjual (al-ba’i), pembeli (al-musytari’), barang yang dibeli (al-mabi’), harga (al-tsaman), dan shighat (ijab-qabul).
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum murabahah sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada umumnya. Diantara dasar hukum yang digunakan jumhur ulama adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai tertuang dalam Q.S. An-Nisa: 29, Q.S. Al-Baqarah: 198 dan 275 dan Q.S. Al-Muzzammil: 20.
Sedangkan hadis Rasulullah antara lain sebagai berikut : “sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka;ada tiga hal yang mengandung berkah jual beli tidak secara tunai, muraqadha, dan mencampur gandum dengan jawawut”.


DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fathurrohman. 2012. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari`ah. Jakarta: Sinar Grafika.
Hasan, M. Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat). Edisi I. Jakarta: Pustaka.
Muhammad bin `Abdurrohman Ad-Dimasyqi, Syekh Al-`Allamah. 2013. Fiqih Empat Madzhab. Terjemahan Oleh Abdullah Zaki Alkaf. Cetakan ke-14. Bandung: Hasyimi.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Islam. Cetakan ke-55. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid). Terjemahan Oleh Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani.
Sri Nurhayati, Wasilah. 2008. Akuntasi Syari'ah di Indonesia. Jakarta: Salemba.


Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 comments:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. R U D I N I - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger