Seperti Inikah Dakwah Kita ?
Oleh : Rudini Adz-Dzikri Harun Ar-Rasyid
Arya Mujahid ( Aa Harun )
Segala puji bagi
Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq untuk
dimenangkan di atas seluruh agama. Salawat dan salam semoga terus tercurah
kepada Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, yang menjadi saksi,
pemberi kabar gembira dan peringatan, sebagai da’i yang mengajak kepada Allah
dan menjadi lentera yang menerangi perjalanan hidup manusia. Amma ba’du.
Menjadi da’i
yang mengajak umat untuk menghamba kepada Allah, sebuah tugas yang sangat utama
dan mulia. Tugas yang membuktikan kesejatian ittiba’ (komitmen untuk setia kepada Sunnah) pada diri seorang
muslim terhadap Nabi yang dicintainya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak (kamu) kepada Allah di atas
bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan maha
suci Allah, aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS.
Yusuf: 108).
Ayat yang mulia
ini mengisyaratkan bahwasanya orang yang paling sempurna dalam ittiba’ adalah yang paling sempurna
dalam berdakwah (lihat ad-Durar
al-Ghaliyah fi Adab ad-Da’wah wa ad-Da’iyah oleh Syaikh Abdul Hamid bin
Badis rahimahullah, hal.
18)
Formula Dakwah
Dalam ayat di
atas, Allah ta’ala
menerangkan kepada kita bahwasanya jalan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdibangun
di atas tiga perkara:
·
Mengajak
kepada Allah di atas bashirah/ilmu
·
Menyucikan
Allah ta’ala -dari segenap
celaan dan kekurangan-Nya.
· Berlepas diri dari orang-orang musyrik (lihat ad-Durar al-Ghaliyah, hal. 8 )
· Berlepas diri dari orang-orang musyrik (lihat ad-Durar al-Ghaliyah, hal. 8 )
Mengajak Kepada
Allah
Hendaknya
seorang da’i mengingat, bahwasanya dakwah yang dilakukannya adalah untuk
mengajak manusia kepada Allah, yaitu: mengajak manusia kepada agama-Nya, agar
mereka mentauhidkan-Nya, dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam surga-Nya.
Sehingga seorang da’i harus ikhlas dalam
berdakwah (lihat al-Jadid fi
Syarh Kitab at-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi, hal.
50).
Berdakwah kepada
hukum-hukum Allah juga termasuk dalam dakwah kepada Allah, karena hal itu
merupakan ajakan terhadap apa yang diperintahkan dan untuk menjauhi apa yang
dilarang oleh-Nya (lihat adh-Dhau’
al-Munir fi at-Tafsir, hal. 550).
Artinya, semestinya dakwah yang
diserukannya bukanlah dalam rangka meraih target kekuasaan, ambisi tertentu,
harta, ataupun urusan-urusan dunia lainnya.
Akan tetapi
dakwahnya bertujuan mengajak manusia mentauhidkan Allah dan mengikuti
syari’at-Nya (Syarh Kitab at-Tauhid,
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah,
hal. 42)
Dari sini kita mengetahui bahwa yang
dimaksud mengajak kepada Allah ialah:
·
Mengajak
kepada agama-Nya, yaitu Islam
·
Mengajak
kepada tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah
·
Mengajak
untuk menempuh jalan menuju surga-Nya, yaitu jalan yang lurus
· Mengajak
untuk menerapkan hukum-hukum Allah, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya
Mengajak Kepada
Agama-Nya
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dialah yang telah
mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di
atas seluruh agama…” (QS. al-Fath: 28).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya agama
-yang benar- di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang
mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya dan di
akherat nanti dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS.
Ali Imran: 85).
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu’anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman bersabda,
“Sesungguhnya
kamu akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, hendaknya kamu ajak
mereka untuk bersyahadat tiada sesembahan -yang benar- selain Allah dan
bahwasanya aku adalah utusan Allah…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini
menunjukkan pula kepada kita bahwasanya seseorang tidak dihukumi sebagai muslim
kecuali setelah dia mengucapkan dua kalimat syahadat, demikian keterangan Imam
Nawawi rahimahullah
(lihat Syarh Muslim
[2/48]).
Hal ini tentu
saja berbeda jauh dengan apa yang sering digembar-gemborkan oleh kaum liberal
dan pluralis bahwa seorang bisa menjadi muslim tanpa mengikuti agama Islam dan
tanpa dua kalimat syahadat [?!] Kalau pun mereka menamai gerakan mereka sebagai
Jaringan Islam Liberal -dengan label Islam- maka itu sebenarnya menunjukkan
betapa pengecutnya mereka sehingga tidak berani untuk menyingkap hakekat dakwah
mereka yang berisi kekafiran! Mereka
malu kepada manusia tetapi tidak malu kepada Allah, padahal Dia senantiasa
mengawasi gerak-gerik mereka…
Mengajak Kepada
Tauhid
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sungguh Kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah
tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 59).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad,
Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah
tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan kepada kaum
Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku,
sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS.
al-A’raaf: 73).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan kepada kaum
Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku,
sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS.
al-A’raaf: 85).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sungguh Kami telah
mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan
jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36).
Ayat-ayat yang
mulia ini menunjukkan bahwa dakwah seluruh rasul adalah dakwah tauhid. Demikian
juga semestinya yang dilakukan oleh para ulama dan da’i yang melanjutkan
perjuangan mereka…
Oleh sebab itu
mereka pun senantiasa memperingatkan umat dari bahaya syirik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan
nabi-nabi sebelummu, apabila kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh
amalmu, dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.”
(QS. az-Zumar: 65).
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada
Allah supaya dijauhkan dari pemujaan kepada berhala, sebagaimana dikisahkan
dalam ayat (yang artinya), “Jauhkanlah
diriku dan anak keturunanku dari pemujaan kepada berhala.” (QS. Ibrahim:
35).
v
Mengungkap
Kesalahpahaman Tentang Tauhid
Banyak yang
mengira bahwa tauhid adalah sekedar keyakinan bahwa Allah itu satu, tidak
berbilang. Tauhid itu maknanya Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan
pemelihara alam semesta. Itulah yang biasa dikenal di dalam istilah para ulama
sebagai tauhid rububiyah, yaitu mengakui keesaan Allah dalam perkara mencipta,
mengatur dan semacamnya.
Padahal, tauhid
yang menjadi inti dakwah para nabi dan rasul bukan itu. Tauhid yang menjadi
tujuan utama dakwah ialah tauhid uluhiyah; yaitu menujukan segala bentuk ibadah
hanya kepada Allah dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya.
Hal itu
sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat (yang artinya),“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36).
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Bukanlah yang dimaksud
dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata
yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari
kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah
bisa menetapkan kebenaran hal ini dengan bukti dalil maka mereka merasa telah
mengukuhkan hakekat tauhid. Mereka beranggapan apabila mereka telah menyaksikan
dan mencapai tingkatan ini maka itu artinya mereka telah berhasil menggapai
puncak ajaran tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui
sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala dan menyucikan-Nya dari segala
sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya dan juga meyakini bahwasanya Allah
satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid
sampai dia mengucapkan syahadat la ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar
kecuali Allah semata, sehingga dia mengakui bahwa Allah semata yang berhak
untuk diibadahi dan dia menjalankan ibadah kepada Allah serta tidak
mempersekutukan-Nya.” (Dikutip dari Fath al-Majid, hal. 15-16)
Kesalahpahaman
ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang
mengartikan kata ilah
dalam syahadat la ilaha illallah
dengan makna al-Qadir;
artinya yang berkuasa.
Sehingga mereka
menafsirkan la ilaha illallah
dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah.
Oleh sebab itu
di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak
membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya
membutuhkan-Nya.
Ini artinya
mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal
ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena
istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara
alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar
selain Allah (lihat at-Tam-hid li
Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)
Menjelaskan
Hakekat Ibadah
Dakwah tauhid
tidak tegak tanpa pemahaman yang benar mengenai hakekat ibadah. Oleh sebab itu
menjelaskan kepada umat mengenai keluasan cakupan ibadah dan pilar-pilarnya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dakwah tauhid itu sendiri.
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Rabb kalian berkata:
Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam
keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60).
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata,
“Ibadah merupakan
sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah,
berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini artinya sholat,
zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada
kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan
yang ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik,
berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun
budak dari kalangan manusia atau binatang piaraan, doa, dzikir, membaca
al-Qur’ab, dan lain sebagainya itu semua adalah ibadah. Demikian juga kecintaan
kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut kepada Allah, inabah kepada-Nya,
mengikhlaskan agama untuk-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya, mensyukuri
nikmat-Nya, ridha dengan takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharapkan
rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan semisal itu pun termasuk ibadah kepada
Allah.”
(al-’Ubudiyah, hal. 6)
Ibadah pada
asalnya mengandung makna perendahan diri, akan tetapi ibadah yang diperintahkan
oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah suatu bentuk perendahan diri yang
paling tinggi kepada Allah dengan disertai puncak rasa cinta kepada-Nya.
Seorang yang menundukkan dirinya kepada
orang lain namun menyimpan rasa benci kepadanya tidaklah dianggap beribadah
kepadanya. Demikian juga orang yang mencintai seseorang namun tidak menundukkan
diri kepadanya pun tidak dikatakan beribadah kepadanya.
Oleh sebab itu
kedua pilar ibadah tersebut -yaitu perendahan diri dan puncak kecintaan- itu
harus selalu ada dalam menjalani ibadah kepada Allah. Bahkan Allah harus lebih
dicintainya daripada segala sesuatu dan menjadi sosok yang paling agung
daripada segala-galanya.
Bahkan, tidaklah
berhak untuk mendapatkan rasa cinta dan ketundukan yang sempurna kecuali Allah
semata. Segala sesuatu yang dicintai bukan karena Allah maka kecintaannya
adalah kecintaan yang rusak/tidak sah. Begitu pula tidaklah sesuatu selain
Allah diagung-agungkan tanpa perintah dari-Nya melainkan pengagungan itu adalah
sebuah kebatilan (lihat al-’Ubudiyah,
hal. 12)
Ibadah ditopang
dengan tiga buah pilar amalan hati, yaitu:
·
Rasa
cinta
·
Rasa
takut
·
Rasa
harap (lihat at-Tauhid
al-Muyassar, hal. 53)
Ketiga hal di
atas harus terkumpul dalam diri seorang muslim, tidak boleh dipisah-pisahkan
antara satu dengan yang lainnya. Barangsiapa yang bersandar hanya kepada salah
satunya dan menyingkirkan yang lainnya maka dia tidak beribadah kepada Allah
dengan sebenar-benarnya.
§
Beribadah
kepada Allah hanya dengan cinta adalah jalan kaum Sufi.
§
Beribadah
kepada Allah hanya dengan harapan adalah jalan kaum Murji’ah.
§
Beribadah
kepada Allah hanya dengan rasa takut adalah jalan kaum Khawarij (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal.
35)
Ibadah terdiri
dari tiga jenis amalan:
·
Amalan
hati
·
Amalan
lisan
·
Amalan
anggota badan (lihat Fath
al-Majid, hal. 17)
Menjelaskan
Hakekat Syirik dan Bahayanya
Mendakwahkan
islam dan tauhid tidak akan terwujud kecuali dengan menjelaskan hakekat syirik
dengan sejelas-jelasnya, sehingga dengan itu seorang muslim akan selamat dari
bahayanya.
Oleh sebab itu
kita dapati banyak dalil dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menjelaskannya.
Di antaranya adalah syirik dalam hal doa. Yaitu tatkala seorang hamba menujukan
doanya kepada Allah dan juga kepada selain-Nya. Dia gantungkan harapan dan rasa
takutnya kepada selain Allah di samping harapan dan takut kepada-Nya.
Allah ta’ala berfirman mengenai ulah
orang-orang musyrik (yang artinya),
“Kemudian
apabila mereka naik di atas perahu (kemudian diterjang badai lautan) maka
mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya, namun
ketika Allah selamatkan mereka ke daratan tiba-tiba mereka pun kembali
melakukan kesyirikan.”
(QS. al-Ankabut: 65)
Syirik adalah
menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi
kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi dua:
1.
Syirik
akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan oleh pembuat
syari’at dan padanya terkandung tindakan keluar dari agama
2.
Syirik
asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut sebagai syirik atau
kekafiran namun berdasarkan dalil-dalil yang lain diketahui bahwa ternyata hal
itu tidak mengeluarkan dari agama (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)
Bahaya syirik banyak sekali, diantaranya
adalah:
·
Pelakunya
tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat
an-Nisaa’: 48)
·
Pelakunya
keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (lihat at-Taubah: 5)
·
Amalan
apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia hanya akan menjadi
sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (lihat al-Furqan: 23)
·
Pelakunya
haram masuk surga (lihat al-Ma’idah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26)
Mengajak Kepada
Jalan Yang Lurus
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Yaitu jalannya orang-orang
yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan
bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.” (QS. al-Fatihah: 7).
Syaikh as-Sa’dirahimahullah menerangkan bahwa
hakekat jalan yang lurus itu akan diperoleh dengan cara mengenali kebenaran dan
mengamalkannya (lihat Taisir
al-Karim ar-Rahman, hal. 39).
Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah
berkata, “Dengan ucapan anda
‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah
ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).
Syaikh
Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah
berkata,
“Maka orang
yang diberi nikmat atas mereka yaitu orang yang berilmu sekaligus beramal.
Adapun orang-orang yang dimurkai yaitu orang-orang yang berilmu namun tidak
beramal. Sedangkan orang-orang yang tersesat ialah orang-orang yang beramal
tanpa landasan ilmu.”
(Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu,
hal. 14).
Ibnul
Qayyim rahimahullah
menjelaskan bahwa penyebab orang terjerumus dalam kesesatan ialah rusaknya ilmu
dan keyakinan. Sedangkan penyebab orang terjerumus dalam kemurkaan ialah
rusaknya niat dan amalan (lihat al-Fawa’id,
hal. 21)
Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam (yang artinya), “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan
taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah
Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS.
Az-Zukhruf: 63-64).
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah
berkata,
“Inilah,
yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada
rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju
surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang
menjerumuskan ke neraka.”
(Taisir al-Karim ar-Rahman,
hal. 132).
Ibnul
Qayyim rahimahullah
berkata, “…Sesungguhnya kebenaran
itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan
kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa
mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang
ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,bukan dengan
[landasan] hawa nafsu maupun bid’ah-bid’ah…” (at-Tafsir al-Qayyim, hal. 116-117)
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Bukankah Aku telah
berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah
syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah
Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61).
Syaikh
as-Sa’di rahimahullah
menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘mentaati syaitan’ itu mencakup segala bentuk
kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada
Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai syaitan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)
Mengajak Kepada
Hukum Allah
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Tidak pantas bagi
seorang yang beriman, lelaki ataupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya
telah menetapkan suatu urusan kemudian ada bagi mereka pilihan yang lain dalam
urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh
di telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Demi Rabbmu,
sesungguhnya mereka tidaklah beriman sampai mereka mau menjadian kamu
(Muhammad) sebagai hakim atas segala yang diperselisihkan di antara mereka,
kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka atas apa yang
kamu putuskan, dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’:
65).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Kemudian apabila
kalian berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an)
dan rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari
akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya.” (QS. an-Nisaa’:
59).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang
menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’:
80).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah hukum jahiliyah
yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah, bagi
orang-orang yang yakin.” (QS. al-Ma’idah: 50).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan putuskanlah hukum
di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu mereka.” (al-Ma’idah: 49)
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan janganlah kalian
merusak bumi setelah perbaikannya.” (QS. al-A’raaf: 56).
Abu Bakr bin
‘Iyasy rahimahullah
berkata,
“Sesungguhnya
Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada segenap
penduduk bumi sementara ketika itu mereka berada dalam kerusakan, maka Allah
memperbaiki mereka dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka barangsiapa yang mengajak untuk menyelisihi/menentang ajaran yang dibawa
oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu artinya dia termasuk golongan
orang-orang yang melakukan perusakan di atas muka bumi.” (Fath al-Majid, hal. 383).
Syaikh
Abdurrahman bin Hasan rahimahullah
berkata,
“…Berhukum
kepada selain Allah dan rasul-Nya termasuk sebab paling besar yang menimbulkan
kerusakan di atas muka bumi sehingga memunculkan berbagai kemaksiatan, maka
tiada kebaikan baginya kecuali dengan berhukum dengan Kitab Allah dan Sunnah
rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah jalannya orang-orang yang
beriman.”
(Fath al-Majid, hal. 383)
Berdakwah Dengan
Ilmu
Dakwah bukan
perkara sembarangan. Ia membutuhkan perbekalan dan pemahaman. Seorang yang
berdakwah berarti mengajak orang untuk beragama dengan pemahaman yang
disebarkannya. Apabila pemahamannya keliru, maka menimbulkan pemahaman orang
yang didakwahinya pun menjadi keliru.
Sehingga yang
seharusnya dia bisa bergembira dengan limpahan pahala berlipatganda karena
dakwahnya, namun karena kebodohan justru sebaliknya yang dia peroleh, dosa
bertumpuk-tumpuk yang dia dapatkan, wal
‘iyadzu billah.
Salah satu sebab yang banyak mengacaukan
dakwah ini adalah ketidakadaan ilmu.
Syaikh Ibnu
Utsaiminrahimahullah berkata,
“.. karena
sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas
atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu
syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu
tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai
tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah…” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid
[1/82]).
Syaikh
Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah
berkata,
“Adapun orang
yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak
daripada apa yang dia perbaiki.” (Syarh
al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)
Dari Mu’awiyah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda, “Barangsiapa
yang dikehendaki kebaikan dari Allah, niscaya akan dipahamkan dalam agama.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Muhammad
bin Abdullah al-Imam hafizhahullah
berkata,
“Sesungguhnya
di antara buah yang bisa dipetik dari bertafaqquh/mendalami agama Allah adalah
berjalan di atas jalan keselamatan dari fitnah/kekacauan…”.
Itulah metode
yang ditempuh oleh para sahabat sehingga mereka bisa selamat dari api fitnah.
Seperti contohnya ketika mereka berselisih mengenai siapakah yang menggantikan
Nabi, maka mereka pun merujuk kepada dalil dan pasrah kepadanya sehingga
perselisihan pun usai. Sehingga diangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah karena
beliau adalah dari Quraisy, sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi agar pemimpin
umat ini dari kalangan mereka.
Kemudian Syaikh
Muhammad al-Imam berkata, “Lihatlah
bagaimana perselisihan itu bisa dibendung dengan sebab tafaqquh dalam agama
serta pasrah kepada dalil, dan lihatlah betapa banyak perselisihan yang timbul
di kalangan para sahabat akhirnya lenyap dan berakhir apabila telah datang
dalil dan keterangan syari’at. Maka tafaqquh dalam agama merupakan asas semua
kebaikan, akan tetapi itu berlaku apabila ia diasuh oleh seorang guru yang benar
akidahnya dan selamat manhajnya serta baik niatnya…” (at-Tanbih al-Hasan fi Mauqif al-Muslim min
al-Fitan)
Dari Abdullah
bin Amr, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta-merta mencabutnya dari
hamba-hamba-Nya. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para
ulama, sampai apabila sudah tidak disisakan lagi seorang yang berilmu, maka
orang-orang pun mengangkat para pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh.
Mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari).
Menyucikan Allah
Dari Segala Celaan
Celaan atau
penodaan terhadap keagungan Allah dan agama-Nya timbul karena dakwah yang
disampaikan tidak berlandaskan bashirah/ilmu.
Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah
menjelaskan makna ayat ‘Maha suci Allah’, maksudnya di sini adalah, “Maha suci Allah dari dakwah yang aku
lakukan yang tidak berlandaskan bashirah!”(al-Qaul al-Mufid [1/83]). Akibat dari berbicara tentang Allah
dan agama-Nya tanpa ilmu, maka terjadilah berbagai bentuk penodaan dan
pelecehan terhadap keagungan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya
(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman,
hal. 406).
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Katakanlah;
Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perkara-perkara keji yang tampak ataupun
yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa hak, kamu
mempersekutukan Allah yang sama sekali tidak ada dalil yang diturunkan untuk
membenarkannya, dan kamu berbicara mengatasnamakan Allah apa-apa yang tidak
kamu ketahui.” (QS. al-A’raaf: 33)
Berlepas Diri Dari Penganut Kesyirikan
Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Dan ingatlah, tatkala
Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari
apa yang kalian sembah kecuali Yang Menciptakanku.” (QS. az-Zukhruf:
26).
Seorang yang
hendak merealisasikan tauhid di dalam dirinya maka dia harus berlepas diri dari
peribadatan kepada selain Allah (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 32).
Sehingga tidak
akan terkumpul pada diri seseorang antara keimanan dengan rasa cinta kepada
musuh-musuh Allah. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Sungguh
telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya,
yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri
dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari
kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk
selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS. al-Mumtahanah:
4).