BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hubungan antar manusia membuat mereka saling
melakukan interaksi dan transaksi satu dengan lainnya. Tentu saja hal ini
disebabkan karena kebutuhan manusia harus dipenuhi guna melanjutkan hidup
mereka, dan untuk memenuhinya manusia tidak bisa segala sesuatunya dilakukan sendiri,
melainkan memerlukan orang lain.
Salah satu interaksi yang dimaksud adalah jual beli.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ali Hasan (2013: 113) bahwa jual beli terdiri dari
dua kata yaitu jual dan beli, namun dalam makna lebih dalam keduanya adalah
satu kesatuan, maksudnya adalah di dalam ada penjualan di sanalah ada
pembelian.
Sebenarnya pembahasan jual beli dalam Islam sangat
banyak dan kompleks, hal itu karena ajaran Islam sangat serius dalam
membimbing para penganutnya. Sehingga
pantas apabila persoalan jual beli dalam Islam diuraikan sedetail mungkin
dengan harapan mampu menjadi pedoman bagi khalayak umum.
Adapun salah satu jual beli yang menjadi pembahasan
penting dalam Islam adalah jual beli murobahah
(deffered payment sale). Jual beli murobahah menurut Sri Nurhayati (2008:
176) adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan
keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
Demikian dapat dengan mudahnya dipahami tentang jual
beli murobahah ini dari penjelasan
pengertian di atas, namun banyak sekali kaum muslimin belum memahami betul
mengenai jual beli tersebut. Maka, dengan kekurangan dan kelebihan yang
dimiliki penulis, berusaha menyajikan materi tentang jual beli murobahah dalam bentuk karya tulis yakni
makalah.
Selain sebagai tugas pemenuhan mata kuliah terkait,
juga sebagai tambahan pengetahuan wajib yang mesti dikuasai oleh para penegak
agama Allah SWT. Agar sekiranya dengan penyajian yang sederhana ini semoga
memberikan gambaran pengetahuan tentang jual beli murobahah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat
dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan jual beli murobahah?
2. Apa saja persoalan-persoalan fiqih dalam murobahah?
3. Seperti apakah murobahah
dalam Lembaga Keuangan Syari`ah?
4. Persoalan-persoalan hukum apa saja yang ada dalam murobahah?
5. Bagaimanakah skema pembiayaan murobahah ?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
Dari rumusan masalah yang sudah dijelaskan di atas,
adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk memahami pengertian jual beli murobahah;
2. Untuk memahami persoalan-persoalan fiqih dalam murobahah;
3. Untuk mengetahui seperti apa murobahah dalam Lembaga Keuangan Syari`ah?
4. Untuk memahami persoalan hukum dalam murobahah; dan
5. Untuk memahami skema proses pembiayaan murobahah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Jual Beli Murobahah
Jual beli merupakan salah cara manusia untuk
menunjukkan satu sama lainnya bahwa mereka membutuhkan sesamanya. Jual beli
juga merupakan warisan nenek moyang yang senantiasa di zaman sekarang ini
banyak sekali bentuk dan cara yang dilakukan dalam jual beli itu sendiri.
Keadaan yang seperti bukanlah hal negative yang harus diratapi, melainkan suatu
pelajaran penting bahwa kehidupan manusia itu senantiasa bergerak dan berputar
(dinamis), tidak diam (stagnan).
Dalam jual beli tidak semuanya akan dianggap sah,
melainkan banyak sekali macamnya jual beli yang terlarang dan sejenisnya. Oleh
karenanya Ibnu Rusyd (2007: 796) menjelaskan bahwa jual beli akan dianggap sah
apabila memenuhi tiga syarat utama yaitu akad yang jelas, barang yang jelas dan
orang-orang yang melakukan akad.
Jual beli terlarang salah satunya disebabkan karena
barang yang dijualnya itu, namun para imam madzhab dalam suatu perkara
seringkali berbeda pendapat terkait hal ini. Sebagaimana tentang hukum hasil
penjualan anjing, Syekh Al-`Allamah Muhammad (2013: 227) menjelaskan bahwa Imam
Malik membolehkan hukumnya, tetapi makruh. Demikian juga pendapat Imam Hanafi.
Sedangkan menurut Imam Syafi`i dan Imam Hambali hukumnya tidak boleh sama
sekali.
Sehingga terkait hukum-hukum jual beli berdasarkan
kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan oleh Sulaiman Rasjid (2012: 289-290)
bahwa hukum-hukum jual beli sebagai berikut:
1. Mubah
2. Wajib
3. Haram
4. Sunnah
Adapun jenis jual beli yang diperbolehkan salah
satunya adalah murobahah. Sebagaimana
disebutkan oleh Fathurrohman Djamil (2012: 108-109) bahwa kata murobahah berasal dari rabbaha, yurobbihu dan murobahatan, yang berarti untung atau
menguntungkan, seperti ungkapan “Tijaratun rabihah, wa baa’u asy-syai
murabahatan” artinya perdagangan yang menguntungkan, dan menjual sesuatu barang
yang memberi keberuntungan. Kata murobahah juga berasal dari kata ribhun atau
rubhun yang berarti tumbuh, berkembang dan bertambah.
Menurut para ahli hukum (fuqaha), pengertian murobahah
adalah “Al-ba’i bira’sil maal waribhun ma’lum” artinya jual beli dengan harga
pokok ditambah keuntungan yang diketahui. Ibnu Jazi menggambarkan jenis
transaksi ini “Penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang dan
keuntungan yang akan diambil dari barang tersebut”. Para fuqaha mensifati murobahah
sebagai bentuk jual beli atas dasar kepercayaan (dhaman buyu’ alamanah).
Pengertian murobahah
dalam praktik adalah apa yang diistilahkan dengan bai al’murobahah liamir
bisy-syira, yaitu permintaan seseorang atau pembeli terhadap orang lain untuk
membelikan barang dengan cirri-ciri yang ditentukan. Bentuk ini dinamakan Murobahah
Permintaan/Pesanan Pembeli (MPP). Menurut Yusuf Qardhawi, dalam MPP ini ada dua
unsur utama yang perlu dipahami yaitu adanya wa’ad (janji), artinya janji untuk
membelikan barang yang diminta pembeli dan janji penjual untuk meminta
keuntungan dari barang tersebut. Disepakati pula oleh pembeli dan penjual bahwa
janji ini bersifat mengikat (iltizam) yang kemudian akan dilakukan pembayaran
dengan cara ditangguhkan (muajjal).
Berdasarkan penjelasan tersebut, unsure-unsur MPP
bila diterapkan dalam perbankan syari`ah adalah sebagai berikut:
1. Pembeli menentukkan barang yang dikehendaki disertai
karakteristiknya dan meminta pihak bank untuk membeli dan menentukkan harganya.
2. Pihak bank mencari barang yang sesuai dengan
permintaan pembeli kepada pemasok/penyedia barang baik atas inisiatifnya atau
atau rekomendasi dari pembeli.
3. Pihak bank membeli barang dari pemasok/penyedia barang
secara tunai sehingga barang tersebut menjadi milik bank.
4. Setelah bank mendapatkan informasi barang yang
dibutuhkan berikut harganya, kemudia menentukkan harga jual kepada pembeli
berikut syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pembeli.
5. Pihak pembeli memenuhi ketentuan-ketentuan dan
syarat-syarat yang ditentukkan oleh bank berikut tata cara pembayarannya.
6. Pembeli menandatangani akad murobahah dengan bank atas barang/objek yang telah disepakati dengan
harga jual bank yang terdiri dari harga pokok dan margin keuntungan, kemudian
bank menyerahkan barang tersebut kepada nasabah sebagai pembeli.
Dari definisi yang ada, dapat dipahami bahwa murobahah mempunyai ciri adanya margin
(keuntungan/kelebihan), tetapi bukan yang bersifat jelas ribanya. Melainkan
memberikan kejelasan informasi tentang harga barang yang akan dijual sampai
keuntungan dari harga barang yang dijual tersebut.
Kemudian lebih lanjut Fathurrohman Djamil
menjelaskan tentang rukun murabahah adalah sama dengan rukun jual beli pada
umumnya, yaitu:
1. Adanya penjual (al-ba’i);
2. Pembeli (al-musytari’);
3. Barang yang dibeli
(al-mabi’);
4. Harga (al-tsaman); dan
5. Shighat (ijab-qabul).
Selanjutnya
tentang dasar hukum murobahah
Fathurrohman lebih lanjut menjelaskan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa
dasar hukum murabahah sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada umumnya.
Diantara dasar hukum yang digunakan jumhur ulama adalah Al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah saw. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai tertuang dalam:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن
تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ
وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا [٤:٢٩]
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka antara kamu dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu” (Q.S.
An-Nisa: 29).
Sedangkan hadits Rasulullah SAW “Sesungguhnya jual
beli itu harus dilakukan suka sama suka; ada tiga hal yang mengandung berkah
jual beli tidak secara tunai, muraqadha, dan mencampur gandum dengan jawawut”.
Bagi jumhur ulama, murabahah adalah salah satu jenis
jual beli yang dihalalkan oleh syara. Secara umum ia tunduk kepada rukun dan
syarat jual beli, terdapat beberapa syarat khusus untuk jual beli murabahah,
yaitu :
1. Penjual hendaknya menyatakan modal yang
sebenarnya bagi barang yang hendak dijual.
2. Pembeli setuju dengan keuntungan yang
ditetapkan oleh penjual sebagai imbalan dari harga perolehan/harga beli barang,
yang selanjutnya menjadi harga jual barang secara murabahah.
3. Sekiranya ada ketidakjelasan/ketidakcocokan
masalah harga jual barang maka pihak pembeli boleh membatalkan akad yang telah
dijalankan sehingga bubarlah jual beli secara murabahah tersebut
4. Barang yang dijual secara murabahah
bukan barang ribawi.
B.
Persoalan-Persoalan Fiqih dalam Murobahah
Adapun persoalan-persoalan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Pembahasan tentang Wa`ad
Dalam
perdata Islam, wa`ad berarti janji,
yaitu ikhbaron insyail mukhbir ma`rufan lilmustaqbal, suatu pernyataan yang
dimaksud oleh pemberi pernyataan untuk melakukan perbuatan baik di masa depan,
(Fathurrohman Djamil, 2012: 1)
Lebih lanjut dijelaskan mengenai beberapa pandangan imam madzhab terkait
wa`ad ini.
a.
Pendapat Jumhur Fuqaha dari
Hanafiyah, Syafi`iyah, Hanabilah dan satu pendapat dari Malikiyah yang
mengatakan bahwa janji merupakan kewajiban agama (mulzimun diyanah) dan bukan kewajiban hukum formal (ghair mulzim qadhaan) karenanya wa`ad merupakan akad tabarru` (kebajikan/kedermawanan) dan
akad ini tidaklah mengikat.
b.
Pendapat sebagian ulama, di antaranya Ibnu Syubrumah (144 H), Ishaq bin
Rahawiyah (237 H), Hasan Basri (110 H) dan sebagian pendapat Malikiyah, yang
menyatakan bahwa janji itu wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum.
c.
Pendapat sebagian fuqaha Malikiyah
yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat secara hukum apabila janji
itu berkaitan dengan suatu sebab, sekalipun sebab tersebut tidak menjadi
bagian/disebutkan dari pernyataan janji tersebut.Misalnya, ungkapan aku hendak
menikah, aku mau membeli barang ini, jika aku menyelesaikan utangku maka aku
akan meminjamkan ini atau aku mau jalan-jalan besok maka pinjamkan binatangmu
padaku dan seterusnya.
d.
Pendapat Malikiyah yang masyhur di antara mereka adalah pendapat Ibnu
Qasim yang menyatakan bahwa janji itu bersifat mengikat untuk dipenuhi apabila
berkaitan dengan sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji
tersebut. Misalnya, jika seseorang membeli seorang budak untuk permintaan
seseorang dengan seribu dirham, dia berkata kepada si fulan “saya beli anda
dengan seribu dirham” maka terbelilah budak tersebut. Keadaan ini mengikat bagi
si fulan.
2. Menjual secara Cicilan/Angsuran
Murobahah
dengan tambahan harga terhadap harga jual barang karena ada jangka waktu
pembayaran atau jual beli angsuran, para ulama berbeda pendapat. Pendapat Pertama, merupakan pendapat Jumhur ulama fiqih dari Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah yang membolehkan jual beli angsuran dengan
meninggikan harga jual dibandingkan harga tunai. Mereka berlandaskan Q.S.
Al-Baqarah: 275) dan hadits Rasulullah SAW.
“Apabila terjadi perbedaan antara dua jenis barang maka belilah olehmu
yang kamu sukai” (H.R. Muslim).
Pendapat Kedua,
sebagian pendapat Syi`ah seperti Al-Qosimiyah dan Imam Yahya serta pendapat
Ibnu Sirrin, Syuraih dan Ibnu Hazm Adz-Dzohiri, yang menyatakan bahwa tidak
boleh meninggikan/menaikkan harga jual barang terhadap jual beli terhadap tempo
waktu. Mereka berlandaskan kepada hadist Nabi Muhammad SAW
Dari riwayat Abu Hurairah, “barangsiapa melakukan dua penjualan atas
satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) di antara keduanya
atau menjadi riba”.
Dari dua pendapat tersebut, menurut mayoritas ulama berpendapat yang
paling rajah adalah pendapat yang
pertama, yaitu membolehkan jual beli secara angsuran dengan menaikkan harga
jual (Fathurrohman Djamil, 2012:112-114).
3. Penggabungan akad (Al-Uqud
Al-Murokkabah)
Penggabungan
akad maksudnya adalah persetujuan antara dua pihak atau lebih untuk menyatukan
dua akad atau lebih yang berbeda fitur dan konsekuensi hukumnya agar mencapai
transaksi yang dapat berjalan sesuai yang diinginkan. Berkaitan dengan penggabungan akad, di kalangan ulama
ada dua pendapat besar, yaitu:
a. Menurut Jumhur
Fuqaha dari Hanafiyah, Syafi`iyah, Malikiyah dan sebagian Hanabilah yang
mengatakan bahwa tidak boleh menggabungkan beberapa akad dalam satu akad
kecuali akad itu berdiri sendiri secara sah seperti penggabungan akad bai` dan ijarah.
b. Menurut pengikut dari Maikiyah dan Ibnu
Taimiyah dari Hanabilah yang menyatakan kebolehannya menyatukan/menggabungkan
akad dan syarat dalam satu akad.
C.
Murobahah dalam
Lembaga Keuangan Syari`ah (LKS)
Dalam LKS, khususnya Perbankan Syari`ah, murobahah diterapkan sebagai produk
pembiayaan untuk membiayai pembelian barang-barang consumer, kebutuhan modal
kerja dan kebutuhan investasi.
Mekanisme penerapan murobahah di LKS, didasarkan pada asumsi bahwa nasabah membutuhkan
barang atau objek tertentu, tetapi kemampuan financial tidak cukup untuk
melakukan pembayaran secara tunai. Untuk itulah maka nasabah berhubungan dengan
LKS.
Harga yang disepakati adalah harga jual yaitu harga
beli plus margin dan biaya-biaya yang timbul dari proses pembelian barang
tersebut. Apabila harga pembelian dari supplier
atau pemasok yang dibeli oleh LKS mendapat potongan harga/diskon dan hal
tersebut terjadi sebelum melakukan perjanjian dengan nasabah, maka potongan
harga/diskon tersebut menjadi hak nasabah, sehingga harga jual adalah harga
setelah diskon. Akan tetapi, apabila potongan harga itu terjadi setelah akad
dilakukan, maka pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang
dimuat dalam akad antara LKS dan nasabah.
Pada
saat harga jual disepakati, maka pihak LKS menyerahkan barang yang dipesan
tersebut sesuai dengan kuantitas, kualitas, tempat dan waktu yang disepakati.
Apabila aktiva/barang yang telah dibeli LKS (sebagai penjual) mengalami
penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai
tersebut menjadi beban LKS dan LKS mengganti barang tersebut atau mengurangi
nilai jual sesuai dengan kesepakatan, sehingga yang diserahkan tersebut
benar-benar sesuai permintaaan nasabah (pembeli) (Fathurrohman Djamil, 2012:
119-121).
D.
Persoalan-Persoalan Hukum dalam Murobahah
Berikut ini akan diuraikan mengenai
persoalan-persoalan hukum yang biasa terjadi dalam murobahah.
a. Penyerahan Barang
Penyerahan benda yang diperjualbelikan dalam Islam merupakan kewajiban.
Akad jual beli dinilai tidak memnuhi syarat dn dapat dibatalkan apabila benda
yang menjadi objek akad tidak diserahkan. Akad yang tidak dibarengi dengan
penyerahan objek akad dinilai sebagai gharar.
b. Resiko atas Barang dan Pembayaran
Dalam pembiayaan bentuk bai`al murobahah,
LKS menghadapi resiko dengan barang dan pembayaran. Resiko atas barang
adalah adanya kerusakan atas barang sebagai objek pertukaran. Apabila kerusakan
objek pertukaran itu terjadi sebelum diserahkan kepada pembeli dan bukan oleh
pembeli maka pertukaran itu batal. Akan tetapi, apabila kerusakan tersebut oleh
pembeli, maka pembeli bertanggung jawab untuk mengganti benda tersebut atau
membayar harganya.
Adapun apabila kerusakan tersebut setelah diserahkan kepada pembeli dan
kerusakan tersebut bukan oleh penjual, maka pertukaran telah terjadi, sedangkan
apabila kerusakan tersebut oleh penjual, maka penjual harus mengganti benda itu
atau pembeli membatalkan akadnya.
Sedangkan resiko berkaitan dengan pembayaran yaitu nasabah tidak
melakukan pembayaran baik sebagian atau sepenuhnya sesuai dengan jadwal
pembayaran. Syariah menghindari resiko ini antara lain dengan adanya agunan,
penanggungan (jaminan pihak ketiga) dan syarat perjanjian yang menyatakan bahwa
semua hasil barang murobahah yang
dijual kepada pihak ketiga (baik tunai maupun angsuran) harus atas
sepengetahuan bank hingga kewajiban pembayaran kepada bank dibayar secara
penuh.
Jika tidak melakukan pembayaran dikarenakan faktor di luar kemampuan
pengawasan nasabah, bank syari`ah secara moral berkewajiban untuk melakukan
penjadwalan ulang bahkan me-restructuring
piutang tersebut dan sebaliknya.
c. Agunan
Mengambil agunan untuk menjamin utang, menurut Al-Qur`an dan Hadits pada
dasarnya bukan sesuatu yang tercela. Agunan adalah cara untuk menjamin hak-hak
kreditor/pembeli fasilitas agar tidak dilanggar dan menghindari memakan harta
orang lain secara tidak benar.
d. Pajak
Berdasarkan
surat Dirjen Pajak kepada salah satu Unit Usaha Syari`ah Bank Swasta Nasional
dikemukakan bahwa transaksi murobahah
yang dilakukan oleh bank syari`ah termasuk dalam pengertian kena pajak yang
terutang pajak pertambahan nilai (PPN) (Fathurrohman Djamil, 2012: 123-126).
E.
Skema Pembiayaan Murobahah
Keterangan
Skema:
1. Bank Syari`ah dan Developer mengadakan perjanjian
kerja sama (MoU) pemilik rumah. Bank akan menyediakan fasilitas pembayaran
pemilikan rumah bagi calon pembeli rumah developer.
2. Pembeli atau calon nasabah bermaksud membeli rumah di
lokasi milik developer dan mengajukan Pembiayaan Pemilikan Rumah kepada Bank.
Calon nasabah melengkapi persyaratan permohonan pembiayaan sesuai criteria yang
dipersyaratkan. Jika persyaratan lengkap, bank selanjutnya melakukan analisa
kelayakan pembiayaan terhadap calon nasabah.
3. Apabila calon nasabah layak dibiayai, maka bank akan
mengeluarkan surat persetujuan kepada calon nasabah (surat penawaran). Calon
nasabah melakukan negosiasi dengan bank. Jika terjadi kesepakatan, calon
nasabah menandatangani penawaran dan berjanji (wa`ad) untuk melakukan transaksi murobahah dengan bank.
4. Bank melakukan transaksi rumah
(berdasarkan Perjanjian Kerja Sama) dengan developer sesuai spesifikasi rumah
yang diminta oleh calon nasabah, secara prinsip (fiqih) rumah menjadi milik bank (dokumentasi rumah dibuat atas nama
nasabah). Dalam hal developer belum
memiliki perjanjian kerja sama, bank dapat mewakilkan atau member kuasa (wakalah) kepada nasabah untuk melakukan
transaksi/pemesanan rumah secara langsung ke developer yang dipilih nasabah.
5. Nasabah dan bank melakukan perjanjian pembiayaan
pemilikan rumah berdasarkan prinsip murobahah.
6. Bank dapat member kuasa/mewakilkan kepada developer
untuk menyerahkan rumah kepada nasabah (berdasarkan perjanjian kerja sama).
7. Developer menyerahkan rumah kepada nasabah.
8. Nasabah membayar secara tasqith (angsuran) atau ta`jil
(tempo) ke bank sesuai jadwal angsuran yang disepakati.
BAB
III
KESIMPULAN
Menurut para ahli hukum (fuqaha), pengertian
muraobahah adalah “Al-ba’i bira’sil maal waribhun ma’lum” artinya jual beli
dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui. Ibnu Jazi menggambarkan
jenis transaksi ini “Penjual barang memberitahukan kepada pembeli harga barang
dan keuntungan yang akan diambil dari barang tersebut”. Para fuqaha mensifati
muraobahah sebagai bentuk jual beli atas dasar kepercayaan (dhaman buyu’
alamanah).
Rukun murabahah adalah sama dengan rukun jual beli
pada umumnya, yaitu adanya penjual (al-ba’i), pembeli (al-musytari’), barang
yang dibeli (al-mabi’), harga (al-tsaman), dan shighat (ijab-qabul).
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum
murabahah sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada umumnya. Diantara dasar
hukum yang digunakan jumhur ulama adalah Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dimaksud adalah sebagai tertuang dalam Q.S. An-Nisa:
29, Q.S. Al-Baqarah: 198 dan 275 dan Q.S. Al-Muzzammil: 20.
Sedangkan hadis Rasulullah antara lain sebagai
berikut : “sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka;ada tiga
hal yang mengandung berkah jual beli tidak secara tunai, muraqadha, dan
mencampur gandum dengan jawawut”.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fathurrohman. 2012. Penerapan
Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari`ah. Jakarta:
Sinar Grafika.
Hasan, M. Ali. 2003. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh
Muamalat). Edisi I. Jakarta:
Pustaka.
Muhammad bin `Abdurrohman Ad-Dimasyqi, Syekh Al-`Allamah. 2013. Fiqih Empat Madzhab. Terjemahan Oleh
Abdullah Zaki Alkaf. Cetakan ke-14. Bandung: Hasyimi.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh
Islam. Cetakan ke-55. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul
Mujtahid (Analisa Fiqih Para Mujtahid). Terjemahan Oleh Imam Ghazali Said
dan Achmad Zaidun. Jakarta: Pustaka Amani.
Sri Nurhayati, Wasilah.
2008. Akuntasi Syari'ah di Indonesia. Jakarta: Salemba.